Sinar merah yang berpendar menerangi sebuah tulisan kecil di bawah papan angka tersebut. Awalnya samar-samar, kemudian mulai terlihat jelas. Mata Dion memicing membaca tulisan tersebut.
"Peraturan area 9 ... Tunggu, kita hanya di berikan waktu seminggu untuk pergi dari sini? Tidak masuk akal, jalan menuju area selanjutnya saja tidak ketemu," gerutu Pietro.
Dion tak memperdulikan ocehan Pietro. Dia lebih seksama membaca sebuah kalimat yang menarik perhatiannya. "Jikalau seminggu tidak ada yang pergi, maka akan ada ledakan besar yang terjadi."
"Jadi, ada bom yang tertanam di kota ini?" tanya Pietro menatap Dion.
Dion mengangkat bahunya, pandangannya mengarah pada Bruce yang tengah menghisap selinting rokok, kepala pria itu menengadah ke atas. "Bukan di bawah ..."
Kedua pasang mata Dion dan Pietro mengikuti arah pandang Bruce. Puluhan balon udara dengan setitik cahaya merah di tengahnya mengudara. Terbang tanpa haluan di terpa angin yang cukup kencang. Dion memang tidak memiliki night vision, tapi ia dapat menebak kalau jumlah bom itu hanya satu di setiap titik dengan jarak ledakan yang cukup besar.
"Sial, matilah kita kalau itu sampai terjadi," keluh Pietro. Ia menghela pelan dengan tatapan kosong ke atas.
"Cih, aku sudah beberapa hari di sini baik-baik saja," tukas Bruce menyemprot asap ke wajah Pietro.
"Brengsek! Baunya jelek sekali," kesal Pietro. Ia mengibaskan asap dari wajahnya. "Aturan ini baru muncul sekarang, jadi wajar saja kamu selamat."
"Aturan itu sudah ada sebelum kamu datang kesini. Tau apa kamu soal selamat atau tidaknya? Buktinya saja aku tidak kenapa-kenapa sejauh ini," sombong Bruce mengangkat alisnya.
Pietro berdecih pelan. Sejujurnya ia juga tidak percaya akan aturan itu. Hanya untuk menakut-nakuti karena bahaya yang sebenarnya sedang mengintainya dari segala arah. Sejauh ini aman-aman saja. Makhluk-makhluk itu tidak ada yang menunjukkan keberadaannya.
Sementara Dion, laki-laki itu memilih masuk ke dalam apotek, melihat keadaan Dara itu lebih baik ketimbang adu debat dengan Pietro dan Bruce. Kedua pria yang tidak dewasa dan tidak suka mengalah.
Mata tajamnya menyorot sosok Dara yang terkulai lemas di atas matras. Gadis itu terpejam dengan wajah pucat pasi. Jauh sekali penampilannya dari yang ia temui pertama kali. Langkah kaki Dion mendekati gadis itu. Ia memperhatikan luka yang baru saja di jahit oleh Wendy. Sudah terbalut perban dengan rapi tanpa adanya noda darah yang keluar. Dion menghela lega, setidaknya ia bertemu lagi dengan gadis ini. Beberapa kali dirinya terpisah dengan Dara, rasanya tidak nyaman sekali. Rasanya tanggungjawab yang ia gendong gagal.
"Hey, biarkan dia beristirahat," oceh Wendy yang tiba-tiba muncul memakan sebungkus snack. "Makan ini, kamu tidak makan dari tadi."
Dion sigap menangkap snack yang di berikan Wendy. Ia menatap bungkus makanan itu. Ini seperti ... Makanan di snackroom.
"Dimana dapat?" tanya Dion pada Wendy.
"Di belakang, ada mesinnya. Sudah ku pecahkan kacanya jadi kalau ingin lagi kamu bisa mengambilnya," jawab Wendy. Gadis itu merebahkan tubuhnya di sebelah Dion.
Dion sudah tak heran kalau Wendy berbuat di luar dugaan seperti ini. Memecahkan mesin makanan agar semuanya dapat memakannya tanpa harus mengeluarkan uang. Kalau di sebut kurang kerjaan, terlalu kasar. Gadis itu memang terlihat egois, tapi dia adalah orang yang selalu rela berkorban. Seperti itulah gambaran sedikit yang Dion tangkap dari sosok Wendy. Mungkin ...
"Jadi dia yang kamu cari-cari?" tanya Wendy melirik ke arah Dara.
Dion mengangguk saja sambil mengunyah makanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOME
Mystery / ThrillerUsai mendapatkan surat misterius yang tergantung di depan rumahnya, Dion terjebak di sebuah dimensi lain yang tidak berujung. Dirinya di paksa untuk menyelesaikan setiap level dengan selamat. Dimana di setiap level ada banyak sekali makhluk kejam ya...