Red Corridor's

24 3 0
                                    

"Sepertinya setelah ini ia tidak tertarik lagi menyelesaikan tantangannya sampai akhir, sayang sekali ..."

Pria bertubuh besar itu menggeleng sambil menyeruput kopinya. Tatapannya masih terpaku pada sosok laki-laki yang sedang menangis sambil memeluk tubuh perempuan tak bernyawa di pangkuannya.

"Apa kamu tidak merasa sedih? Orang-orang yang sudah bersamamu sebelumnya kini sudah tiada," sahut pria berjas hitam di sebelahnya. Tak ada raut ekspresi apapun dari wajahnya. Ia justru menatap wajah pria di sampingnya.

Pria berbadan besar itu tertawa, ia menyesap rokok di tangannya kemudian menghembuskan asap ke atas. "Kamu pikir aku menangis tadi karena apa?"

Pria berjas itu tertawa, kembali menyeruput kopinya, "baru sekarang kamu mengaku. Padahal dirinya sangat emosional sebelumnya."

"Yah, walau singkat tapi itu adalah sebuah kebahagiaan karena sudah mengenal mereka."

Pria di sebelahnya tertegun, menatap teman besarnya sambil menopang dagunya. "Sejujurnya aku juga terkejut melihat kejadian tadi. Aku kira hanya akan ada adegan kejar-kejaran dengan monster saja. Ternyata ... Lebih menarik dari itu."

Senyum pria itu di paksakan. Napasnya terdengar berat kala menariknya. "Begitulah."

"Ayolah, Bruce. Kamu hanya berpura-pura mendekati mereka. Bukankah memang itu tujuan awal aku melepasmu?" tanya pria berjas itu.

Bruce menoleh, mengangguk pelan dan tersenyum kecil, "aku tau."

Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia ikut menghela pelan, "kamu tau? Hanya dia orang yang tersisa saat ini."

"Benarkah?" tanya Bruce. Ia menatap serius mata pekat itu.

Pria itu mengangguk, kembali menatap ke arah monitor, "aku memang sudah menaruh harapan besar pada anak itu. Tapi, sisa seorang diri juga benar-benar mengejutkanku."

"Tadi itu di luar kendali. Aku juga tidak habis pikir kalau akan ada perkelahian di antara mereka," imbuh Bruce.

Suara gelak tawa terdengar kencang, "astaga! Justru itu yang membuatku senang! Seperti jackpot yang tiba-tiba datang menghampiri kita, begitu juga dengan kejadian tadi. Tidak melulu tentang monsterku yang mengejar mereka, tapi kini mereka harus saling bunuh satu sama lain."

Bruce menggeleng pelan. Ia hanya tersenyum simpul dan kembali menyesap rokoknya.

"Sepertinya kamu harus turun tangan lagi setelah ini, Bruce."

Dahi Bruce terlipat, ia menatap pria itu sambil menghembuskan asap rokoknya, "kenapa aku?"

Pria itu menunjuk ke monitor. Mengubah arah pandang Bruce pada sosok laki-laki yang berjalan mendekat ke arah monster-monster yang mengejarnya.

"Kamu lupa skenario kematian yang aku buat? Apa kata anak itu nanti setelah mengetahui aku masih hidup?" tanya Bruce denial.

"Jujur saja," jawab pria itu enteng.

"Kenapa tidak menyuruh Joe saja? Dia juga kenal dengan anak itu," ucap Bruce memberi opsi.

"Image pria itu sudah buruk di matanya. Yang ada rekanku benar-benar meninggal setelahnya. Dendam anak itu pada Joe pasti juga meningkat setelah kematian gadisnya," jelas pria itu dengan serius.

Bruce tertegun. Benar juga apa yang di katakan rekannya. Memang tidak ada jalan lain selain dirinya yang turun tangan menyelamatkan anak itu.

"Susul dia, aku akan kembali menyiapkan bagian menarik lainnya." Pria itu berdiri sambil mengibaskan kemejanya. Kemudian ia menepuk pundak Bruce dan tersenyum lebar.

"Ingat, Bruce. Jangan sampai gagal."

Hening ...

Ia bergeming di tengah ruangan. Tangannya tak henti bergerak mengusap rambut gadis di pangkuannya. Rintik sedu air mata tak henti berjatuhan. Pandangannya kosong, sayu dan tidak berjiwa. Ia bahkan sampai tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Hancur dalam sekejap. Semua rencana besar yang ia bangun sama sekali tidak ada yang berjalan. Tidak ada yang tersisa, selain dirinya. Di rangkul oleh kesendirian. Bertalu-talu saling beradu di dalam pikirannya.

Apa ia ... Menyerah saja?

Untuk apa ia hidup dan melanjutkannya?

Alasan ia untuk bertahan saja sudah tidak ada. Siapa yang harus ia perjuangkan lagi? Dirinya? Seorang dalang dari kematian teman-temannya apakah masih berhak di biarkan hidup?

Ini tidak adil. Harusnya ia ikut mati juga. Kenapa ia malah memilih bertahan? Tiba-tiba dirinya tertawa sendiri. Bodoh, ia bodoh. Kalau memang akhirnya seperti ini, untuk apa ia mengeluarkan semua tenaganya untuk melepaskan diri dari Gio tadi? Lebih baik ia biarkan saja dirinya mati tadi.

Sebuah guncangan hebat terjadi. Tubuhnya tersentak sambil menoleh kesana kemari. Ia memeluk erat tubuh gadis itu. Napasnya berderu kala lampu di ruangan itu berkedip sangat cepat. Suara ledakan kencang terdengar. Ia tersadar sambil menatap ke arah langit-langit. Bunyinya nyaring dan berdengung, ia menutup telinganya rapat-rapat sambil memejamkan matanya.

Hening lagi. Kenapa atmosfer di sekitarnya menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Ia membuka matanya perlahan. Cahaya merah pekat menyinari wajahnya. Pandangannya mengedar sekeliling. Dirinya kini berada di sebuah koridor besar. Ia tidak tau, kenapa di sekitarnya semua berwarna merah.

"Da-Dara?" panggilnya panik kala tubuh gadis itu sudah tidak ada pada dirinya. Ia bangkit, kepalanya bergerak kesana kemari mencari keberadaan gadis itu.

Dimana gadis itu berada? Siapa yang memindahkannya? Bukankah tadi ia memangkunya?

Kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia hendak mencari keberadaan gadis itu. Namun sayangnya seperti ada sesuatu yang menahan kakinya. Justru setelah menyadari lorong yang ia pijaki sekarang, rasa takut menahan tubuhnya untuk bergerak sedikitpun.

Cahaya merah berpijar di sepanjang lorong. Kanan dan kiri tubuhnya berjajar pintu-pintu putih seperti kamar rumah sakit. Tidak ada jendela sayangnya. Jadi ia tidak bisa melihat apa yang ada di dalam ruangan itu.

Siapa yang menggerakkan kakinya? Ia mulai melangkah menyusuri lorong. Memang benar, ini adalah koridor rumah sakit. Kasur-kasur pasien banyak berserakan di depan pintu. Ada juga yang teronggok di tengah-tengah koridor, membuatnya sampai mendorong benda itu ke pinggir.

Ini ... Ia seperti mengetahuinya. Kenapa rasanya ia terlupa akan nama tempat ini? Ia pernah melihatnya sebelumnya. Tapi apa, ya? Ia mendesis pelan kala tidak bisa menebak tempat yang di telusurinya.

Sakit, ia masih merasakan nyeri di seluruh tubuhnya. Tidak memungkiri dirinya harus tetap berjalan menyusuri lorong tak berujung ini. Sendiri, dan hanya berteman dengan suara pijakan kakinya yang terdengar membelah kesunyian.

Ia menghentikan langkahnya. Kenapa ia merasa lantainya sedikit bergetar? Kepalanya menoleh ke ranjang-ranjang di sebelahnya yang bergerak pelan. Tidak ada angin yang berhembus, lalu apa yang membuatnya bergerak?

Napasnya tiba-tiba terhenti, kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Kelopak matanya melebar, beberapa makhluk hitam besar berlari tak jauh di belakangnya. Tapi, sudut bibirnya terangkat. Ia sudah tidak takut lagi. Tubuhnya berbalik, justru berjalan mendekati makhluk-makhluk itu. Senyumnya kian melebar, air mata kembali merembes. Ini saatnya, ia membayar dosa yang telah ia perbuat.

Last stage : Run for your life

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang