Last Day

22 5 5
                                    

Desir angin pelan berhembus, membuat tubuh gagah Pietro menggigil kedinginan. Matanya sibuk menelaah hampa bangunan-bangunan di hadapannya. Berpelukan dengan lutut, ia menatap kosong lingkungan di sekitarnya.

Sebuah kota kecil tanpa penghuni dan di selimuti kegelapan. Tidak ada kehidupan sama sekali, dirinya seperti berada di kota mati. Selayaknya film-film kiamat dan invasi dari makhluk asing. Yah, dulunya ia hanya menghayal akan terjadi seperti itu dalam kehidupannya. Ternyata, dia mengalami hal serupa sekarang.

Kepalanya mendongak, matanya menyorot kumpulan awan hitam yang perlahan menutup cahaya bulan. Kegelapan di kota itu semakin memekat. Perlahan namun pasti, ia dapat melihat gradasi cahaya mulai menurun. Kenapa perasaannya menjadi tidak enak seperti ini?

"Di sini ternyata." Ia menoleh, menatap Wendy yang terengah-engah setelah mengejarnya.

Pietro berpura-pura tidak tahu. Ia membenarkan posisi duduknya. Menjulurkan kakinya seraya bertopang kebelakang dengan kedua tangannya.

"Ayo, pulang,"ajak Wendy. Gadis itu menjulurkan tangannya pada Pietro. Namun sayangnya pria itu tidak bergeming sedikitpun. Wendy berdecak, "jangan seperti anak kecil. Ayo pulang, kita makan."

"Kamu saja, aku ingin sendiri." Ergh, Wendy mengambil tempat di sebelah Pietro. Gadis itu mengikuti pose yang sama seperti pria di sebelahnya.

"Jangan terlalu di pikirkan ucapan Dion tadi. Di sini yang paling merasa bersalah seharusnya aku, karena aku yang tidak mengizinkan Dara untuk ikut," lirih Wendy, matanya ikut menatap hamparan kita tanpa cahaya di depannya.

"Tidak usah di bahas. Aku tidak ingin mendengarnya," cerca Pietro.

"Pietro, di sini kita yang paling dewasa. Kita seharusnya mengalah dan tidak terlalu ambil hati ucapan anak labil sepertinya." Pietro masih bergeming. Wendy melanjutkan ucapannya, "Bayangkan saja dirimu baru saja hampir kehilangan orang yang kamu sayangi, lalu orang lain dengan santainya bilang kalau kita harus segera pergi tanpa memikirkan orang yang terluka itu. Pasti kamu akan marah."

"Aku tidak ada menyuruhnya pergi tanpa mengajak Dara, aku hanya mengingatkannya saja. Anak itu malah menjawab seperti itu." Suara Pietro tertekan menahan marah, "memang seharusnya aku memukul anak itu sejak lama. Semakin aku biarkan, semakin kesal di buatnya."

"Jangan seperti itu. Di saat pikiran orang kacau, sebaik apapun kita memberinya perhatian akan di anggap simpang siur olehnya. Karena seluruh pikirannya tidak tertuju pada kita," terang Wendy.

Helaan napas panjang terdengar dari sebelahnya. Pietro mengangguk saja mengiyakan ucapan Wendy. Entahlah, mungkin memang benar kalau dirinya berlebihan sekali tadi.

"Aku tidak menyalahkan mu, dan aku tau kalau Dion juga sedikit berlebihan tadi. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah ada, pasti dia juga menganggap seperti itu," ucap Wendy lagi.

Tentu saja! Dirinya memang tidak bersalah, dia hanya memberi tahu kalau waktu kita hanya sedikit sebelum tempat ini meledak. Apakah itu salah? Ia berharap kalau Dion siap tidak siap harus segera pergi dari sini. Baik itu bersama Dara, maupun tidak.

"Sudah mengerti, kan? Jangan terlalu di ambil pusing. Tenangkan pikiranmu lalu ajaklah dia berbicara," saran Wendy.

Pietro menoleh ke arah Wendy, ia tersenyum hangat menatap lembut wajah cantik gadis itu. Rambutnya yang pendek sebahu di terbangkan angin. Gadis bernetra cokelat itu seperti sosok ibu yang selalu ia bayangkan. Ah, tiba-tiba ia teringat dengan ibu angkatnya di Snackroom. Bagaimana kabarnya saat ini di saat dirinya sudah pergi dari tempat itu?

"Terimakasih, aku sudah lebih baik," ucap Pietro. Ia menarik kakinya, duduk membungkuk sambil memeluk lututnya.

"Sama-sama. Kalau begitu, ayo kita—"

Ngiiiinnggggg ...

Pietro dan Wendy menutup telinga kuat-kuat. Keduanya meringis kesakitan kala suara dengung itu tak henti-henti berteriak di angkasa.

Suaranya semakin lama menghilang, keduanya sama-sama membuka tangannya dan menatap satu sama lain.

"Suara apa itu?" tanya Wendy menatap sekitar, mencari sumber suara yang baru saja hampir menghancurkan telinganya.

"Jangan-jangan ..." Bruce menatap jalanan kosong di depannya. Sunyi tanpa suara, tapi bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Ia menatap Wendy panik, "Kita harus pergi dari sini, sekarang!"

Di ruang tamu, ke empat laki-laki itu sama-sama kebingungan. Tidak mengetahui darimana asal suara yang bising barusan. Mereka sama-sama berwaspada menatap tajam sekitar. Dion sesekali melirik ke atas, mencari tau bagaimana keadaan Dara.

"Apa itu tadi?" Leo bersuara sambil menatap ketiga temannya satu persatu.

Bruce menggeleng cepat, "aku tidak tau. Apakah ... Ini sudah saatnya?" Ia melempar tatapannya pada Dion.

"Tidak mungkin secepat ini, kan? Bukannya kita ada waktu seminggu?" tanya Dion.

"Memang, tapi tidak mungkin suara tadi berbunyi tanpa alasan."

"A-apa yang kalian bicarakan? Saatnya apa?" tanya Naka kebingungan. Kenapa semuanya terlihat sangat tegang? Ia hanya berpikir kalau itu hanya sebatas suara saja, tidak ada bahayanya.

"Ah, tunggu dulu." Bruce baru saja menyadari sesuatu. Pupilnya mengecil menatap Dion penuh takut, "dimana Wendy dan si botak?"

"Aku tidak tau, mereka berdua keluar tadi."

"Brengsek! Kenapa di saat genting seperti ini mereka tidak ada?" umpat Bruce. Pria itu berlari ke arah garasi. Tak lama kemudian ia datang membopong sebuah senjata panjang di tangannya. Ia melempae benda itu ke arah Dion, ternyata itu adalah sebuah shotgun, "kalau ada yang aneh terjadi, langsung saja tembak."

Dion mengangguk menimpali, "aku akan ke atas melihat kondisi Dara."

"Cepat, kalau bisa ajak dia ke bawah."

"Mana mungkin, kondisinya masih belum stabil."

Gila saja, mana mungkin Dion akan mengajak Dara turun di saat gadis itu baru siuman? Ia takut sekali kalau Dara akan semakin parah nantinya. Satu yang ia harapkan, kalau ini bukanlah pertanda dari hari akhir.

"Baiklah, cepat ke atas dan lihat kondisinya. Pasti ia terbangun juga setelah mendengar suara itu," titah Bruce serius.

Dion mengangguk, baru saja ia hendak mendaki anak tangga. Suara gaduh terdengar dari luar. Deritan kayu dari orang-orang tak sabaran datang. Seorang perempuan dan laki-laki terengah-engah di ambang pintu. Keringat mereka bercucuran di tengah dinginnya malam. Keduanya tersengal-sengal sampai tak mampu mengeluarkan suara.

"Wendy! Darimana saja kamu? Kamu tahu barusan–"

"Kita tidak ada waktu," potong Wendy cepat. Gadis itu sudah hampir habis napasnya.

Jangan sampai, Dion mematung di ambang tangga, menggenggam erat senjatanya. Jantungnya terus berdegup sangat kencang. Ini tidak seperti yang ia bayangkan, bukan?

"Kemasi barang! Hari ini adalah hari terakhir kita di sini!"

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang