Special Stage

21 3 1
                                    

Mereka saling adu pandang cukup lama, namun setelahnya salah satu dari mereka berbisik. Si rambut ika mengangguk lalu kembali menatap Dion dan Dara.

"Dari mana kalian muncul? Dan dari mana sebelumnya kalian?"

"Dari pintu itu, dan dari ruang kaca," balas Dara menunjuk pintu di ujung sebelah lemari.

"Ah, kalian termasuk yang berhasil selamat, bukan?" tanya si rambut ikal lagi.

"Iya, kalian sia–"

"Syukurlah ... Gio, cepat bantu kedua orang itu dan ajak mereka bertemu dengan yang lain."

Pria besar bernama Gio itu hendak menghampiri Dara. Namun Dion tiba-tiba berdiri dan menghadang. Ia menatap Gio datar.

"Siapa kalian?" tanya Gio.

"Kami juga sama seperti kalian berdua. Kita yang tersisa dari semua yang masuk ke tempat ini."

Jawaban si rambut ikal itu langsung membungkam mulut Dion. Yang tersisa? Berarti, dirinya dan Dara adalah yang terakhir? Dari mana ia tau?

"Tunggu, maksudmu yang tersiksa bagaimana?" tanya Dara, gadis itu berdiri di sebelah Dion.

"Lebih baik ikut dulu, aku akan menjelaskannya di jalan. Ah, sebelumnya aku Axel, dan dia Gio. Kami akan menuntun kalian untuk berkumpul dengan yang lainnya," ucap laki-laki bernama Axel itu sambil tersenyum.

Kenapa Dion merasa dejavu dengan kata-kata itu? Kata-kata yang sama di ucapkan Joe kala dirinya di hasut dan berakhir di tempat ini. Dion langsung memundurkan sedikit langkahnya, menatap Axel tajam.

"Bagaimana kami bisa percaya padamu?" tanya Dion.

Axel menghela pelan, "kalau aku bohong, tembak aku pakai shotgun yang kamu bawa."

"Ikut saja, kami tidak berbohong." Gio menambahkan. Ia hanya berdiam diri di depan Dion.

Hati Dion sebenarnya bimbang untuk ikut atau tidak. Tidak ada lagi yang bisa ia percaya sekarang. Ia takut kejadiannya akan sama seperti yang ia alami di area 1. Itu beruntung kalau dirinya selamat. Bagaimana kalau tidak?

"Baiklah," ucap Dion. Kini ia harus mengalah pada pikirannya. Shotgun itu langsung siap di tangannya, "akan aku lubangi kepalamu kalau kamu berbohong nantinya."

"Dengan senang hati aku menyerahkan kepalaku ini," balas Axel.

Dara dan Dion mulai bergerak meninggalkan ruangan itu. Dion langsung di suguhkan lorong berjamur dan bau apek di sekelilingnya. Ternyata benar pikirannya. Ini adalah sebuah sekolah. Apakah level ini bertempat di sekolah? Apa yang akan ada di sini?

Dari ekor matanya, ia melihat Gio berada di belakangnya, sementara Axel di depannya. Tangannya semakin menguat memegang senjata. Menatap kepala belakang Axel lamat-lamat.

"Tanyakan saja yang ingin kalian tanyakan," kata Axel tiba-tiba, "aku tau kalian menyimpan pertanyaan tentang tempat ini."

"Memangnya kamu tau apa tentang tempat ini?" tanya Dion.

"Tidak banyak, dan tidak sedikit. Aku juga baru-baru ini masuk kemari. Jadi aku tidak tau pasti ini tempat apa selain bangunan sekolah tua," jelas Axel.

Bena dugaan Dion, ini adalah sebuah sekolah. Di lihat dari interior dan bentuk bangunannya, ini seperti sekolah yang sudah sangat lama di tinggalkan. Dengan cepat ia berasumsi kalau sekolah ini seperti sekolah dari negara lain. Bahkan mirip dengan sekolah yang ia lihat di series anime yang sering ia tonton.

"Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanya Dara membuka suara.

"Mudah saja, aku hanya bermain kucing tikus bersama badut itu. Akhirnya aku berhasil selamat dan sampai di ruangan yang kalian tempati tadi. Axel melirik ke arah Dion, tersenyum miring melihat kondisi laki-laki itu, "aku rasa kalian mengalami hal sulit sebelum sampai kesini."

"Kucing tikus? Maksudmu?" tanya Dara.

"Mudah saja mengecoh badut itu. Kegunaan ruang kaca di sana ya itu. Merefleksikan bayangan kita dan menggunakan itu sebagai senjata untuk kabur. Selama bermain aku hanya perlu menggeser sedikit kaca dan membuat pantulan bayanganku seolah-olah di depannya. Membuat badut itu menjadi pusing sendiri."

"Bukankah kamu butuh kunci saat keluar dari tempat itu?"

"Benar, aku menemukannya di rambut badut itu."

"Kenapa bisa berbeda dengan kita? Kalau kita sebelumnya berada di dalam kepala badut itu."

"Benarkah? Aku tidak berpikir sampai kesana. Kehendak permainan itu bukan aku yang tulis."

"Lalu, orang di belakangku bagaimana?"

Axel terkekeh, "kenapa tidak tanya langsung saja?"

Dara meringis pelan, ia menoleh ke arah Gio. "Kalau kamu, bagaimana bisa sampai di sini?"

"Tidak memerlukan waktu banyak, karena aku melewati beberapa jalan pintas," jawab Gio.

"Jalan pintas?"

"Iya, di setiap level yang di lewati pasti ada ruangan rahasia yang terhubung pada suatu level. Tidak selamanya pintu keluar sebuah level itu urut. Bisa jadi ada beberapa yang langsung menjadi pintasan menuju level lainnya."

Ah, Dara mengerti sekarang. Jadi kalau di sebuah level ada pintu aneh langsung buka saja. Mana tau kalau itu adalah sebuah jalan rahasia juga, bukan?

"Terkadang kita memecahkan sesuatu menggunakan otak, bukan tenaga saja," ujar Axel angkuh. "Lebih cepat menyelesaikan masalah dan sama sekali tidak terluka."

Dion berdecih pelan. Besar sekali kepala manusia di depannya ini.

"Apalagi yang ingin kalian tanya? Sebentar lagi kita akan sampai, belum tentu kita akan bisa berbincang seperti ini," ajak Axel.

"Apa nama tempat ini?" tanya Dion. Kini dirinya yang beralih memberikan pertanyaan.

"Namanya? Hmm, aku dengar-dengar dari yang lainnya ini adalah Special stage."

"Special stage?" Dara dan Dion sama-sama membeo.

"Iya, level yang di buat khusus setelah level utama. Itu setahuku."

Special stage? Level tambahan? Jangan-jangan dirinya sudah akan tiba di stage akhir?

"Aku tidak tau apa dan siapa yang akan menjadi predator kita. Dari beberapa tempat yang aku telusuri, belum ada tanda-tanda makhluk lain selain peserta," jelas Axel. "Ah, mau apapun bentuk makhluknya aku sudah pasti bisa melewatinya. Mereka sangatlah mudah. Tidak akan sulit melewati sesuatu yang tidak memiliki alat berpikir."

Dion kesal sekali mendengarnya. Ia menatap Axel kesal, "berisik, siapa yang peduli akan hal itu?"

Axel tertawa renyah, "kenapa dirimu tersinggung? Aku hanya memberitahumu, bukan meledekmu."

Langkah laki-laki di depannya tiba-tiba berhenti. Tubuhnya berbalik dan menatap Dion. Matanya bergulir dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bibirnya kemudian tersenyum miring.

"Begini saja, aku rasa kamu tidak terima dengan ucapanku tadi. Bagaimana kalau kita beradu. Siapa yang lebih dulu berhasil keluar dari sini, dia pemenangnya. Bagaimana?"

Gigi Dion bergeser. Laki-laki itu menatap Axel tajam.

"Baik, aku terima tantanganmu, sepuh."

Axel tersenyum lebar, ia menjulurkan tangannya. "Deal?"

Dion menghela napas dan menerima jabat tangan itu. Muak sudah ia mendengar kesombongan manusia itu. Akan ia buktikan kalau dirinya juga bisa lebih hebat dari orang itu.

"Deal."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang