Another Room

47 11 4
                                    

Dion sedikit terkejut dengan ungkapan Dea barusan. Ia bilang kalau tempat ini adalah level tersembunyi dari level 6. Ruangan ini bernama snackroom. Yup, sesuai namanya banyak sekali mesin snack, minuman, bahkan rak berisikan makanan ringan tertata di sana.

Dea mengajak Dara dan Dion ke sebuah bar kecil. Di sana tertera jelas sebuah tulisan 'Snackroom' yang menyala terang karena lampu Neon.

"Duduklah di sini, aku akan membuatkan kalian makaroni pedas. Itu adalah makanan kesukaan Pietro," ucap Dea tersenyum di wajah keriputnya. Wanita tua itu melangkah ke belakang ruangan.

"Cantik sekali," puji Dara menatap Dion.

Dion mengangguk sekenanya. Ia masih sedikit takut menganggap kalau tempat ini benar-benar nyata. Traumanya dengan hotel di level 5 tadi, membuatnya sedikit ragu kalau di sekitarnya ini sangat nyata. Memang terlihat baik-baik saja sejauh ini, tidak ada rasa curiga sedikitpun. Kalau di tanya kenapa tempat ini sangat sepi, karena pasti tidak ada yang tau kalau tempat ini benar-benar ada. Secara ia melihat pintunya saja sangat menyatu dengan dinding.

Cahaya ungu berpendar, lampu kuning berkelap-kelip di atas ruangan. Bayangkan saja sebuah tempat bermain di mall, begitulah suasana ruangan ini. Memang sunyi tidak ada suara mesin maupun musik, tapi ini sangat menenangkan baginya.

Pietro tiba-tiba duduk di sebelah Dion. Membawa tiga snack almond cokelat dengan satu dari mereka sudah berada di mulutnya.

"Untuk kalian." Pietro menjatuhkan dua sisanya di depan Dion.

Dion menggeleng cepat, "aku alergi kacang."

Pietro memukul meja, membuat Dion dan Dara terkejut. Oh ayolah, ia tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa pria ini sangat sensitif pada dirinya? Seperti perempuan saja.

"Banyak mau," desis Pietro.

Dion mengambil snack itu dan menyimpannya dalam kantung. Ketimbang akan timbul masalah besar, lebih baik ia mencegahnya. Ia tidak akan mampu melawan Pietro. Kalau saja badan Pietro sekecil dirinya, pasti ia sudah menghajar habis-habisan pria itu. Sayangnya, kalau sekarang di bandingkan, Dion hanyalah remahan gandum yang di tiup saja sudah menghilang.

Dion membayangkan Pietro ini seperti The Rock. Seorang pegulat berbadan besar yang kini bergelut pada dunia akting. Bayangkan saja tubuh The Rock, sama persis dengan Pietro. Kalau Dion? Ah, kayu kering pohon cemara bisa apa?

"Sudah selesai ..." Dea menata dua mangkuk makaroni berkuah merah di atas meja. Tidak munafik, ini terlihat enak. "Makanlah, kalau kurang bilang saja. Aku akan membuatkannya untuk kalian."

Dara mengangguk senang. Dengan cepat gadis itu menyambar sendok. Namun seketika berhenti. Ia kembali menaruh sendok di atas nampan. Matanya menatap Dea, "maaf sebelumnya. Kami masih belum bisa mempercayai kalian. Sebelumnya, aku dan Dion terjebak di area lima, semua yang di sana memang terlihat nyata. Sampai akhirnya ..."

Dara menghentikan ucapannya, terasa kelu sekali bibirnya akan berucap. Apalagi di depan makanan seperti ini.

"Makanan itu ternyata daging manusia, begitu?" Dara dan Dion menatap Pietro. "Tentu saja aku tau. Aku dan ibu juga melewati tempat itu sebelum sampai kesini," jawab Pietro yang seakan paham makna tersirat dari kedua mata remaja itu.

"Tenang saja, nak. Ini semua makanan asli. Kalau tidak bagaimana bisa Pietro sebesar itu?" Dea tersenyum jahil menunjuk Pietro.

"Ibu," kesal Pietro.

"Hahaha, bercanda, nak," mata Dea beralih ke Dara dan Dion, "habiskan makanannya."

Baiklah, perut mereka juga harus di isi. Dara dan Dion memakan makaroni itu. Sudah Dion duga, ini pedas sekali. Laki-laki itu mendesis pelan sambil mengeluarkan lidahnya.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang