Television and a Woman

22 5 2
                                    

"Pa-paman ..."

Air mata gadis itu mengalir deras. Duduk bersimpuh di samping mayat Bruce. Tangan mungilnya menggerak-gerakkan tubuh besar pria itu. Apa daya? Tidak ada respon sama sekali dari Bruce. Tergeletak di atas jalan tanpa nyawa.

"Kita harus segera pergi dari sini." Dion menggenggam tangan Dara erat.

Gadis itu menggeleng, ia sudah muak menjalani hidup seperti ini. Semua orang yang ia kenal mati dalam keadaan mengenaskan. Siapa orang gila yang membuat tempat seperti ini? Gadis itu mengusap kepalanya, menangkupkan wajahnya di atas lutut.

Dion mengusap pundak Dara. Dion tau kalau gadis itu kini hancur melihat mayat orang yang sudah menyelamatkannya dalam keadaan mengenaskan. Hati Dion pun ikut hancur. Kenapa harus Bruce? Ia juga sudah lelah menghadapi semua kekonyolan tempat ini. Ini seperti sama saja menyerahkan nyawa kita tanpa prediksi. Dion menatap Dara, tangannya mulai menarik Dara dan mendekapnya.

"Ayo kita pergi," ajak Dion.

"Kenapa aku harus terjebak di sini?" lirih Dara terisak.

Dion tidak bisa menjawab. Kalau saja dia tidak memperdulikan surat aneh itu pasti dirinya tidak akan terjebak di sini seperti sekarang. Ia akan damai di rumah tanpa harus bertahan mati-matian dari makhluk-makhluk ganas yang menyerangnya.

"Dara, kita harus pergi dari sini sebelum mereka datang," ajak Dion. Laki-laki itu menatap ke langit. Banyak sekali bayang-bayang hitam yang berterbangan di atas kepalanya.

"Tapi, paman Bruce ..."

"Dara, bukan ini yang paman mau." Mata Dion mengarah pada mayat Bruce. Air matanya kembali merembes, "dia sudah mati-matian menyelamatkan kita, jangan sampai pengorbanannya sia-sia."

Dion menarik napasnya berat. Semua beban yang bergejolak di hatinya meronta-ronta ingin keluar. Kapan ia bisa beristirahat dengan tenang? Seharian ia berlari kesana kemari seperti orang bodoh hanya demi bertahan hidup.

Tiba-tiba suara peluit lantang terdengar di tengah duka. Dion menengadah, pandangannya mengedar berusaha menembus kabut. Mencari siapa yang meniup peluit. Ah, suara-suara gagak itu berhamburan. Semua menjauh darinya mencari pemilik asal peluit itu. Ini saatnya.

"Ayo, Dara!" Dion mengajak gadis itu berlari. Dara yang belum siap mau tak mau mengikuti Dion yang menarik lengannya.

"Tu-tunggu, bagaimana dengan paman?" tanya Dara. Gadis itu menoleh melihat Bruce yang semakin hilang di telan kabut.

"Ini kesempatan kita untuk pergi. Siapa tau kita akan bertemu Pietro dan Wendy di depan sana," ucap Dion yakin. Langkahnya di percepat menyusuri jalan setapak yang tidak ada ujungnya.

Suara peluit terus bersahut-sahutan di belakangnya. Apakah ini pertanda baik? Siapapun yang membunyikan itu, ia sangat berterima kasih. Kini dirinya dengan mudah bisa berlari mencari jalan keluar dari tempat berbahaya ini.

Langkah kakinya melambat. Samar-samar ia melihat sebuah cahaya remang di depannya. Apa itu?

"Dion ..." Dara menunjuk bayangan hitam kecil di bawah cahaya itu.

Dion hendak melangkah, namun Dara dengan cepat menarik lengannya. Gadis itu menggeleng cepat sambil memeluk lengan Dion erat.

Tangan Dion menggenggam gadis itu erat. Ia tersenyum yakin, memberi pertanda bahwa ini akan baik-baik saja.

Dion mulai beranjak mendekati benda di depannya. Suara gemerisik samar terdengar. Tubuhnya perlahan membelah kabut. Dahinya berkerut, menatap bingung benda yang teronggok di hadapannya.

"Televisi?" Dara membeo.

Siapa yang menaruh televisi di tengah-tengah jalan setapak? Anehnya, tidak ada kabel yang menyambungkannya, tapi televisi itu menyala. Menampilkan gambar serabut abu dengan suara gemerisik khasnya. Benda itu di letakkan begitu saja di atas kursi kayu.

Mereka sama-sama menatap was-was benda itu. Tatapan netra cokelat menyorot lurus ke depan. Tiba-tiba layar televisi menyala. Menampilkan gambar hamparan lapangan luas berwarna kuning. Ah, tunggu! Itu kan, ladang ini? Ladang gandum berkabut itu disorot di dalam televisi.

"Hai! Selamat datang kalian yang bertahan sampai saat ini!" Seorang wanita tiba-tiba muncul dengan senyum merekah. Bajunya bergaris hitam putih, memakai topeng kelinci dengan tangan saling menggenggam satu sama lain di depan dada. Senyum wanita itu merekah, bergerak-gerak heboh sambil melambai ke arah mereka.

"Tidak ku sangka, ada yang bisa bertahan sampai sejauh ini. Bagaimana kalau aku merubah sedikit permainan ini? Bukankah terlalu membosankan kalau kalian hanya berlari dan bersembunyi?" tanya wanita itu. Suaranya terdengar berisik dari speaker.

Apa maksud dari pertanyaannya? Dara semakin erat memeluk lengan Dion. Jantungnya berdebar melihat senyum lebar dari wanita itu. Gadis itu menoleh kesana-kemari mencari keberadaan wanita di dalam televisi. Bagaimana kalau memang ada dia di sekitarnya?

"Kamu mencariku, cantik? Tutup rasa penasaranmu terlebih dahulu. Aku ada kabar menarik untuk kalian berdua."

Dara terkesiap mendengarnya. Bagaimana dia tau kalau Dara sedang mencarinya?

"Sejauh ini, aku merasa kalian mulai hilang rasa semangat untuk mengikuti permainan ini. Kenapa? Apa kalian bosan dengan arenanya yang hanya itu-itu saja?"

"Tidak, aku ingin pergi dari sini. Beritahu aku bagaimana cara pergi dari tempat ini?" sambar Dara cepat. Dion sampai menoleh di buatnya. Gadis itu terdengar sangat kesal mendengar ucapan si wanita yang terkesan berputar-putar.

"Jangan terburu-buru. Sedikit lagi, maka kalian akan bisa keluar dari sini." Wanita itu menyeringai, "kalian hanya berlari dan bersembunyi saja sebelumnya. Tidak memanfaatkan alat-alat yang ada sebagai senjata. Ohh, apakah kalian bodoh?"

"Ckckck ... Menyedihkan. Banyak sekali kejutan-kejutan sebelumnya, tapi kenapa kalian tidak sadar? Hihihi ..."

Dara dan Dion sama sekali tidak ada yang bersuara. Mereka terus mendengarkan ucapan dari wanita itu. Kejutan? Apa maksudnya? Dan arena yang membosankan? Apakah ini membosankan sampai membuat dirinya hampir mati beberapa kali di tempat ini? Apakah itu yang dinamakan bosan? Orang psikopat mana yang membuat tempat tak berperikemanusiaan seperti ini?

"Bagaimana kalau, kita memberi sedikit bumbu sedikit di dalam tempat ini. Seperti, ada senjata untuk melawan, teka-teki di setiap tempat agar bisa selamat, atau merakit senjata sendiri agar bisa melawan makhluk-makhluk itu? Ohh, atau ... Kita tambah makhluk-makhluk itu agar kalian bisa satu lawan satu dengan mereka!" Wanita itu bertepuk tangan dengan riangnya. Tertawa kecil sambil bergerak heboh.

"Oleh karena itu, aku menyediakan special stage untuk kalian! Tapi, tidak mudah untuk mencapai tempat itu!" Wanita itu menopang dagunya, "nah, sepertinya aku sudah banyak berbicara dengan kalian. Setelah ini aku akan menyuruh gagak-gagak itu mengejar kalian lagi. Selagi kalian merakit tumpukan barang bekas di belakang televisi.

"Bagaimana? Bukankah itu terdengar sangat menyenangkan?" tanya wanita itu.

"Baiklah, selamat berjuang kalian berdua. Tempat menyenangkan telah menunggu kalian di depan sana. Tidak sabar–

Aku ingin bertemu kalian berdua, nanti."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang