Three Dors

35 13 3
                                    

Langkah kakinya yang tegas memantulkan setiap suara pada lorong yang gelap. Dengan senjata yang di pangkuannya, ia sudah siap untuk membunuh setiap makhluk yang menghalangi jalannya.

Mulutnya terus mengeluarkan asap. Tangan satunya memegang pipa tembakau. Ia sibuk menyedotnya selama perjalanan tadi. Setidaknya mampu membuat pikirannya menjadi tenang.

Setelah mendapatkan sebuah jam hitam pecah yang tergeletak di atas genangan air, ia menjadi yakin kalau orang-orang itu memang sudah pergi dari sini.

Ia sedikit terkejut, langkahnya berhenti dan menatap tempat yang di pijaknya. Ia terdiam tepat di tengah-tengah lorong. Mata tajamnya menyoroti sebuah bangkai manusia yang telah terkoyak tanpa sisa. Ia mendekat lagi untuk lebih memastikan, badannya berjongkok di sebelah mayat.

"Ckck, gadis yang malang."

Rupanya ternyata perempuan. Wajahnya sudah tak berbentuk, sampai terlihat tulang wajahnya. Rambut wanita itu sudah botak setengah. Terdapat bekas cakaran dan koyakan di setiap tubuhnya.

Ia kembali bangkit. Di susurinya bekas darah yang di seret dari sebuah ruangan.  Ia membuka lebar ruangan itu, senjata laras panjangnya sudah siap di tangannya. Kosong, hanya berisikan bercak darah.

Tunggu, matanya menangkap sesuatu. Sebuah walkie talkie teronggok di atas ubin. Tangannya terperangah untuk mengambil benda itu. Sudut bibirnya terangkat.

"Kerja bagus, anak buahku ..."

"Sialnya kenapa aku harus mengikutimu."

Argh! Dion kesal sendiri mendengar Pietro yang mengoceh karena Dea mendesaknya untuk menolong laki-laki itu. Kalau memang tidak mau, kenapa harus di terima? Dion bisa sendiri menyelamatkan Dara. Sifat pria ini sebelas dua belas dengan Dev. Sayangnya, yang satu itu sudah terbelah seperti bilah bambu.

"Kamu bisa pergi," suruh Dion malas.

"Apa kamu buta? Sudah jelas celah itu tertutup." Pietro menunjuk kegelapan di belakangnya.

Dion tak menjawab. Dirinya juga sudah tau kalau celah itu tertutup. Alasannya menyuruh Pietro pergi, hanya formalitas semata agar bisa di katakan sebagai teman yang baik dan sok berani. Aha, lucu sekali. Sudahlah, persetan dengan Pietro, lebih baik ia mempercepat langkahnya menyusul Dara.

Langkah Dion terhenti, ia mendengar suara teriakan dari depannya. Hanya terdengar pelan dan lantang. Dion rasa kalau suara itu berasal dari Dara. Sedikit lagi, dalam benaknya terus berdoa agar Dara baik-baik saja.

Bertahanlah, Dara. Kami akan menyelamatkanmu!

Tubuh Dara terlempar ke belakang. Akibat hentakan kencang dari Big baby, gadis itu tersungkur di atas ubin. Tenaga Big baby tidak bisa di anggap remeh. Rasanya seperti ada banteng besar yang menabraknya. Dara berusaha bangkit walau tertatih-tatih. Sorot matanya menatap takut makhluk besar yang mendekatinya. Makhluk itu merangkak sembari menjulurkan lidahnya.

"Mau kemana, bonekaku? Aku ingin mencoba menyambungkanmu, dengan kepala ini." Dara membelalakkan matanya, kepala Dev yang telah terputus di jepit dengan jari oleh Big Baby. Wajah pria itu menganga, mata putih pucatnya serta darah kental yang sudah mengering pada lehernya.

Air mata Dara tak terasa mengalir, kini ia melihat langsung mayat Dev yang sudah tak berbentuk. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Gadis hendak menerjang Big baby, ia sudah di kuasai amarah. Ingin sekali ia mencabik-cabik makhluk di depannya walaupun dengan tangan kosong.

"Kamu ingin melawanku? Beraninya!" Big baby langsung bangkit dan mengejar Dara. Tubuh besarnya melesat ingin menangkap Dara yang berlari ke arahnya. Sorot mata tajam gadis itu, tidak mampu membuatnya gentar.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang