Burn it

30 6 3
                                    

Tuk ...

Dion menengadah, menatap tetesan air yang mulai membasahi tubuhnya sedikit demi sedikit. Hujan ...

Rintiknya mulai bergejolak, menjatuhkan ribuan air ke tanah yang di pijaknya. Apa ini? Kenapa bisa tiba-tiba turun hujan? Ia bergegas menarik Dara untuk berlari. Ini kesempatan yang bagus. Selagi bunyi hujan yang keras, ia bisa pergi tanpa ketahuan. Bunyi hujan itu akan meredam suara langkahnya.

"Tu-tunggu, bagaimana dengan kotak itu?" Dara menunjuk sebuah kotak yang basah di timpa air.

"Siapa peduli? Selagi hujan kita harus pergi dari sini," ajak Dion menarik lengan Dara. Gadis itu dengan cepat menahan dan menariknya.

"Apalagi? Kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk omong kosong wanita itu," deru Dion di tengah hujan.

"Dion, kita tidak tau sejauh mana jalan yang akan kita tempuh. Di tambah jalan yang berkabut seperti ini pasti akan menyulitkan kita. Tidak ada salahnya kan kita buka kotak ini? Siapa tau ada senjata di dalamnya," ucap Dara menunjuk kotak di sebelahnya.

"Bagaimana kalau itu adalah sebuah jebakan?" tanya Dion.

Dara berdecak, gadis itu langsung membuka kotak itu. Melempar tutupnya ke ladang gandum, dan menarik kotak itu agar Dion bisa melihatnya.

"Apa ini?" Dion membeo menelaah isi kotak itu. Tangannya mulai meraba-raba setiap potongan benda yang berserak basah di dalamnya.

Aneh sekali, Dion tidak menemukan senjata utuh di dalam kotak itu. Melainkan potongan-potongan benda aneh, serta beberapa dirigen cairan kuning dan kain. Apa dirinya harus merakit sebuah senjata sendiri? Tidak masuk akal.

"Sudah ku bilang, isinya tidak berguna." Dion menggenggam tangan Dara, "ayo, cepat."

"Tunggu, Dion. Aku punya ide." Dion memutar bola matanya malas. Ia memperhatikan Dara yang mengangkat dua buah dirigen dan satu korek api. Tunggu dulu, jangan bilang gadis ini akan membakar para gagak itu.

"Kamu mau buat apa?" tanya Dion.

"Bakar ladang-ladang ini," jawab Dara. Gadis itu menghela panjang setelah berhasil mengeluarkan keempat dirigen itu.

"Kamu gila? Itu akan semakin mempersulit gerak kita. Dan juga membuat mereka mudah menangkap kita," kesal Dion. Ide gadis ini kadang-kadang sangat tidak masuk akal. Sekalinya mendapatkan ide, sangat berbahaya di lakukan. Ia ingat sekali kala gadis itu meledakkan restaurant karena salah melempar botol. Itu juga yang membuat kakinya terjahit.

"Kali ini tidak akan," ucap Dara. Gadis itu menyuruh Dion membawa dua dirigen lainnya. Mulai mengajak Dion berlari menyusuri jalan setapak yang sudah becek tergenang air. Dara juga mulai melempar-lempar bensin di belakangnya. Tak lupa ia juga menyirami ladang itu.

Akibat suara hujan yang sangat keras, membuat Dion sama sekali tidak mendengar suara para gagak itu. Warna oranye pudar di gantikan kelabu yang memekat. Perlahan-lahan Dion merasakan kalau tempat ini menjadi gelap.

Dion sedikit terkesiap ketika mengetahui hujan tiba-tiba berhenti. Tepat di tanah yang di pijaknya sama sekali tidak ada air yang menggenang. Kering, bahkan warna oranye bersinar terang di hadapannya. Suara gagak-gagak itu mulai terdengar di sekitarnya. Dion menengadah dan mulai menerawang kemana perginya gagak-gagak itu.

"Dara, kamu dengar itu?" tanya Dion tanpa menatap gadis itu.

"Belum saatnya, ayo lari!" Gadis itu menarik tangan Dion sambil membiarkan bensin itu tumpah di atas tanah yang di laluinya.

"Kamu gila?!" pekik Dion tertahan. Ia menatap ke atas. Suara gagak itu mulai terdengar ricuh. Bertalu-talu di langit dengan bayangan hitam yang mulai terlihat. Ah, tunggu. Bayangan itu terlihat jauh di belakang. Tapi kenapa suaranya sangat keras terdengar? Apa karena tempat ini sangat sunyi?

"Nyalakan koreknya, Dion!" suruh Dara. Dion mengangguk sambil berusaha menyalakan koreknya.

Ah, sial! Kenapa tidak bisa? Dion terus memutar-mutar pematiknya, namun sama sekali tidak bisa. Gagak-gagak itu semakin dekat ke arahnya. Satu persatu muncul dari kabut, menerjang tajam dengan mata merahnya. SIAL! AYOLAH MENYALA!

"DION CEPAT!"

"SABAR SEDIKIT!"

Keringat Dion mengalir deras. Ia mengetuk-ngetuk korek itu pada telapak tangannya. Air keluar dari lubang api, akibat hujan tadi membuat koreknya basah.

Crek ...

Berhasil! Dion melempar korek itu ke belakang. Api langsung menyambar, berkobar tinggi membakar gagak-gagak itu. Satu persatu dari mereka terdengar memekik kesakitan. Seluruh ladang di belakangnya mulai di lahap oleh api. Bahkan terlihat di perbatasan hujan tidak mampu memadamkan api itu. Cahaya merah terpantul dari netranya. Dadanya naik turun akibat ketakutannya.

"Huft, syukurlah. Bagaimana? Ideku bagus, bukan?" Dara tersenyum sambil menyenggol lengan Dion.

Dion tersenyum, mengusap rambut gadis itu pelan. "Kamu pintar."

Dara terkekeh pelan, "sekarang baru saatnya kita berlari dengan tenang. Tidak ada lagi yang mengejar kita setelah ini."

Dion mengangguk. Ia langsung menarik tangan gadis itu dan mengajaknya kembali berlari. Dia tidak tau kalau ada sebuah sosok jerami yang mengikutinya dari belakang.

Langkah Dion dan Dara perlahan berhenti. Tepat di depannya, ada dua buah orang-orangan sawah teronggok tak jauh dari mereka. Oke, Dara masih bisa menerima kalau boneka tertanam di sekitar ladang, tapi ini tepat di hadapannya. Menghalangi jalan mereka untuk lewat. Siapa orang bodoh yang menaruh benda itu di sana?

Benda itu sangat tinggi. Dua meter lebih tinggi dan besar dari tubuh Dion. Kepalanya tersenyum lebar, matanya berbentuk segitiga dengan topi petani yang bertengger di kepalanya. Mereka seolah tengah mengintimidasinya. Ah, itu hanya boneka pengusir gagak.

"Level ini sangatlah tidak jelas. Sudah ada televisi, gagak, dan sekarang boneka pengusir burung," gerutu Dara hendak melanjutkan langkahnya. Matanya berkedip sekali kemudian menunjuk boneka orang-orangan sawah itu. "Lihat, benda itu menghalangi jalan kita."

Dion mengangkat bahunya acuh dan berkedip sekali, "biarkan saja. Selagi tidak berbahaya, kan?"

"Iya tau, tapi masa kita harus menerobos ladang? Gatal," keluh Dara. Apalagi kini dirinya tidak mengenakan jaket. Gadis itu berkedip sambil menggosok tangannya.

"Hanya sebentar, kalau mau kita lewat pinggir saja," saran Dion. Ia menunjuk jalan kecil yang di sediakan oleh dua boneka itu.

Tunggu dulu, apa hanya dirinya yang menyadari keanehan ini? Boneka itu sedikit lebih dekat darinya.

"Erghh, baiklah. Sekali saja," pasrah Dara. Gadis itu mengucek matanya karena ada debu yang masuk.

"Dara ..." Gadis itu mendongak, kemudian menatap arah yang di tunjuk Dion.

"Kenapa? Ada yang aneh dari mereka berdua?" tanya Dara.

"Sangat," ucap Dion pelan. Ia mengedipkan matanya.

Dara masih tidak mengerti letak anehnya dimana. Benda itu masih saja teronggok di hadapannya. Bentuknya bahkan tidak berubah sama sekali. Apakah itu sebuah masalah?

"Ayo, Dion. Terlalu lama di sini juga tidak baik. Kita tidak tau apakah para gagak itu akan datang kesini atau tidak." Dara kembali menarik lengan Dion. "Tapi, siram kedua benda itu dengan bensin yang kamu bawa.

Kalau ada yang memberontak, langsung bakar saja."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang