Stranger

28 4 3
                                    

Pietro mengusap-usap lengan jaketnya. Beberapa kali bibirnya menguap, matanya sudah memerah dan berair. Terasa dingin sekali di luar. Tau begini dia tidak akan pergi. Lebih baik di dalam rumah dan tidur. Di tambah suasananya yang gelap dan sunyi. Menambah rasa kantuknya semakin kuat saja.

Lain halnya dengan Wendy. Gadis itu menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Bibirnya bergerak mengunyah permen karet yang dari tadi tidak di buangnya. Rambut cokelatnya yang sebahu bergelayut di terpa angin. Tidak ada rasa kantuk sama sekali, hanya tekad yang kuat untuk keluar dari tempat ini.

"Bagaimana kamu yakin kalau di sini ada jalan menuju level selanjutnya?" tanya Pietro membuka topik.

Ah, kalau tidak begitu maka muak sudah dirinya berdiam tanpa suara. Ini sudah hampir satu jam ia berjalan, tidak ada satu obrolan yang terlintas di antara mereka.

"Kan ada kamu," jawab Wendy.

"Aku saja tidak tau apa area selanjutnya." Pietro kembali menatap lurus ke depan.

"Katamu tadi melihat kabut di dekat tempat kami menemukanmu, dimana itu?" tanya Wendy.

Pietro mengangkat bahunya, "entah. Aku lupa."

Suasana kembali hening. Argh, Pietro sangat tidak suka dengan keadaan ini. Ia harus memberanikan diri untuk bertanya pada Wendy.

"A–"

"Bagaimana kehidupanmu sebelum kamu sampai di sini?" tanya Wendy tiba-tiba.

Pietro menutup mulutnya. Ternyata gadis itu sudah mengambil pertanyaan yang hendak di lontarkannya.

"Kehidupanku? Biasa-biasa saja," jawab Pietro. "Aku hanya seorang penjaga toko yang sehari-hari duduk di kasir siang dan malam. Begitu saja sampai akhirnya aku masuk kesini."

Wendy menghentikan langkahnya. Wajahnya berkerut, matanya menyorot Pietro dari atas sampai bawah. Penjaga toko? Kepalanya yang botak, badannya yang besar, ada kumis dan janggut di wajahnya. Kalau tidak memakai jaket, Pietro seperti preman atau bandar sabu-sabu.

"Kenapa? Kamu tidak percaya?" tanya Pietro curiga.

Wendy mengangguk pelan lalu kembali beranjak, "percaya."

"Ah, bohong. Dalam pikiranmu pasti mengira aku adalah orang bekas kriminal," tebak Pietro kesal.

"Begitulah, mungkin."

Suara desahan berat terdengar dari mulut Pietro. Pria itu menggeleng pelan, "aku memang suka olahraga dan makan, makanya aku besar. Dan jangan pernah menilai orang dari penampilannya. Walaupun aku seperti ini, hatiku sebenarnya selembut sutra."

Wendy cekikikan mendengar pengakuan Pietro, "selembut sutra apanya? Seharian aku mendengar mu bertengkar terus dengan Dion."

"Itu lain, memang anak itu yang suka cari gara-gara. Lihat wajahnya saja aku ingin memukulnya." Tangan Pietro terkepal sambil menepuk-nepukkannya.

"Tidak boleh seperti itu. Kalau begitu dari mana sisi lembutnya? Sama saja kamu adalah orang yang kasar," cerca Wendy.

Pietro terkekeh, "aku hanya bercanda kok. Mana mungkin aku berani memukul anak polos sepertinya."

"Cih," decih Wendy menatap sinis Pietro.

Keduanya kembali terdiam, kini adalah giliran Pietro yang akan bertanya. Baru saja pria itu hendak membuka mulut, tangan Wendy langsung menahan tubuhnya tiba-tiba. Suara desisan terdengar, wajah gadis itu terlihat menegang di tengah kesunyian.

"Kamu dengar suara langkah itu?" bisik Wendy pelan.

Pietro menajamkan pendengarannya. Suara? Dia tidak mendengar apapun. Ini memang telinganya yang bermasalah atau gadis ini sedang berhalusinasi?

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang