Go Outside

36 9 7
                                    

Dion menatap dirinya dari balik cermin. Di bawah terangnya cahaya lilin yang berpendar, terpampang jelas tubuhnya. Kotor, kurus, dan banyak terdapat luka yang basah maupun kering. Begitulah kondisi yang ia lihat dari pantulan tubuhnya. Miris, Dion tersenyum kecut meratapi kondisinya. Hebatnya, dia masih bisa bertahan sampai sejauh ini. Padahal sebelumnya ia sudah beranggapan kalau dirinya tidak mungkin bisa melewati setiap level yang ada dengan selamat. Setiap level yang ia masuki, pasti akan membuat ratusan imajinasi kematian di dalam otaknya.

Ah, sudahlah. Dion membasuh wajahnya berkali-kali. Mungkin setelah membersihkan tubuhnya, ia kembali menjadi lebih bersih dari pada sebelumnya.

Tangannya menarik kenop pintu. Di depannya sudah berdiri Pietro yang terkejut melihatnya. Wajah Pietro seakan kesakitan menahan sesuatu.

"Argh, lama sekali kamu mandi. Cepatlah keluar, aku sudah tidak tahan!" Pietro mendorong tubuh Dion keluar dan langsung menutup pintu kamar mandi.

Dion hanya berdecih sambil mengusap kepalanya dengan handuk. Tubuhnya sudah berbalut baju oversize yang di berikan Wendy sebelumnya. Sejujurnya, Dion kedinginan saat ini. Ternyata tidak ada lampu atau listrik sepengaruh itu dengan atmosfir sekitar. Rasanya seperti semua udara dingin berkumpul di dalam.

Cepat-cepat langkahnya menapaki tangga, membuka pintu dan masuk ke dalam kamar yang memang sudah di khususkan untuknya. Sedikit yang ia ketahui, rumah yang di pilih Bruce ini sangatlah bagus. Terdapat tiga buah kamar tidur di dalamnya. Sisanya hanya ada kamar mandi, ruang keluarga, dapur dan garasi di bawah. Dara dan Wendy sudah mengisi satu kamar, Bruce dengan kamar pribadinya dan dirinya sendiri. Hanya Pietro yang tidak mau untuk berbagi kamar dengannya. Alasannya, ia tidak bisa tidur kalau terlalu sempit. Syukurlah, Dion juga tidak bisa kalau ada orang yang tidur seranjang dengannya. Alhasil, Pietro tidur di ruang tamu sendiri. Hebatnya dia sama sekali tidak merasa kedinginan.

Dion mengenakan sebuah sweater tebal, serta celana panjang. Yah, setidaknya rasa dingin yang ia rasakan sedikit berkurang. Langkah kakinya mengarah keluar. Kakinya kembali menapak anak tangga. Tenggorokannya kering sekali. Apakah setelah mandi memang seperti ini? Padahal ia sudah berkumur tadi.

Tangannya bergerak mengambil sebuah gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Sembari menegak, pandangannya mengarah segala penjuru. Sunyi sekali, semuanya sudah beristirahat sekarang. Yah, namanya juga lelah setelah berpetualang.

Telinganya bergerak pelan. Seolah sedang menangkap sebuah suara dengan frekuensi yang kecil. Dion menaruh gelasnya, dan semakin menajamkan pendengarannya. Suara apa itu? Seperti ada barang yang terjatuh dan sangat jauh darinya. Bukan! Itu bukan suara kotoran Pietro. Suaranya tidak datang dari kamar mandi, maupun dari atas. Melainkan dari dalam garasi.

Entah kenapa Dion seperti tertarik untuk melangkah kesana. Ringan kakinya menapak ubin yang dingin, berjalan ke ruangan remang di dekat dapur.

Oke, Dion meralat asumsinya. Itu bukan suara barang jatuh, melainkan sesuatu yang sedang di korek atau di bongkar. Ah, tidak? Seperti sesuatu yang tengah mengunyah? Argh, Dion sama sekali tidak bisa mendeskripsikan suara yang di dengarnya.

Dirinya sudah berdiri di depan pintu. Jantungnya berdebar kencang. Pikirannya berkecamuk akan monster yang berhasil masuk ke dalam rumahnya. Haruskah ia memberitahukan Bruce? Atau yang lainnya? Atau, dia harus memastikan ini lagi kalau itu hanyalah tikus atau hewan pengerat yang gemar membuat onar? Oh, lucu sekali. Memang ada makhluk seperti itu di sini?

Suaranya semakin terdengar keras. Geraman kasar seperti kekesalan yang memuncak. Siapa itu? Apa itu Bruce? Ah, tidak. Dion melihat jelas pria itu masuk ke dalam kamarnya. Lalu siapa? Tidak mungkin Wendy, atau Dara. Pietro? Bukankah pria itu sedang di kamar mandi?

Dion menoleh, mengambil sebuah pisau di atas lemadi pendingin. Kalau ada yang menyerangnya, tinggal tusuk saja. Napasnya berderu semakin cepat. Tangannya bergerak membuka kenop pintu.

Pintu bergerak sangat pelan, membuat tingkat kewaspadaannya meningkat. Apa yang sebenarnya ada di dalam garasi?

"Paman Bruce?" Dion mengernyit menatap Bruce bingung. Pria itu tengah mengobrak-abrik kotak perkakas di atas meja.

Bruce menoleh dan menatap Dion, "loh, kupikir kamu sudah tidur. Dan ... Kenapa kamu memegang pisau?"

Dion menatap pisau di tangannya, "ah, tidak, lupakan. Apa yang sedang paman lakukan di sini?" tanya Dion mendekat.

"Aku sedang mencari peluru kecil yang sebelumnya ku simpan di sini. Dimana dia?" Bruce kembali sibuk membongkar kotak kayu kecil yang ia sangka sebagai tempat menyimpan pelurunya.

"Untuk apa? Bukannya semua senjata di sini tidak memiliki peluru?" tanya Dion.

Bruce berhenti mencari, ia menatap Dion datar, "bukan begitu. Ada peluru yang aku modif sendiri. Sekali tembak saja, monster langsung hancur berkeping-keping."

Alis Dion berkerut tak percaya, "benarkah?"

"Tidak. Aku hanya mengarang. Tapi, sebenarnya ada yang seperti itu." Bruce kembali mengaduk kotak itu.

Dion menghela pelan. Lebih baik dia diam saja ketimbang berbincang dengan orang tidak waras seperti Bruce. Bukannya mendapat informasi malah menjadi emosi.

"Kenapa diam saja? Anak jaman sekarang sama sekali tidak ada etika. Melihat orang kesusahan bukannya membantu malah melamun seperti patung," omel Bruce melirik Dion.

"Baiklah, paman. Apa yang bisa aku bantu?" tanya Dion malas.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Bruce memalingkan wajahnya ke dalam kotak.

Rasanya Dion ingin menusuk Bruce dengan pisau yang di pegangnya. Untung saja Dion masih memiliki hati nurani dan akal sehat. Kalau tidak, bisa saja dia seperti Bruce. Ia menjadi yakin kalau Bruce adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa yang lepas dan terjebak di dalam backrooms.

"Ah, tidak ketemu. Sudahlah, aku bisa membuatnya lebih banyak dari itu," ucap Bruce yang entah di tujukan kepada siapa. Tangannya menutup kotak itu dan menoleh ke arah Dion. "Oh, iya. Kenapa kamu membawa pisau kemari?"

Dion tersadar, ia menggeleng cepat, "tidak apa. Aku hanya mengira ada sesuatu di dalam garasi jadi aku bawa saja untuk berjaga-jaga."

"Ohh, jadi kamu ingin membunuhku?" tanya Bruce kesal.

"Sepertinya," jawab Dion sekedar.

Bruce berdecak pelan. Ia mengambil sebuah shotgun dan mengarahkannya kepada Dion.

"Sepertinya aku yang lebih dulu akan membunuhmu," tekan Bruce sambil menodongkan moncong senapan ke kepala Dion. Jarinya sudah hendak menekan pelatuk. Mata pria itu memicing menargetkan otak Dion.

"A-apa?" Dion terkejut dan mengangkat tangannya. Apa-apaan ini? Apakah Bruce tersinggung dengannya? Lemah sekali, apakah pria ini tidak tau yang namanya bercanda dan tidak? Dion yakin sekali jadinya kalau Bruce memang orang dengan gangguan mental.

Tawa Bruce meledak seketika. Ia menurunkan senjatanya sambil menepuk kepala Dion pelan.

"Aku hanya bercanda, nak. Wajahmu lucu sekali saat ketakutan," gelak Bruce.

Dion mengerutkan keningnya? Takut? Dia hanya terkejut saja. Bruce memang suka melebih-lebihkan ucapannya.

"Lupakan. Bagaimana kalau kamu ikut denganku?" ajak Bruce menaikkan alisnya.

"Kemana?" tanya Dion. Entah kenapa dirinya menjadi lebih anti dengan Bruce.

Bruce tersenyum miring, kepalanya bergerak ke pintu garasi. Pandangannya seolah menerawang jauh ke luar. Dion langsung paham dengan maksud pria itu.

"Mencari makanan ..."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang