The Truth

44 12 2
                                    

Dion merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia menghela napas pelan. Matanya melirik ke arah Pietro yang sibuk merakit sesuatu. Ia diam-diam bergerak mendekat, tubuhnya di condongkan guna melihat lebih jelas apa yang laki-laki itu perbuat.

"Kamu penasaran dengan ini?" tanya Pietro yang sadar akan gerak-gerik Dion.

Dion dengan cepat menjauh, ia tak menjawab dan memilih menyimpan responnya. Masih ada rasa takut kalau tiba-tiba Pietro menyerangnya.

"Ini adalah bom molotov. Setauku ini bisa membunuh monster-monster itu," terang Pietro mengangkat botol kaca berisikan kain yang di celupkan minyak.

Tunggu dulu, ini seperti botol kaca yang di gunakan Dara untuk melawan Mr. Centipede saat di area 3. Jadi, ini namanya bom molotov? Bodoh sekali dirinya tidak mengetahui benda yang sering ia gunakan saat dalam permainan. Ia rasa namanya, molotov cocktail ... Ohh, ternyata sama saja. Dion merutuki kebodohannya yang baru menyadarinya.

"Kamu tidak tau?" tanya Pietro menatap Dion. Tatapannya masih datar, bahkan terkesan meremehkan.

"Tidak," jawab Dion cepat. Tak peduli reaksi Pietro bagaimana, ia mengambil salah satu benda itu dan menatapnya.

Pietro tertawa dan menepuk-nepuk punggung Dion, "aku kira anak seusiamu sudah mengetahuinya. Dulu, anak yang lebih muda darimu sudah sering membuat ini untuk tawuran."

Dion terkejut, namun ia dapat mengatur ekspresinya. Ia hanya mengangguk menanggapi, setidaknya laki-laki itu menghargai cerita Pietro yang sangat mengerikan.

"Apa ada yang terluka?" tanya Dion dungu. Rasanya pertanyaan yang di tempatnya terdengar bodoh dan tidak penting.

"Tentu saja, bodoh." Pietro mengangkat lengan kemejanya. Menggulungnya sampai ke pundak, memperlihatkan sebuah bekas luka bakar besar pada lengan kekarnya. "Menurutmu, bagaimana aku bisa mendapatkan luka ini kalau tidak saling perang menggunakan api?"

Dion menegak ludahnya. Pantas saja Pietro memiliki tampang sesangar ini, sejak kecil pria ini sudah menjadi mafia kejam yang doyan tawuran. Begitulah, mungkin.

"Lalu, bagaimana denganmu? Apa kamu tidak pernah tawuran?" tanya Pietro kembali memanjangkan lengan kemejanya.

Dion menggeleng pelan. Rasanya ia tidak memiliki pengalaman menyenangkan selama ia bersekolah. Paling tidak yang ia ingat kala Jordi dan kawan-kawan melemparinya dengan sampah. Itu saja, pengalaman yang ia ingat. Buruk, bukan?

Tidak ingin sombong, ia sudah beberapa kali terkena bully semenjak Sekolah menengah pertama. Hanya karena ia bersikap seolah seorang pahlawan yang ingin menyelamatkan orang yang terkena tindasan dari Jordi dan teman-temannya. Namun, hal itu malah berbalik ke arahnya. Jordi menargetkan dirinya sampai lulus sekolah. Sementara orang yang telah di tolongnya malah tak acuh. Lucu, bukan? Jadi jangan tanya kenapa dirinya lebih suka menonton orang kesusahan ketimbang menyelamatkannya. Sudah banyak rupa manusia yang lupa dengan kulitnya. Apakah kita harus masih terbelenggu dengan prinsip yang sama? Lebih baik ia memakan kotoran kucing ketimbang menyelamatkan orang-orang yang tidak tau diri.

"Payah sekali. Lalu apa yang biasa kamu lakukan? Jangan bilang kalau kamu adalah anak yang rajin," kelakar Pietro menata bom molotovnya di atas lantai.

"Tidak begitu. Aku hanya lebih suka mengurung diri di dalam rumah ketimbang ikut dengan murid-murid lainnya," sahut Dion.

"Apa yang kamu kerjakan di dalam rumah?"

Dion berdeham pelan, "bermain game dan tidur."

Pietro menatap tak percaya, "benarkah? Apa tidak ada pekerjaan lain selain itu?"

Dion mengangguk cepat. Aneh sekali orang-orang terkejut mendengar hobinya. Ia rasa itu normal untuk remaja sepertinya. Bahkan hobinya itu tidak membuat orang-orang terluka. Jadi wajar-wajar saja. Tidak ada salahnya.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang