Bimbang

25 6 4
                                    

Bunyi jarum jam yang berputar menemaninya dalam kesunyian. Ia duduk di tengah ruang remang sambil mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Cahaya dari layar monitor di hadapannya memancar, dirinya sibuk mengamati video yang terputar. Dari setiap sudut, kerumunan makhluk mengerikan berlari buas sembarang arah. Speaker di sebelahnya bersuara, mengeluarkan bunyi lengkingan dari makhluk-makhluk itu. Ratusan? Oh, tidak. Ribuan? Mungkin, ia seperti tengah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kakinya terangkat, bertumpu pada kaki kanannya. Oh, satu korban sudah tewas. Dari setiap sudut, sepuluh kotak di tempat yang berbeda menampilkan hiruk pikuk orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri. Menyenangkan rasanya melihat mereka berusaha menyelamatkan diri di tengah kegelapan. Dentingan-dentingan pipa membuat air juga meluap dimana-mana.

Sudut bibirnya terangkat lebar. Ia tertawa kala semuanya mulai brutal menyerang para manusia-manusia lemah yang mengais kehidupan padanya.

YAH, SEPERTI ITU!

Ia menatap bangga salah satu makhluk yang menggandeng sebuah kepala di mulutnya.

Jarinya mulai memencet sebuah tombol di dekat komputer. Suara sirine terdengar nyaring dari speakernya.

"Selanjutnya ..."

Dion berlari ke lantai dua. Membuka pintu cepat dan menghampiri Dara yang menatap takut ke arah jendela. Gadis itu baru sadar kehadiran Dion langsung memanggilnya.

"Kamu dengar suara tadi? Itu apa?" Dara terlihat bingung.

Dion mengatur napasnya, "kita pergi sekarang."

Dara bertambah bingung sekarang. Pergi? Apa maksudnya? "Ke-kemana?"

"Hari ini adalah hari terakhir. Kita harus pergi dari tempat ini," terang Dion cepat.

"Ke-kenapa cepat sekali? Belum ada seminggu," tutur Dara gemetar. Ia sedikit mengkhawatirkan kondisinya yang sedang buruk. Apa ia harus berlari setelah ini? Rasanya untuk bangun saja sudah sulit.

Dion menjulurkan tangannya, "aku akan menggendongmu."

Dara terkesiap, gadis itu menggeleng cepat, "a-anu, aku tidak mau menyusahkanmu."

"Lalu bagaimana? Kamu akan tinggal di sini?" tanya Dion.

Dara terdiam, gadis itu menunduk. Kepalanya kini di penuhi pikiran buruk. Bagaimana kalau dirinya akan membuat semuanya terluka nantinya? Dara tidak tau apa yang akan mengancam mereka setelah ini. Berlari di tengah kota yang meledak, di tambah kondisinya yang seperti ini akan memperlambat saja. Ia hanya akan menjadi beban berjalan yang menyusahkan semuanya.

"Tinggalkan saja aku di sini."

Jantung Dion terasa seperti berhenti berdetak. Prasangkanya terhadap Dara terbukti sudah. Gadis itu pasti akan mengucapkan kalimat itu. Ia menggeleng cepat, tubuhnya di rendahkan, tangannya menggenggam erat jari jemari Dara.

"Nggak! Itu nggak akan terjadi," tutur Dion tegas.

"Aku akan menyusahkan mu dan yang lainnya nanti. Aku tidak mau karena ku orang lain terluka lagi. Seperti Dev," lirih Dara.

"Jangan sangkut pautkan kematian Dev denganmu. Itu bukan salahmu," ucap Dion. "Ayo pergi dari sini, aku akan menggendongmu."

Dara masih bergeming. Gadis itu menangis terisak karena kekacauan yang ada di dalam kepalanya. Kenapa dirinya selalu menjadi beban bagi orang-orang di dekatnya? Ia adalah seorang gadis malang yang selalu saja menyusahkan orang lain.

Dion memeluk gadis itu berusaha untuk menenangkannya, "Ayo, Dara. Mana janjimu ingin keluar bersama dari sini? Mana janjimu ingin pergi setelah kita keluar nanti? Mana janjimu ingin makan mi ayam bersama nanti? Ingat semua janji yang sudah kita ucapkan kala itu."

Dara semakin terisak. Tangisnya pecah sambil memeluk erat Dion. Ia ingat, ia ingat janji itu. Tapi, kondisinya yang seperti ini membuat ia berpikir kalau peluangnya untuk menepati janji itu tidak akan terjadi.

Dion meraup wajah gadis itu, membersihkan air mata yang terus mengalir. Senyum diwajahnya menghangat, menatap tulus ke arah gadis itu, "kita akan pergi dari sini bersama-sama."

Dara menarik napas panjang. Gadis itu mengangguk lemah. Dion tersenyum senang melihatnya. Ia langsung menggendong Dara. Gadis itu meringis pelan kala lukanya menyentuh punggung Dion.

"Bertahanlah, mereka semua sudah menunggumu di bawah."

"Cepat!" Wendy memberi komando untuk segera berlari.

"Pertama, kita harus menemukan kendaraan! Edarkan pandangan kalian!" titah Bruce. Pria itu menggigit ujung rokoknya sambil memeluk shotgun di dadanya.

Semua orang berlari di tengah gelapnya malam. Suara langkah mereka berderap kencang memecah keheningan. Tatapan mereka mengedar, ada yang takut dan ada yang memiliki tekad besar untuk keluar dari sini. Mata Dion menajam, memperhatikan gerak-gerik makhluk yang mungkin saja akan tiba-tiba menyerangnya. Walaupun ia percaya Dara di atas akan membantunya untuk menyerang, tapi dirinya harus tetap waspada.

Dara juga ikut mengedarkan pandangannya. Walaupun sesekali ia meringis memegangi lukanya yang ia rasa sedikit basah. Tangan kanannya memegang sebuah pedang panjang yang di berikan Bruce sebelumnya. Yah, Dion sendiri yang meminta Bruce senjata itu dengan alasan dirinya mahir menggunakannya. Padahal tidak banyak dirinya menggunakan benda itu.

"Itu!" Leo menunjuk sebuah Jeep putih yang terparkir di pinggir jalan.

"BERGERAK KESANA!" seru Bruce.

Semuanya langsung berbelok menuju mobil itu. Bruce yang sampai lebih dulu langsung menarik kenop pintunya. Tidak bisa! Sial! Bruce berdecak sambil memaksa terus untuk membuka pintu itu.

"Bagaimana?" tanya Pietro. Ia tak menatap Bruce, melainkan sibuk melihat kiri dan kanannya.

"Bangsat, pintunya terkunci!" Bruce menendang mobil itu, "cari lagi!"

Saat semuanya hendak beranjak, suara sirine yang kencang mendadak berkumandang. Mereka mengedar pandangan ke segala penjuru. Membentuk lingkaran sambil mempersiapkan senjata untuk menyerang. Suaranya sama sekali tidak berhenti. Menyita waktu mereka untuk menerka dari mana asal suara itu.

"Kita tidak ada waktu! Ayo pergi!" Wendy memberi aba-aba untuk kembali menyusuri jalan.

"Tu-tunggu dulu, kemana kita akan pergi?" tanya Naka panik.

"Sebenarnya kita belum menemukan jalan keluarnya. Tapi, kita akan berusaha mencarinya selama kita berlari menjauh dari pusat kota," terang Pietro.

Naka dan Leo saling pandang. Mereka mau tidak mau harus ikut. Nyawa mereka sekarang di pertaruhkan. Kalau mengira ucapan mereka itu omong kosong dan memilih tidak ikut dengan orang-orang itu, yang ada mereka akan mati konyol di tempat ini.

Dion sesekali memperhatikan Dara. Gadis itu terdengar meringis kesakitan, tubuhnya bergerak tidak nyaman. Terasa sekali jari-jari Dara bersentuhan dengan punggungnya. Dion menjadi sedikit takut dengan keadaan Dara, "kamu nggak apa-apa, kan?"

"Ng-nggak. Jangan pikirkan aku, teruslah berlari," tandas Dara.

Dion mengangguk dan mempercepat langkahnya. Ia masih berusaha untuk mengingat-ingat dimana tempat dirinya melihat kabut itu. Yang ia rasa, pasti tempat itu jauh dari pusat kota. Di tengah hutan kota, dekat dengan pepohonan. Satu hal yang ia harapkan, itu memang benar jalan keluarnya.

"Itu mobil lagi!" Kini Pietro yang memberi tahu. Pria itu menunjuk mobil Van di depan sebuah rumah. Pintu mobil itu terlihat terbuka.

"Cepat kesa–"

Bruce menghentikan ucapannya. Dirinya berbalik kala mendengar suara geraman dari arah belakang tubuhnya.

"Ohh, sial."

Tak jauh di belakangnya, ribuan Hounds lapar berlari mengejarnya. Derap kaki mereka sudah hampir menyamai seekor cheetah. Tak hanya itu, matanya melebar kala melihat makhluk hitam besar yang mengikuti kawanan itu dari belakang.

"CEPAT KE MOBIL!"

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang