"Ada apa Dion?" tanya Dara berulang-ulang dengan nada yang di tekankan. Gadis itu sama sekali tidak mendapat jawaban dari Dion. Laki-laki itu sibuk menatap lurus ke depan.
"Dion!" panggilnya tegas.
Dion menghentikan langkahnya. Ia menatap gadis itu serius. "Diamlah, Dara. Suaramu akan membuat mereka datang menghampiri kita!"
Suara Dion terdengar pelan sekali. Bahkan Dara berpikir bahwa itu adalah suara bisikan. Perasaan Dara saat ini sangat tidak nyaman. Jantungnya berdebar setelah Dion berucap seperti itu. Rasanya ia seperti di awasi oleh sesuatu yang sangat berbahaya. Suara-suara itu terus mengikutinya. Awalnya Dara tak mau ambil pusing, tapi setelah mendengar ucapan Dion, rasanya ia tak boleh meremehkan tempat ini.
"Dion, tunggu sebentar," bisiknya. Gadis itu menarik lengan laki-laki itu untuk berhenti.
"Kenapa?" tanya Dion.
"Pinggangku sakit," lirih Dara menunjuk lukanya. Darah kembali merembes menembus perban yang membalutnya.
Dion menghela pelan. "Duduklah perlahan, jangan sampai menimbulkan suara."
Anggukan Dara memberi isyarat bahwa ia mengerti arahan Dion. Gadis itu mendesis pelan sambil menjatuhkan tubuhnya perlahan di atas tanah.
Sial, Dion sama sekali tidak bisa mengetahui keberadaan Bruce maupun Pietro. Kalau tidak di tempat ini, ia sudah berteriak berkali-kali memanggil nama mereka. Tapi apa daya, kalau bersuara saja sudah membuat nyawanya terancam.
"Kamu nggak duduk?" tanya Dara.
Dion mengeluarkan senyum terpaksa. Ia menurunkan tubuhnya dan duduk di sebelah Dara. Suara-suara itu masih di terawangnya. Sama sekali ia tidak bisa lengah sedikitpun dari mereka.
"Jelaskan itu apa," pinta Dara. Gadis itu menarik wajah Dion agar menatap matanya.
"Gagak," jawab Dion singkat.
"Gagak?" Tunggu, apa? Jadi mereka sedang bersembunyi dari kumpulan gagak? Apa bahayanya? "Itu saja?"
"Iya."
"Ck, kenapa harus seperti ini? Bukankah mereka aslinya tidak berbahaya?" tanya Dara.
Bodohnya! Dion menatap Dara sebal, "jangan samakan tempat ini dengan dunia nyata. Bukankah aku sudah sering memberitahumu?""Memang mereka berbahaya?" tanya Dara.
"Sangat."
"Contohnya?"
"Berteriaklah, dan lihat apa yang akan terjadi," kesal Dion.
Entah gadis ini bodoh atau bagaimana, mulut Dara hampir terbuka. Dion dengan cepat menutup mulut gadis itu rapat-rapat.
Laki-laki itu mendelik, "kamu gila? Kamu mau mati?"
Dara menghempaskan tangan Dion, "kamu yang suruh!"
Arghh! Sial! Dion menghela pelan meluapkan emosi di dadanya. Kalau bukan Dara, ia sudah membenturkan wajah orang di sebelahnya ke atas tanah beberapa kali.
Dara menarik kakinya, memeluk lututnya erat dan tertunduk. "Kapan ini semua akan berakhir?"
Kepala Dion terangkat, ia menoleh ke arah Dara yang berbicara sendiri. Dion rasa Dara sudah mulai lelah dengan semuanya. Gadis itu memukul-mukul kepalanya beberapa kali. Dengan tangkas Dion menghentikan aksi bodoh Dara.
"Kamu kenapa? Jangan seperti ini!" kesal Dion.
"Aku lelah. Aku mau pulang," isak Dara. Dion baru sadar kalau gadis itu tengah menangis.
Tangan laki-laki itu dengan cepat menarik kepala Dara dan mendekapnya. Membiarkan gadis itu bersandar pada dadanya. Dara terus menerus merengek ingin pulang. Bagaimana caranya? Ia bahkan tidak tau dimana letak akhir dari tempat ini. Ini akan menjadi pelarian bodoh yang hanya berputar tanpa henti. Kalau selamat, maka kamu akan tetap hidup. Tapi kalau tidak, ya sudah. Yang ia tau, tempat ini tidak akan ada habisnya. Semakin lama akan semakin berbahaya. Dion sendiri tidak yakin kalau ia akan bertahan lama. Yang ia pikir sekarang hanyalah harus mencari tempat bersembunyi untuk di tinggalinya. Ia sudah tidak lagi bertekad untuk keluar.
Semuanya seperti mimpi buruk yang terus berulang-ulang. Langkah-langkah kakinya semakin berat saja ketika mencapai level baru. Menyerah? Tentu saja ia ingin. Tapi, itu akan membuatnya terlihat sangat konyol. Kini ia terjebak di tengah-tengah ladang gandum yang berkabut. Tanpa adanya makanan maupun minuman.
Ia teringat kali pertamanya sampai di sini. Banyak sekali persediaan yang di buang-buang. Namun sekarang, ia harus bertahan tanpa makan maupun minum. Harusnya ia menyimpan segala perbekalan kalau tau akan seperti ini. Sayangnya, ini terjadi sangat cepat dan tanpa perkiraan.
"Sudah tenang?" tanya Dion.
Dara mengusap air matanya dan mengangguk pelan. Ia melihat senyum hangat dari wajah Dion.
"Ayo bangun," ajak Dion.
Keduanya sama-sama bangkit dan hendak melanjutkan perjalanan. Mana tau kalau mengikuti jalan ini, maka ia akan menemukan jalan keluarnya. Selagi tidak berisik, ini sangat mudah di lalui.
"Sial! Suara darimana itu?"
Mata Dion melebar mendengar suara barusan. Bukan karena tau kalau dirinya dekat dengan keberadaan mereka. Tapi terkejut karena ia mengenal siapa pemilik suara tadi. Sial! Kenapa?!
"Itu paman Bruce!" Dara hendak menghampiri pria itu. Namun Dion menghentikannya.
Dara berpaling dan melihat wajah Dion yang ketakutan. Air mata Dion mendadak keluar. Tubuhnya gemetar hebat kala mendengar suara para gagak itu yang semakin dekat dengannya. Bagaimana ini? Ia tidak ada cara untuk menyelamatkan Bruce. Pria itu sibuk memaki-maki si pemilik suara. Dia dalam keadaan terdesak saat ini. Kalau ia berlari dan menyelamatkan Bruce akan sia-sia saja. Tapi, apakah ia harus diam saja?
"Argh! Sial! Kenapa suara itu semakin keras saja?" hardik Bruce. Suaranya muncul tepat tak jauh dari kabut di depannya.
Suara-suara gagak bersahut-sahutan di atasnya. Dion dapat melihat bayangan hitam itu hendak menukik ke depan. Dion bergerak cepat ingin menerjang pria itu.
"AKH! APA INI?!" Langkah laki-laki itu terhenti. Ia mendengar suara jeritan berat dari Bruce di depannya.
Tubuhnya gemetar, ia menahan isakan yang hendak keluar dari mulutnya. Suara daging yang di koyak, serta jeritan rasa sakit yang bertalu-talu di telinganya.
Tidak!
"ARGH! SA-SAKIT!" Suara jeritan mengganas. Ratusan makhluk itu menyerbu tubuh Bruce. Mencabik daging pria itu tanpa ampun.
"Paman ..." lirih Dion tertahan. Hatinya tersayat mendengar teriakan Bruce yang kesakitan. Apa yang harus ia lakukan? Ia hanya bisa bersembunyi di balik kabut tanpa suara. Menangisi orang yang sudah menyelamatkannya.
Entah keberanian mana yang masuk ke dalam tubuh Dion. Laki-laki itu berlari ke depan dan menabrak tubuh besar Bruce. Menjatuhkan pria itu di atas ladang sambil menutup mulutnya. Tunggu, apa ini? Dion merasakan sesuatu yang lembek menyentuh tangannya. Ia memekik tak bersuara. Menjauh dari tubuh Bruce.
Wajah pria itu sudah tidak dapat di kenali. Sebelah matanya menghilang, giginya terlihat akibat kulit wajahnya tersobek. Lidahnya terpotong, wajahnya berlubang dan mengeluarkan darah. Daging dan tengkorak pria itu terekspos jelas. Tubuh Bruce mengejang memuntahkan darah ke wajah Dion.
Ini tidak mungkin. Dion tidak mau menampi kalau itu benar-benar Bruce. Tapi baju opsir yang di kenakan sudah memastikan kalau itu benar pria yang sudah menjaganya. Dion menangis di samping mayat pria itu.
Ini salahnya ...
∞

KAMU SEDANG MEMBACA
DOME
Mystery / ThrillerUsai mendapatkan surat misterius yang tergantung di depan rumahnya, Dion terjebak di sebuah dimensi lain yang tidak berujung. Dirinya di paksa untuk menyelesaikan setiap level dengan selamat. Dimana di setiap level ada banyak sekali makhluk kejam ya...