Darkside in the corridor

19 2 0
                                    

"Padahal niatku baik mengajaknya berkenalan. Tapi, responnya justru membuatku jengkel dan benci dengannya."

Batu yang di kepalnya terlempar kencang mengenai kaca jendela di depannya. Ia berdecih dan mendekati laki-laki berkacamata yang berdiri tak jauh darinya.

"Bagaimana menurutmu, apakah aku harus membunuh temanmu yang angkuh itu?" tanya laki-laki itu.

"Ja-jangan ... Dia memang seperti itu jadi maklumi saja," ucapnya tergagap. Ia hanya tersenyum kikuk.

Tangan besarnya mencengkeram kerah baju laki-laki berkacamata itu. Mengangkatnya tubuhnya sedikit tinggi dan menggeram, "justru yang seperti itu tidak bisa di biarkan! Siapa yang berani mengusik harus terima konsekuensinya, bukan?"

"I-iya, benar ..."

"Ohh, jangan-jangan sekarang kamu memihak padanya karena dia adalah teman satu sekolahmu?"

"Ti-tidak. Bukan seperti itu," ucap laki-laki itu ketakutan.

"LALU APA?!" Tubuhnya di hantamkan ke dinding. Ia mengerang kesakitan kala punggungnya mengenai ujung jendela. Nyeri dan ngilu itu yang ia rasakan. Tulang punggungnya tepat sekali menabrak ujung kayunya. Ia merasakan sesuatu yang basah menjalar di bajunya.

"Bunuh gadis yang bersamanya, jangan dia," ucapnya seraya mengerang pelan.

"Kenapa gadis itu?"

Laki-laki itu menarik salah satu sudut bibirnya, "hancurkan mentalnya, lalu orangnya."

Pria itu terdiam, kemudian tertawa kencang dan menghempaskan laki-laki kurus itu. "Benar juga, memang kamu sangat bisa di andalkan. Sekarang, menjadi tugasmu untuk membunuh gadis itu."

Laki-lali itu terkejut, ia menggeleng tak terima, "kenapa aku? Justru kamu yang harus melakukannya."

Pria itu menunduk, mendekati wajahnya ke laki-laki itu. "Bukankah membunuh teman sendiri sudah menjadi hal biasa bagimu? Seperti teman gemukmu itu."

Ia semakin mendekat. Hingga bibirnya berada di sebelah telinganya. "Kamu sudah menjadi pendosa. Tuntaskan, jangan berlagak menjadi orang sok suci. Bukankah kamu sudah terlalu sering menjadi penghianat?"

Laki-laki berkacamata itu terdiam membeku. Ia menatap takut pria di depannya. Pria itu bangkit dan berbisik ke teman besarnya. Sesuatu berbentuk pipih keluar dari kantung pria itu. Temannya yang besar mengangguk. Kedua pasang mata itu menatapnya tajam.

Tangan besar temannya itu menekan kedua pipinya sangat keras. Ia memberontak. Namun apa daya tenaganya sama sekali tidak sebanding. Benda pipih itu langsung di masukkan secara paksa ke dalam mulutnya. Ia merasakan tangan besar itu menyentuh pangkal lidahnya. Menaruh benda itu dan memaksanya untuk menelannya. Ia merasakan sesuatu yang tajam menyayat kerongkongannya ketika semakin masuk ke dalam tubuhnya.

"Kamu tau kan apa yang akan terjadi kalau kamu mengkhianati ku?" Pria itu mengeluarkan sebuah remote kecil dari sakunya. "Boom! Meledak!"

Laki-laki itu gemetar ketakutan. Ia merasakan nyalinya semakin ciut dan kalut.

"Pergi, dan lakukan tugasmu. Sebentar lagi permainan ini akan menjadi seru."

Pietro menghela pelan. Ia menghentikannya langkahnya. Tatapannya menyorot punggung laki-laki di depannya. Kepalanya menggeleng heran.

"Dion, berhenti sebentar. Kakiku rasanya mau lepas," keluh Pietro memilih duduk dan bersandar di koridor.

Dion menghentikan langkahnya, ia menoleh ke arah Pietro yang sedang mengatur napasnya.

"Lemah, badan besar padahal," ejek Dion.

"Bangsat, kamu muter-muter dari lantai satu sampai lantai empat. Sekarang ke lantai satu lagi, ya kali nggak cape!" gerutu Pietro.

Memang tidak waras remaja di depannya ini. Sedari tadi mengelilingi satu sekolah guna mencari pintu keluar ke level berikutnya. Tapi hasilnya nihil. Sudah tahu begitu, bukannya berhenti malah kembali berkeliling ke tempat yang sama.

Dion tetap berjalan menyusuri lorong. Namun langkahnya di pelankan selagi menunggu Pietro beristirahat.

"Sudahlah, Dion. Kalau memang tidak ada berarti ini akhirnya."

"Pintunya tidak akan muncul untuk orang yang putus asa sepertimu," tukas Dion.

"Cih, tau apa kamu tentang pintu keluar itu? Sudah jelas-jelas kita berkeliling dan tidak menemukannya."

Dion menghela pelan, "pasti ada di suatu ruangan sekolah ini."

"Hey, kepalamu terbuat dari apa, sih? Mau sampai kali ke berapa kamu membuka pintu-pintu di sekolah ini?" tanya Pietro malas.

Dion menghiraukannya dan kembali berjalan. Meninggalkan Pietro yang tetap asik mengoceh dan menggerutu. Matanya terus terpasang menyorot sekeliling. Saking fokusnya, ia tak sadar menginjak sebuah genangan licin yang hampir membuatnya terjatuh.

"Mampus," umpat Pietro tertawa puas. Namun sedetik kemudian ia terbungkam dengan sesuatu yang ada di hadapannya, "a-apa yang terjadi?"

Dion berjongkok dan memperhatikan dengan seksama. Senter yang ia dapatkan dari ruang senjata itu ia sorotkan ke genangan di bawahnya. Jantungnya langsung berdegup kencang. Benar dugaannya, banyak darah yang menggenang di koridor itu.

"Perasaan kita lewat tadi nggak ada, Dion." Pietro ikut berjongkok di sebelah Dion.

"Baru, mungkin?" Dion menatap Pietro.

Pietro tersentak, "kenapa kamu melihatku? Cepat sorot darah itu!" Ia sedikit terkejut karena Dion menatapnya lama sekali.

Dion langsung mengarahkan senternya mengikuti cairan itu. Napasnya tercekat, jantungnya kian berdegup tak karuan. Seonggok tangan manusia tergeletak tak jauh dari hadapannya. Bulu kuduknya meremang, semakin lama semakin terlihat potongan tubuh manusia yang berserakan di sepanjang koridor.

"Apa-apaan ini? Siapa yang melakukannya?" tanya Pietro yang entah di tujukan kepada siapa.

"Ini bukan akhirnya, pasti ada pintu menuju ke level berikutnya," tebak Dion.

"Oh ayolah, kenapa bahas itu lagi? Lihat mayat-mayat ini! Lebih baik membahas siapa yang melakukan hal ini ketimbang pintu keluar itu," kesal Pietro.

"Justru dengan menemukan pintunya kita bisa langsung keluar tanpa harus bertemu dengan mahluk yang membunuh orang itu," tandas Dion.

Pietro berdecak, "tau darimana kamu kalau monster yang membunuhnya?"

"Lalu?" Dion menatap Pietro datar.

Pria itu terdiam dan menggaruk pelipisnya, "ngg, tidak tau."

"Minus otak."

"Sialan! Jaga mulutmu!"

Mereka terdiam kala mendengar suara geraman halus dari depan mereka. Keduanya menatap lurus ke depan. Tidak ada yang berkedip, semuanya memaku pandang ke ujung koridor yang gelap. Masih tidak ada suara lain yang terdengar. Bahkan Dion menahan napasnya agar bisa mendengar suara tadi dengan seksama.

"Tidak ada apa-apa sepertinya." Pietro menghela dan bangkit. "Bagaimana? Masih ingin lan–"

"Ssstt!" Telunjuk Dion mengarah ke wajah Pietro. Laki-laki itu mengarahkan senternya ke ujung koridor yang gelap. Dion terkejut, bahkan senternya tidak mampu menembus kegelapan itu.

Ini bukan pertanda baik. Jantungnya kian berdegup kala suara itu semakin nyaring terdengar. Sepasang cahaya kecil dari jauh mulai mendekatinya. Langkahnya sangat pelan. Suara erangan dan sesuatu yang bergesekan.

Dion menunduk kala potongan tangan itu di tarik ke pekatnya kegelapan. Suara sesuatu yang di kunyah itu memecah keheningan. Ia memundurkan tubuhnya. Perlahan bangkit dan mematikan senternya.

"Bajingan, menyesal aku ikut denganmu!" bisik Pietro penuh penekanan.

Oh, sial. Pietro menghela napas berat. Sepertinya ia akan memulai marathonnya lagi setelah ini.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang