Botol Kaca

36 13 1
                                    

Lagi dan lagi, Dion bertugas untuk berjaga di saat kedua beban ini tertidur. Ini semua atas usulan Dev, sebelumnya ia sempat berdebat dengan pria itu. Namun, Dev seakan tidak mau mengalah membuat Dion muak dan mengiyakan usulannya. Seperti perempuan saja!

Ia ingat kata-kata mutiara busuk yang di ucapkan Dev, 'DEV SELALU BENAR!'. Jadi mau sampai kiamat pun ia berdebat tidak akan mau pria itu untuk mengalah.

Sementara Dara hanya bisa menonton sambil memakan roti. Tidak ada niat membela dari gadis itu. Wajah polosnya masih terlintas di kepalanya. Bagaimana gadis itu menyemangatinya sebentar lalu kembali makan.

Yah, kata Dev dirinya sudah terhitung tidur saat pingsan tadi. Jadi Dion di haruskan berjaga karena Dev mengeluh lelah sudah mencoba membangunkannya. Cih, dirinya juga tidak meminta untuk di bangunkan. Mereka telah sepakat untuk tidur tepat di tengah-tengah lorong. Cahaya menyorot tepat ke arah mereka. Itu lebih memungkinkan mereka dapat melihat bahaya yang datang kapan saja. Bahkan kini mereka mencoba tidak bersandar agar bisa cepat bangkit bila ada bahaya menyerang.

Entahlah, ia merasakan kalau sekarang lebih dingin dari sebelumnya. Untung saja ia sudah memakai hoodie dan rompinya lagi. Walaupun sayup-sayup dingin masih ia rasakan.

Ia menghela napas pelan, di tatapnya wajah Dara yang tertidur pulas di pangkuannya. Rambut lembutnya menutupi wajah cantiknya. Ia memang seharusnya tidak munafik, kalau Dara adalah gadis yang cantik. Tak hanya cantik, ia juga manis. Ada dua buah lesung di pipinya ketika tersenyum. Rambutnya yang panjang di biarkan di gerai. Sengaja ucap Dara tadi, karena ketika ada monster ia bisa menutup matanya sebentar dengan rambutnya. Jadi ia bisa mengurangi kekagetannya.

Entahlah, Dion masih tidak bisa tenang. Ia merasakan kalau ada sesuatu yang mengawasi dari balik kegelapan. Matanya menerawang jauh, tepat ke sebuah lorong di depannya. Jaraknya ke arah lorong itu sangat jauh, namun anehnya tidak ada pencahayaan sedikitpun di sana. Biasanya, akan ada satu atau dua lampu di setiap lorong. Lain halnya dengan yang satu ini. Apa sengaja dimatikan? Di sana sangat gelap, menimbulkan rasa cemas bagi siapapun yang melihatnya.

Dion tetap berusaha berpikir positif, mungkin karena ia terlalu takut karena kejadian Luna tadi masih membayangi kepalanya. Tapi, balik lagi. Bagaimana kalau hal itu terjadi lagi untuk yang kedua kalinya?

Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan bunyi sedikit pun. Bahkan napasnya ia pelankan, agar bisa mendengar suara sekecil apapun. Suara tetesan air mengagetkannya, entah asalnya dari mana, tapi suara itu samar-samar terdengar di telinganya. Jantungnya mulai berdegup, ia mencoba menajamkan lagi pendengarannya agar bisa mendengar lebih jelas dari mana asal suara itu.

Hilang, keheningan merasuki tubuhnya. Ia semakin cemas. Ia sangat butuh orang untuk menemaninya. Kakinya menggapai tubuh Dev. Di tendangnya pelan tubuh jangkung pria itu.

Sial! Ia hanya menggeser lalu kembali tidur. Suara dengkurannya semakin keras terdengar.

Siluet hitam tertangkap dari ekor matanya. Keluar dari lorong gelap itu. Entah melesat kemana, yang jelas ia merasakan kalau ada sesuatu di dekatnya saat ini. Baik, kita mulai dari awal lagi.

Ia memejamkan matanya, kembali menajamkan telinganya. Dapat!

Sebuah tentakel panjang melesat cepat di samping kepalanya. Bentuknya berlendir, dan beberapa darah menetes. Jantungnya seakan berhenti beberapa detik. Untung saja ia cepat menghindar. Tangannya mengambil XM556 dan menembaknya asal ke belakang tubuhnya.

Sunyi, lagi. Apa yang ia tembak barusan? Apakah itu mengenai sesuatu yang bersembunyi di balik kegelapan?

Ah, persetan menunggu sesuatu muncul, ia langsung membangunkan Dara. Menepuk wajah gadis itu pelan.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang