Gugur

47 14 2
                                    

Ruang remang, pengap dan berwarna putih kosong. Dion menjatuhkan tubuhnya yang lemas. Bersandar pada dinding sambil menatap tangannya yang gemetar hebat. Tatapannya kosong menerawang. Ingatannya akan kematian Luna menyerang psikisnya.

"Kau!" Dev menarik kerah baju Dion, mengangkat laki-laki itu dan membenturkannya pada dinding.

Tatapannya bengis, rasa dendam dan amarah memuncak.

"Kalau bukan karena dirimu, Luna tidak akan mati! Luna tidak akan mati kamu tau itu bangsat!" Dev menghantam rahang Dion sangat keras. Laki-laki itu terjatuh di buatnya.

"Apa yang kamu lakukan?!" hardik Dara mendorong Dev. Gadis itu menatap tajam netra hitam Dev, "dia tidak tau kalau ada makhluk berbahaya di sana. Jadi jangan salahkan dia!"

Dev menarik kerah Dara, "kalau kamu tersadar tadi, dia sudah tau kalau ada yang salah dengan ruangan itu! Tapi kenapa ia tidak memberitahu kita?" tangannya menuding Dion, "karena dia memang ingin kita mati!"

Dara meludahi wajah Dev, cukup sudah ia mendengar ocehan Dev yang tidak jelas. Kakinya hendak menendang perut pria itu, namun tubuhnya lebih dulu di lempar ke atas ubin. Tubuh Dara menabrak lantai cukup keras.

Sial, kalau tidak di hentikan maka Dev bisa membunuh mereka berdua. Dion menyambar kerah lengan pria itu, membogem wajah Dev sangat keras dan menarik kerahnya kasar. Laki-laki itu mendorong Dev dan menghantupkan kepala orang itu ke dinding.

"Dengar! Aku sudah menduga ada yang salah dari mayat itu, makanya aku menyuruh kalian untuk keluar tanpa berisik!" Dion menghantam wajah sebelah kanan Dev, "tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu malah menyorot makhluk itu lagi dan membuatnya menyadari kehadiran kita! Kamulah penyebab Luna mati!"

"BRENGSEK!" Dev membenturkan kepalanya ke kepala Dion. Ia meninju Dion dengan brutal, untung saja laki-laki itu dapat menangkis walau beberapa kali mengenai wajahnya. "KAMU LAH PENYEBAB LUNA MATI!"

Dion menendang perut Dev dan membuat pria itu tersungkur. Ia sudah buta akan amarah. Dion menindih tubuh Dev dan menghujaninya dengan tinjuan. "Dimana rasa terima kasihmu bangsat!"

"HENTIKAN!" Dara menghunus pedangnya ke arah Dion dan Dave, napas gadis itu memburu, tatapannya tajam menyorot kedua orang tersebut. "Aku akan menebas kalian jika kalian tidak berhenti!

"Kematian Luna bukan salah Dion ataupun kamu! Ini salah kita semua! Kalau kita lebih waspada pasti Luna akan tetap hidup!" bentak Dara. Matanya menyorot ke arah Dion, "bangun dari tubuh orang itu, CEPAT!"

Dion langsung bangun menjauh, matanya masih menyorot tajam ke arah Dev. Kalau Dara tak menghentikannya, ia pasti sudah membunuh pria itu dengan tangannya sendiri.

Sementara Dev, pria itu terkapar dan menangis. Tangannya menutupi mulutnya menahan isakannya.

Dara memerintah mereka untuk Duduk. Keadaan mereka parah sekali. Wajah Dion lebam dan berdarah pada sudut bibirnya. Dahi laki-laki itu benjol akibat ulah Dev. Sementara Dev, pria itu lebih buruk dari Dion. Karena tersulut emosi, pria itu sampai tak dapat mengawal tubuhnya.

"Harusnya kamu bersyukur pada Dion karena kalau bukan karena keisengannya menghidupkan senter, kita tidak akan tau kalau ada bahaya yang sedari tadi mengintai. Bukan berarti aku membela Dion karena dia temanku, tapi secara logika saja orang tidak dapat berpikiran jernih ketika ada bahaya besar yang sudah mengancam kita. Ia menyuruh kita untuk keluar tanpa berisik karena ia sudah sadar, kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan mayat itu."

Mata Dara menyorot Dion, "dan kamu! Kalau memang ada sesuatu yang janggal cepat beritahu kami. Kita itu satu tim, sama-sama terjebak dan berusaha untuk keluar. Tidak ada salahnya untuk memberitahu, kita juga pasti akan mengerti dan menuruti perintahmu. Jangan egois!"

Dion menunduk dalam. Mendengar ucapan Dara, semuanya menusuk ke relung hatinya. Memang benar dirinya tidak memberitahukan karena takut kalau mereka akan histeris dan membuat keadaan semakin memburuk. Sejujurnya ia tidak begitu tau kalau mayat itu akan hidup dan menyerang secara beringas. Yang ia takutkan kalau para Hounds akan kembali dan mengejar mereka.

Mengenal Luna secara dalam walaupun pertemuan yang sangat singkat berhasil membuat hatinya tercabik. Ia teringat akan mimpi Luna yang ingin ikut relawan untuk membantu anak-anak dari pedalaman. Bahkan sebelum menggapai mimpinya, gadis itu lebih dulu meninggal dunia.

Ia menatap Dev yang terpuruk. Wajahnya sayu, air mata tak berhenti keluar. Sebagai orang yang lebih lama mengenal Luna, pasti sakit sekali rasanya melihat teman dekatnya pergi dengan cara yang bengis.

Dion mendekati Dev, ia menepuk punggung pria itu pelan, "maaf."

Tangis Dev pecah. Ia menunduk, meraung dalam kesedihan yang mendalam. Hatinya sangat tersayat, bagai belati besar menusuk jantungnya. Ia masih tidak percaya kalau Luna sudah meninggal. Harapan kecilnya kalau ini hanyalah mimpi buruk ketika ia tidur di ruangan tadi. Tapi, rasa sakit tidak pernah berbohong. Ini semua nyata.

"Aku sangat menyayanginya. Kenapa harus dia? Kenapa perempuan sebaik itu bisa terjebak dalam tempat seperti ini?" lirih Dev parau. "Ini terasa tidak nyata. Aku masih berharap itu bukan dia."

"Ikhlaskan kepergian Luna. Kalau dia tau kamu seperti ini, dia tidak akan suka melihatnya," ucap Dion pelan.

Dev menggeleng lemah, "aku tidak bisa."

Walau hanya menjadi pendengar diantara mereka berdua, air mata Dara tetap mengalir sangat deras. Ia tidak mengenal Luna lebih dekat, tapi kelihatannya gadis itu terlihat sangat baik.

Wajahnya yang sedikit tembam, senyuman manisnya yang mengulum tulus. Karakteristik yang ia nilai pertama kali adalah Luna memiliki aura keibuan yang sangat kuat.

Gadis itu bangkit, dan duduk di sebelah Dev. Tangannya ikut mengusap punggung laki-laki itu. "Luna pasti sedih juga melihatmu terpuruk seperti ini."

Dev hanya diam terisak. Banyak janji yang ia buat untuk Luna ketika berhasil keluar nanti. Yang paling ia ingat adalah ketika mereka berhasil keluar, mereka akan pergi ke pantai bersama untuk menghabiskan waktu melihat sunset. Sayang kini menjadi angan-angan belaka.

"Halo semuanya, bagaimana kabar kalian sejauh ini?" Dion dan Dara saling tatap, mereka saling bertanya satu sama lain lewat naluri mereka akan siapa yang bersuara.

Suaranya sedikit cempreng. Apakah ini perempuan atau laki-laki?

Mata mereka langsung tertuju pada sebuah speaker kecil yang terpasang di sudut ruangan.

"Aku harap kalian menikmati permainan ini. Sejauh ini apakah ada tantangan yang sangat sulit?" Dion menangkap sesuatu, apakah ini orang yang mengontrol dimensi backrooms?

"Aahh~ Mana mungkin ini sulit, kalian adalah orang-orang terpilih yang terlihat ampu melewati setiap level di permainan ini~

"Bagaimana kalau kuberikan sebuah teka-teki yang menarik? Seorang penjahat masuk ke dalam penjara, namun beberapa saat kemudian polisi membebaskannya. Apakah ia akan melakukan kejahatan lagi, atau akan bertaubat?

"Kalau ada yang bisa menjawab pertanyaan ini, maka akan bisa melewati level baru yang akan menyambut kalian.

"Menarik bukan? Sudah siap untuk level selanjutnya, pionku~?"

Gimana sejauh ini?

Kasih reaksi kalian ya untuk baca bab-bab sejauh ini

Mungkin adegan aksinya masih kurang, atau horornya masih kurang. Tetap percaya diri walau overthinking melanda.

Tolong krisarnya ya, karena krisar kalian itu membantu banget untukku^^

Sekali lagi, buat yang mau nanya silahkan di komen ini^^

Okee terima kasih semua!

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang