The Bodies

38 9 7
                                    

Beberapa kali Dion menghembuskan napasnya ke arah tangannya. Argh, bahkan setelah menggunakan sarung tangan tetap saja dinginnya masuk ke dalam tulangnya. Aneh sekali, padahal sebelumnya tidak sedingin ini. Mata Dion melirik ke arah Bruce. Pria itu sibuk menghisap rokok di mulutnya. Tatapannya tajam menyusuri jalan dengan tangan yang siap memeluk sebuah shotgun.

"Dingin, ya?" tanya Bruce menoleh ke arah Dion.

Dion mengangguk saja, mulutnya terlalu kelu untuk berucap.

"Anggap saja ini sebagai pembeda mana waktu siang dan malam di tempat ini," jawab Bruce asal kembali menatap ke depan.

Dion mengerutkan keningnya, "maksud paman?"

Bruce menghisap rokoknya kuat-kuat lalu menarik benda itu dari mulutnya. Asap berterbangan bersatu dengan dinginnya udara malam. Tanpa beban ia membuang puntung rokoknya sembarang tempat.

"Mudah saja. Kalau udaranya sudah dingin berarti sudah tengah malam. Walaupun di sini hanya malam saja, tapi dengan suhu tempat ini kita bisa menebak waktu kita sekarang," jelas Bruce serius.

"Apakah memang seperti itu?" tanya Dion tak yakin.

Bruce mengangkat bahunya, "entahlah. Aku hanya membuat-buat saja. Setidaknya aku akan tau waktu dimana aku harus beristirahat, dan kapan aku harus mencari makanan."

Sudah Dion duga. Kalau Bruce tidak mengarang, pasti hasil dari pemikiran di luar nalarnya. Yah, di pikir-pikir juga ada benarnya. Kalau di dunia nyata, malam memang identik dengan suhu yang rendah. Apalagi di tempat ini sama sekali tidak ada aktivitas kendaraan yang biasanya akan membuat panas sekitar.

"Kenapa tidak tadi saja paman mencari perbekalan? Sebelumnya kita juga mampir ke supermarket, bukan?"

Bruce berdecak, "kalau bukan karena kegaduhan tadi juga aku tidak akan meninggalkan makanan begitu saja."

Yah, ada benarnya juga. Di pikir-pikir setelah pergi dari supermarket tadi hanya Wendy saja yang berhasil membawa makanan sampai ke rumah. Bruce dan Pietro hanya membawa diri saja.

Pandangan Dion menyisir, seolah-olah tengah memperhatikan dengan serius keadaan di sekitarnya. Ini aneh, Dion sama sekali tidak merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu. Bahkan setelah berbincang dengan Bruce, dia sama sekali tidak menemukan sekelebat atau bayangan dari para entitas.

Tapi, dirinya memang harus tetap waspada. Di setiap bangunan kosong dan gelap dilewatinya memberikan kesan mengerikan. Seolah-olah ada sesuatu yang bersembunyi dan belum menampakkan diri. Angin masih bersayut-sayut, menerbangkan dedaunan yang di pijaknya.

"Kenapa kita tidak naik mobil saja?" tanya Dion yang baru sadar telah melewati beberapa mobil kosong di samping trotoar.

"Kamu lupa? Bukankah mobil kita sudah hancur tadi?" Bruce kembali menghidupkan rokok dan menyesapnya.

"Bukan, maksudku mobil-mobil itu," tunjuk Dion ke salah satu mobil di depannya.

Asap tebal di keluarkan Bruce dari mulutnya. Ia meludah sebentar lalu kembali menyesap rokoknya, "aku tidak mau ambil resiko. Kalau ada makhluk yang bersembunyi di sana dan tiba-tiba menyerang kita tidaklah lucu."

"Aku tidak yakin kalau ada entitas di dalam sana," kukuh Dion. Masalahnya mana mungkin ada makhluk yang bersembunyi di balik mobil yang tertutup? Dion lebih percaya kalau para entitas bersembunyi di dalam rumah ketimbang di dalam mobil.

"Memangnya kamu tau? Kamu kira aku tidak bertarung untuk mendapatkan mobil yang kita gunakan tadi?" tanya Bruce kesal.

Argh, mana mungkin kalau Bruce akan jujur kali ini. Dia pasti sedang mengada-ada ucapannya.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang