Fairy

27 3 0
                                    

Tangan Dara sibuk sekali mencoret-coret kertas kosong di atas meja. Gadis itu memasang tampang serius seakan seorang pelukis profesional. Beda halnya dengan Dion, laki-laki itu menopang dagu sambil memperhatikan gambar yang tengah di buat gadis aneh itu.

"Membuat sesuatu yang sia-sia," celetuk Dion tiba-tiba.

Tangan mungil gadis itu berhenti bergerak, kemudian mengangkat pulpennya dan mengarahkan ujungnya pada mata Dion.

"Sekali lagi komentar, dua matamu yang bakal pakai penutup mata," ancam Dara dingin lalu kembali menggambar.

Dion menjauhkan sedikit tubuhnya dari gadis itu. Kenapa Dara jadi lebih mengerikan di saat gadis itu serius? Padahal dirinya mengatakan yang sebenarnya.

"Ahh, bosannya!" Dara menjatuhkan bolpoinnya dan menenggelamkan wajahnya di atas meja.

Dion menekuk dahinya, memang benar kalau gadis ini sedang tidak baik-baik saja. Tangannya bergerak menarik kertas yang di timpa gadis itu. Lengkungan di bibirnya terbentuk. Lagi-lagi gambar manusia lidi. Dion pun mengambil bolpoin yang tadi di gunakan Dara dan mulai menggambar sesuatu di kertas tadi.

Kepala Dara menoleh, ia memperhatikan gambar yang di buat laki-laki di sebelahnya. Tubuhnya terangkat, menyandarkan pipinya pada lengan laki-laki itu. Dara menatap nanar setiap lengkungan yang di buat oleh Dion. Memang kalau seseorang yang ahli menggambar pasti sangat mudah untuk membuatnya. Dion tidak menggambar ulang, melainkan mengganti bentuk karakter itu. Gambar yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan yang bermain sepeda bersama.

"Bagus banget!" puji Dara mengambil hasilnya. Dion menatap sombong gambaran itu.

"Beda banget tangan-tangan orang yang bisa gambar." Dara mengambil telapak tangan Dion dan memperhatikan kerutan-kerutannya. "Aku baru sadar kalau tanganmu itu besar banget, Dion."

Telapak tangan mereka menyatu. Ukuran jari Dara sangatlah mungil dan lentik. Berbeda sekali dengan jari Dion yang besar dan panjang.

"Ngomong-ngomong ..." Dara melepaskan tangannya, kemudian menunjuk sepeda yang di gambar di kertas tadi, "kamu dulu pernah naik sepeda nggak?"

"Pernah, lah."

"Tau nggak sih trik lepas tangan itu? Yang kedua tangannya di lepas, terus sepedanya tetap di kayuh." Dara memperagakannya dengan membentangkan tangannya sambil mengayuh. Gadis itu heboh sendiri seperti sedang menaiki sepeda sungguhan.

"Tau."

"Sumpah, aku dulu nggak bisa kaya gitu. Sampai jatuh terus. Akhirnya aku trauma naik sepeda lagi," murungnya sambil memajukan bibir bawahnya.

Dion menggelengkan kepalanya, "padahal gampang banget."

"Susah, Dion. Coba aja deh pikir gimana susahnya naik sepeda sambil lepas tangan. Nggak seimbang, buruknya lagi aku pakai roda empat waktu itu. Tapi tetap aja jatuh." Dion sedikit bingung mendengar pernyataan Dara.

"Kalau sudah pakai roda empat kenapa bisa jatuh?" tanya Dion.

"Itu loh, yang rodanya tinggi sebelah, turun sebelah."

Ahh, Dion menganggukkan kepalanya mengerti. Makin tidak habis pikir padahal seharusnya sangat mudah melakukan trik itu karena ada roda bantuan.

"Enak banget kayanya naik sepeda berdua, terus lewatin taman-taman, pantai dan yang tempat tenang lainnya." Dara menopang dagunya sambil memperhatikan gambar yang di buat Dion tadi.

"Nikmatin aja tempat ini," ucap Dion.

Gadis itu menekuk dahinya, "apa yang harus di nikmati? Nikmati setiap kejar-kejaran sama monster? Atau tempat bau, jelek, aneh kaya gini? Apa yang mau di nikmatin coba?"

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang