Kini Dara harus berjaga di ruangan ini. Gadis itu sama sekali belum memejamkan matanya. Sedari tadi ia memainkan surai Dion yang terkulai di pundaknya. Saking asiknya, Dara sampai menoel-noel pipi Dion dengan gemas.
Di lihat-lihat, wajah Dion seperti anak kecil. Ia sangat iri, kenapa Dion sama sekali tidak ada jerawat maupun bekas di wajahnya. Sementara Dara, gadis itu masih memiliki beberapa bekas jerawat walaupun terlihat samar. Apa semua laki-laki seperti ini? Ah tidak juga, temannya Bian tidak semulus ini kulitnya.
Melihat Dion yang tertidur di pundaknya, ia membayangkan kalau dirinya memiliki adik kecil. Walaupun umur mereka terpaut berbeda beberapa bulan–seingat Dara umur Dion lebih muda darinya–namun Dion terlihat dewasa. Apa pengaruh menonton film anime itu seperti ini? Jadi ucapan Dira tentang semua wibu itu tidak jelas itu tipuan, ya? Memang seharusnya ia mempercayai ucapan temannya itu. Sangat bullshit!
Di sekolah dulu, Dara jarang sekali melihat Dion ikut ekstra manapun. Dara yang notabenenya seorang anggota organisasi sekolah pasti tau siapa saja murid yang ada di tiap-tiap ekstra. Tapi, ia tidak pernah melihat Dion muncul sekalipun. Apa ia tidak ikut ekstra, ya? Entahlah, kalau berhasil keluar nanti, Dara akan mengajak Dion ikut anggota organisasi, Dara juga akan mengajak Dion ikut ekstra pertamanan. Pasti akan menyenangkan menanam pohon berdua dengan Dion!
Kalau ... Berhasil ... Dara menghela napas pelan. Apakah mungkin dirinya bisa keluar? Ia memang masih menyimpan sedikit harapan kalau mereka bisa keluar dari tempat ini. Tapi, mengingat ucapan Dion, Joe dan Lim, rasanya itu tidak mungkin. Tiga lawan satu kemungkinan, apakah bisa menyainginya?
Dara meletakkan tangannya dalam pangkuan. Matanya menatap tubuhnya yang masih berisikan bekas-bekas darah yang sudah mengering. Ini bukan darahnya, ini semua darah akibat ia merosot, terjatuh, sampai tertidur di area 5 tadi. Iwhh, mengingatnya saja membuat Dara bergidik.
Bagaimana bisa ada orang yang menciptakan tempat ini? Oke, ralat. Bagaimana bisa ada 'sesuatu' yang menciptakan tempat sejahat ini? Dimana nyawa manusia sudah tidak memiliki harganya. Seakan kematian sudah menjadi hal yang biasa di pertontonkan.
"Kenapa berhenti?" Dara tersentak. Ia langsung menoleh ke arah Dion yang melirik ke arahnya.
Bagaimana bisa laki-laki ini sadar kalau dirinya sudah tak lagi mengelus kepalanya? Apakah ia punya semacam indra keenam yang bisa melihat walau dalam terpejam?
"A-ahh, kenapa bangun?" tanya Dara gugup.
"Kamu berhenti ngelusnya," ucap Dion pelan.
Dara berdecak, "kamu bukan Milo yang harus aku elus-elus."
"Yaudah." Dion bangkit dan bersandar pada dinding. Ia kembali tidur tanpa bersandar pada bahu Dara.
"Ngambekan, dih!" kesal Dara. Gadis itu menarik kepala Dion paksa dan kembali mengelus kepala laki-laki itu.
Dion terkekeh pelan, ia kembali memejamkan matanya. Dara mendengus pelan. Ia akui Dion memiliki rambut yang bagus. Tapi, ia juga lelah karena terus mengelus laki-laki ini. Tangannya bersilang demi mengusap satu persatu rambut Dion. Ia ingin sekali menjambaknya. Tunggu, menjambaknya?
"Awh," ringis Dion kemudian bangun. Laki-laki itu memegang kepalanya yang sakit.
Sementara Dara terkekeh sambil membuat bentuk capit dengan jarinya.
"Enak nggak?" tanya Dara tertawa pelan.
Dion menggeleng cepat. Tidak ikhlas sekali rasanya Dara. Padahal ia hanya minta di elus saja. Sejujurnya, Dion merasa nyaman dengan perlakuan Dara barusan. Ia sebelumnya tidak pernah di perlakukan seperti itu lagi selama bertahun-tahun yang lalu. Terakhir kali, ibunya lah yang mau mengelus kepalanya. Tapi, semenjak kecelakaan merenggut nyawanya, ia sama sekali tidak mendapat perlakuan ini lagi.
"Sudah di area berikutnya, ya?" Dev bangun dari tidurnya yang nyenyak. Pria itu menggaruk-garuk kepalanya. Matanya mengerjap-ngerjap memperhatikan ruangan ini. "Ah, ternyata belum. Bangunkan aku saat semuanya sudah sampai."
Dev kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas ubin. Cepat sekali terlelapnya, bahkan suara dengkuran keras keluar dari mulutnya.
Dion dan Dara terkekeh melihatnya. Mereka kembali sibuk dalam pikirannya masing-masing. Belum ada yang membuka topik setelah kejadian tadi. Dara sudah beberapa kali melirik Dion. Laki-laki itu hanya terdiam sambil memainkan hoodienya. Argh, ini sangat canggung!
"Dion," panggil Dara pelan.
Dion menoleh, mengangkat sebelah alisnya. Dara menggeleng pelan. "Nggak jadi."
Laki-laki itu mengangguk saja. Lalu kembali terdiam. Di dalam hati Dara telah di kuasai kekesalan. Bagaimana laki-laki ini bisa terdiam di saat dirinya sedang berusaha mencari topik? Dara gemas sendiri dan menggigit bibir bawahnya.
"Gimana rasanya muntah darah tadi?" PERTANYAAN APA ITU? Dara merutuki dirinya yang bertanya tidak jelas seperti itu.
"Enak," jawab Dion sekedar.
Dara menahan tawanya. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Huft, tidak Dara. Jangan sekarang! Ini adalah topik yang sensitif.
"Sakit?" tanya Dara lagi. Ia tersenyum lebar. Membuat Dion bergidik melihatnya.
"Sedikit," sahut Dion ragu-ragu. "Kenapa?"
Dara menggeleng cepat, "a-ah, nggak kok, nggak. Hehehe ..."
Damn it! Dara ingin membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali!
Lampu tiba-tiba padam. Dara dan Dion sama-sama menengadah ke atas. Laki-laki itu menurunkan pandangan, rasanya ini saatnya untuk bergerak ke level selanjutnya. Suara-suara benda yang bergerak terdengar jelas. Ini seperti sebuah bangunan yang tumbuh sendiri dari dalam tanah. Begitu kedengarannya, Dion mulai menerka-nerka dirinya ada dimana.
Hening, Dion sama sekali tidak mendengar suara satupun yang berkicau dari sebelahnya. Ia berusaha menggapai-gapai sesuatu di sebelahnya. Kosong? Dion menoleh. Hanya kegelapan yang ada di matanya. Tunggu, kenapa lampu masih belum menyala juga?
Cahaya merah berkedip sesaat. Di saat yang bersamaan terdengar suara teriakan dan remukkan tulang yang cukup keras. Dion menatap ke sembarang arah. Kepalanya mengedar kesana kemari mencari sumber suara itu.
Itu bukan Dara, kan?
Kenapa lampu masih belum menyala lagi? Suara pekikan orang-orang kembali terdengar. Sekarang lebih lantang dari sebelumnya. Suaranya bersahut-sahutan, seperti ada kekacauan yang sedang terjadi. Apa itu? Kenapa di sini sangat gelap?
Dimana Dara?
"DARA!" teriak Dion. Laki-laki itu ragu-ragu melangkahkan kaki. Rasanya ada beban yang sangat berat di kedua betisnya. Menahannya untuk melangkah dan tetap dalam posisinya.
Sesuatu menciprat ke tubuhnya. Kental dan hangat, napas Dion berderu sangat cepat. Ia merasakan sesuatu sedang datang ke arahnya. Apa itu? Dion sama sekali tidak tau apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
Itu bukan Dara, kan?
"Dimana bonekaku~?" Suaranya terdengar halus dan nyaring. Seperti anak kecil yang sedang merengek dan menangis.
Getaran halus terasa di kakinya. Ini bukan dari tubuhnya, melainkan dari lantai yang di pijaknya. Jantung Dion semakin terpacu sangat cepat. Ia masih belum berani berkutik sama sekali. Bahkan noda cairan tadi yang mengenai wajahnya belum berani ia bersihkan. Napasnya semakin terpacu, getaran yang ia rasakan semakin kuat. Apa itu?
Suara tadi samar-samar menghilang. Menciptakan keheningan yang kini menghantui dirinya. Lampu merah berkedip, jantung Dion seakan berhenti berdetak. Tepat di depan wajahnya sosok kepala bayi besar tersenyum ke arahnya. Di mulutnya terdapat tubuh seseorang yang sedang di kunyah makhluk itu.
"Ketemu~"
∞
KAMU SEDANG MEMBACA
DOME
Mystery / ThrillerUsai mendapatkan surat misterius yang tergantung di depan rumahnya, Dion terjebak di sebuah dimensi lain yang tidak berujung. Dirinya di paksa untuk menyelesaikan setiap level dengan selamat. Dimana di setiap level ada banyak sekali makhluk kejam ya...