Hopeless

19 3 0
                                    

Dara terkesiap melihat Wendy yang sangat brutal memasukkan semua makanan yang ada ke dalam tas gendongnya. Ukuran tasnya yang tidak begitu besar kini terisi sangat penuh dan tidak muat.

"Kenapa hanya diam? Kemarikan tasmu dan pegang ini," ucap Wendy menyerahkan tas penuh itu kepada Dara.

"Kak? Bukankah ini terlalu banyak? Bagaimana dengan yang lain?" tanya Dara.

Wendy berhenti, ia menatap ke arah Dara, "Jangan sia-siakan apa yang ada demi kepentingan orang lain. Mereka kalau ada di posisi kita juga akan melakukan hal yang sama. Jadi jangan merasa kasihan atau empati kepada siapapun yang ada di sini."

Dara tertegun, ia menatap lamat-lamat gadis di depannya. Entah pesona apa yang Wendy berikan, Dara terkagum-kagum dengan gaya gadis itu. Terlihat gagas dan tangkas, tidak ada alasan dan narasi, lebih banyak aksi. Dara memang tidak sering melihat Wendy bertarung. Tapi, melihat gayanya, pasti Wendy adalah orang yang kuat dan lincah. Sepertinya ... Ah, Dara ingin sekali melihat Wendy bertarung.

"Oke, sudah. Ayo kita keluar dari sini sebelum ada yang sadar." Wendy bangkit dan menjulurkan tangannya ke arah Dara.

Wendy mengernyit, ia menatap gadis itu. "Ada apa?"

Dara terkesiap, pandangannya beralih kepada Wendy, "aku merasa melihat sesuatu di luar. Mungkin perasaanku." Dara menggenggam tangan gadis itu dan berdiri, "tapi, bagaimana dengan Dion dan kak Pietro? Mereka belum ada kabar sampai saat ini."

Wendy tertegun, "harusnya mereka sudah sampai. Tapi, lebih baik kita tunggu mereka di tangga koridor. Pasti mereka akan lewat situ."

Dara mengangguk saja, ia mulai mengekor tubuh Wendy yang berjalan lebih dulu. Namun, tiba-tiba gadis di depannya berhenti mendadak. Tubuhnya yang tinggi menghalangi Dara melihat siapa yang tengah di tatap oleh Wendy.

"Sedang apa kalian?"

Suara itu, ia seperti mengenalnya. Dara mengintip, kemudian tersenyum, "Lim! Kami sedang-"

"Bukan urusanmu," potong Wendy cepat.

"Kalian menyimpan makanan sebanyak itu untuk sendiri? Egois sekali. Apa kalian tidak memikirkan orang-orang yang ada di sini?" tanya Lim menohok.

"A-anu, Lim-"

"Jangan pikir aku tidak tau kalau ada makanan yang selalu muncul dalam box besar di setiap kelas. Jadi tidak mungkin kalian akan kekurangan makanan," potong Wendy lagi. Ah, akhirnya Dara tahu juga kenapa Wendy kalap saat memasukan perbekalan ke dalam tas. Namun kemudian gadis itu berdecak pelan. Kenapa dirinya tidak di berikan celah untuk berbicara juga?

"Lalu kalian akan pergi kemana?" tanya Lim penuh selidik.

"Sudah ku bilang ini bukan urusanmu." Wendy menarik tangan Dara dan bergerak keluar.

Ayunan pisau kecil menyapu perutnya. Gadis itu reflek menghindar dengan cepat sebelum mata pisau itu mengenai tubuhnya. Matanya mendelik menatap wajah Lim.

"Apa yang kamu lakukan?!" hardiknya.

Lim tersenyum miring, "tidak boleh ada yang pergi dari tempat ini." Pandangannya tertuju pada Dara, "terutama kamu, Dara."

Lim melompat ke arah Dara. Menghunus pisaunya ke wajah gadis itu. Untungnya dengan cepat Wendy menarik tubuh Dara dan membawanya keluar. Dara tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Gadis itu masih terkejut dengan apa yang dilakukan Lim tadi. Apa yang terjadi pada laki-laki itu? Sifatnya tiba-tiba berubah, tidak seperti tadi.

"Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa seperti itu?" tanya Dara gemetar. Ia terus menoleh ke belakang takut-takut Lim mengejarnya.

"Dia mengincarmu, lebih baik kita mencari keberadaan Dion dan Pietro."

"A-aku? Apa salahku?" tanya Dara tak terima. Pupil gadis itu mengecil, "NUNDUK KAK!"

Sebuah pisau melayang ke arahnya. Untungnya Dara cepat memberi arahan hingga pisau itu hanya melewatinya saja. Gadis itu hendak bangkit, namun sebuah tangan menarik tubuhnya. Membanting kepalanya ke dinding koridor.

Gadis itu memekik kesakitan. Cairan merah segar mengalir deras dari kepalanya. Tak cukup sekali, Lim kembali menghantupkan kepala gadis itu ke dinding. Pandangan Dara mulai kabur. Darah kini mulai menyentuh kelopak matanya. Ketika hendak menghantupkan kepala gadis itu untuk ketiga kalinya, tubuh Lim terpental ke belakang. Wendy menendang tubuh ringkih laki-laki itu. Tak puas, Wendy ikut menarik rambut laki-laki itu, memukul wajahnya dengan brutal dan melemparnya ke dinding.

Gadis itu membantu Dara bangun. Wendy merangkul Dara yang sudah hampir tak sadarkan diri. "Sadar, Dara! Sadar!"

Beban yang di pikul Wendy serasa bertambah. Membawa dua buah tas ransel yang berat dan satu tubuh gadis lemas. Sial! Kenapa Pietro dan Dion lama sekali?

"MINGGIR!" teriak Wendy kala beberapa orang berdiri di tengah-tengah koridor.

Gadis itu mempercepat langkahnya. Ia sudah merasakan kalau darah Dara sudah membasahi bahunya. Matanya bergerak liar, mencari keberadaan ruang kesehatan untuk mengobati gadis itu.

"SERAHKAN DIA!" Lim berlari terhuyung mengejar Wendy.

Walau tubuhnya sudah ringkih dan bengkak, laki-laki itu tetap berambisi membunuh Dara. Tangannya kini menggenggam pisau yang sudah ia ambil sebelumnya.

Ini tidak bisa di biarkan. Wendy menurunkan tubuh Dara dan berbalik menghadap ke arah Lim.

"Bebal." umpat Wendy. Gadis itu menerjang ke arah Lim.

Laki-laki itu menebas-nebas angin. Pandangannya sudah mengabur setelah di hantam Wendy tadi. Membuatnya tidak bisa melihat jelas keberadaan gadis itu.

"Sini kamu bangsat!" geramnya. Ia terus menghujam angin dengan pisaunya.

Wendy mencekik laki-laki itu dari belakang. Dengan kuat ia mengangkat tubuh Lim dan membenturkan wajah laki-laki itu ke jendela kelas. Pecahan kaca berserakan di lantai, merembes bersama darah yang mengalir deras. Orang-orang di sekitar mereka memekik ketakutan. Wendy berdecak, ia menjatuhkan tubuh Lim dan berlari ke arah Dara.

"Dara, bangun!" panggil Wendy sambil memukul-mukul pipi gadis itu.

Wajah Dara pucat pasi. Darah sudah menutupi setengah wajahnya. Wendy bergidik melihat lubang menganga pada dahi gadis itu. Sial! Seberapa kuat tenaga laki-laki itu sampai membuat Dara sampai seperti ini. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari Dara. Wendy mengambil lengan gadis itu, memeriksa denyut nadinya.

"Bangsat! Dion kemana, sih?!" Wendy frustasi mengetahui denyut nadi Dara yang mulai melemah. Ia menatap nyalang ke orang-orang yang menontonnya. "KENAPA HANYA DIAM?! CEPAT BANTU AKU MENEMUKAN KOTAK OBAT!"

"Cih, untuk apa?" tanya salah seorang dari mereka.

"Orang egois seperti kalian memang pantas untuk mati!"

Wendy mengerutkan keningnya.

"Maksud kalian apa?"

Seseorang mendekati tas ransel di sebelah Dara. Membukanya dengan kasar dan menumpahkan semua makanan yang sudah di kumpulkan.

Pria botak itu tersenyum miring, "apa kalian pikir kami tidak tau rencana kalian?" Tubuhnya bangkit, mengusap tangannya ke kaos yang di kenakannya, "di saat seperti ini kalian baru membutuhkan kami?"

"Bagaimana bisa kalian-"

"Aku yang memberitahu mereka ..."

Wendy menoleh ke ujung kanan lorong, menatap tajam sosok pria berambut ikal dengan kaos putihnya berjalan kearahnya. Pria itu tersenyum ke arahnya, "tidak ada yang boleh pergi, sebelum permainan di mulai ...

Benar, kan?"

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang