Last Place

26 3 3
                                    

Dion menarik tubuh Dara ke belakang. Laki-laki itu menatap tajam kumpulan Scarecrow satu persatu. Mereka hanya bergeming, namun tatapannya intens penuh nafsu untuk membunuh. Jarak mereka sudah cukup jauh. Dion terus menjaga jarak agar bisa cepat berlari dari mereka. Rasa takut Dion memang tidak bisa di bohongi. Detak jantungnya tak karuan. Keringat dinginnya mengalir deras membasahi dahi.

Mereka hanya diam. Dion tidak melihat sedikit pergerakan dari mereka. Sungguh, apakah mereka memang ada di sana dan ia baru menyadarinya karena tertutup kabut? Tidak mungkin. Untuk apa mereka mengepung Dion dan Dara sambil membawa senjata? Bahkan semua tatapan tertuju padanya.

"Siram saja dengan bensin!" titah Dara kalut.

"Jangan! Kita berada di tengah-tengah. Tunggu masanya tepat untuk berlari dan menjauh baru kita tutup jalannya," tegas Dion.

Dara hanya terdiam, gadis itu menatap satu persatu benda besar yang mengelilinginya. Angin mendesir melewati lehernya. Bulu kuduk Dara meremang kala suara siulan terdengar menggema di tengah kesunyian. Mereka berdua terdiam, mendongak kesana-kemari mencari asal suara. Siulan itu terdengar nyaring. Dion seperti pernah mendengar nada siulan ini. Seperti suara yang biasa terdengar di dalam kotak mainan anak kecil. Ayolah! Suara apa itu? Siapa yang bersiul? Dion tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun. Deru napasnya saja yang terdengar berat.

Sesuatu yang gemerisik menyadarkannya. Pupilnya mengecil, jerami-jerami itu bergerak dan berhamburan. Tubuh mereka menjadi lebih besar dari sebelumnya. Jerami-jerami itu membentuk seperti bulu yang runcing ke atas. Senyum mengerikan itu terekam jelas di mata Dion. Semakin lebar, menunjukkan deretan taring berlendir. Suara retakkan kayu-kayu terdengar kala tubuh kaku mereka mencoba bergerak.

"DION!" pekik Dara kala satu dari mereka melesat ke arahnya.

Dion tak mampu menghindar, dirinya hanya bisa memeluk gadis itu. Ia hanya bisa memekik kesakitan kala celurit itu menebas bahu kanannya. Dara memekik, tubuhnya gemetar kala celurit itu masih menancap di bahu Dion.

Mereka terhimpit. Satu persatu mulai mendekati mereka. Bergerak semakin cepat hendak menyergap. Dengan tenaga yang tersisa, Dion langsung mendorong satu scarecrow dengan sikunya. Mengambil celurit dari bahunya dan langsung menebas lengan benda itu.

Dirinya meringis, darah segar mengalir deras dan membasahi bajunya. Tidak ada lagi cara untuk lolos. Ia harus bertaruh nyawa untuk mengalahkan benda-benda itu. Tangan kiri Dion terpaksa di gunakan untuk menebas scarecrow di depannya. Apa yang bisa ia harapkan dengan tangan kirinya? Kaku sekali, sampai tidak mengenai scarecrow-scarecrow itu.

Tunggu, ia menemukan sebuah ide. Ia melirik Dara, "kalau ada jalan, cepatlah keluar."

"A-apa? Bagaimana denganmu?" tanya Dara.

"Ikut saja, aku akan menyusul." Tanpa mendengar ucapan Dara, Dion langsung menerjang scarecrow itu, menebas kepalanya sampai terlepas. Itu dia kelemahannya. Makhluk itu terkapar tak berdaya.

Jelas sudah ada jalan di depannya. Ia langsung menarik Dara dengan lengan kanannya. Tak memperdulikan rasa sakit, ia langsung melempar gadis itu keluar dari kepungan.

Tubuh Dara terjatuh ke atas ladang. Dedaunan yang tajam dan tipis menusuk-nusuk tubuhnya. Gadis itu meringis sambil berusaha bangkit. Napasnya tertahan sedetik. Jantungnya seakan mau lepas dari tempatnya kala sebuah pisau hampir menancap matanya. Senyum mengerikan itu melebar, menjatuhkan liur lengket dan bau ke wajah gadis itu.

"BANGSAT!" Dara memekik dan menendang makhluk itu. Gadis itu tertatih bangkit dan mengambil segenggam tanah. Spontan saja gadis itu melempar ke wajah scarecrow itu. Ia tau usahanya sia-sia sekali. Tapi, anggaplah itu sebagai usaha pertahanan diri.

Entah kenapa Dara merasakan keberanian memuncak. Rasa emosi dan kesalnya sudah sampai di ubun-ubun. Dirinya sudah muak dengan semua ini. Sudah muak dengan segala ketakutan yang ia hadapi. Walaupun akan sia-sia dan ia mati nantinya. Tapi yang jelas dirinya mampu meluapkan emosi kepada boneka jelek di depannya.

"MAJU BANGSAT!" Dara menerjang benda itu, mencabik-cabik kepala dan mencakar matanya. Dengan sekuat tenaga gadis itu mencabut kepala scarecrow dan menginjaknya tanpa ampun, "MATI MATI MATI!"

Sebuah tangan menariknya menjauh. Dara melihat jelas Dion yang kini menuntun jalannya. Gadis itu menangis dan memeluk laki-laki itu. Namun Dion menepisnya cepat.

"Tidak ada waktu, Dara. Jumlah mereka sangatlah banyak dan bertambah."

Dara menoleh ke belakang. Sial, umpatnya dalam hati. Mereka sama sekali tidak membiarkan dirinya kabur dengan tenang. Kini ada 10 scarecrow yang mengikuti dari belakang. Setidaknya langkah mereka sangat lambat darinya.

Dion merasakan pandangannya mengabur. Tidak, ia harus bertahan. Tapi akibat darah yang terus mengalir membuat daya tahan tubuhnya goyah. Dirinya tidak merasakan sakit lagi, semuanya perlahan mulai mati rasa. Tidak! Dion harus bertahan sampai dirinya berhasil keluar dari tempat–

Brak ...

Tubuh Dion terpental ke belakang. Kepalanya berdengung, pandangannya berubah gelap. Sesuatu yang hangat terasa di hidungnya. Ia tak bisa bangkit lagi. Dirinya terkapar tak berdaya di atas ubin dingin. Yang ia ingat adalah sebuah ruangan remang yang kini di pijaknya. Entah dimana? Kesadarannya mulai menghilang.

Pintunya berbentuk seperti pintu rumah sakit. Langkah kakinya bergema kala masuk kedalamnya. Ia menerawang kesana kemari, melihat detail ruangan itu. Besar, seperti stadion namun memiliki atap. Ribuan kursi berjejer melingkar, terdapat sebuah meja tinggi di tengah-tengah dengan sebuah microphone.

"Bagaimana? Besar bukan?" Pria berjas itu menepuk pundaknya. Merangkul sambil menatap bangga ruangan besar yang di pijaknya.

"Tempat apa ini?" tanyanya.

"Inilah tempat akhir para jagoan kita, Dome besar yang akan di pakai untuk perkumpulan nantinya," jawab pria itu bangga.

Ia mengangguk mengerti, dirinya hanya bisa mengagumi tempat itu. Kursi merah berjejer, terlihat sangat empuk. Ruangan itu berukirkan lambang-lambang aneh di dindingnya. Di lihat-lihat megah sekali ruangan ini.

"Ah, kamu ingin tau sejauh mana para peserta itu sudah berlari?" tanya pria itu.

"Boleh saja, dimana aku bisa melihatnya?"

Pria itu menunjuk sebuah video rekaman yang tersorot di dinding. Delapan potong gambar kecil berjejer, memperlihatkan beberapa orang kini berlari dari kejaran para monster. Ternyata yang tersisa sangatlah banyak. Ada pria botak dengan seorang gadis, lima remaja laki-laki, dan masih banyak juga yang selamat.

"Ah, anak itu masih bertahan juga," ucap pria itu menunjuk salah satu video remaja yang tertidur.

"Benar juga, aku memang sudah menduganya dari awal bertemu." Ia menatap pria berjas itu, tersenyum miring, "ekspetasi mu benar-benar terjadi kali ini."

Pria berjas itu tertawa, "aku memang menaruh harapan lebih kepada anak itu. Tapi, kita tidak tau. Ia sudah terluka cukup parah. Apakah ia bisa bertahan di tempat itu atau tidak.

Saatnya melepas badut itu untuk menghibur kita ..."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang