Get Well Soon

29 5 9
                                    

Dara membuka matanya, ia menatap sekeliling. Sesuatu yang berat menahan kepalanya. Rambut-rambut halus bergesekkan pada dahinya. Dara sebenarnya tak ingin membangunkan laki-laki di sebelahnya, tapi kepalanya sakit sekali kalau tetap seperti ini. Posisi yang sangat buruk untuk tidur.

"Dion," panggilnya pelan.

Laki-laki itu mengerang pelan, bergerak sedikit dan kembali terlelap. Ergh, Dara sangat kesulitan menggerakkan kepalanya. Tangannya menepuk-nepuk lengan Dion.

"Bangun, kepalaku sakit," tambahnya lagi. Kali ini nadanya sedikit di naikkan agar laki-laki itu bangun.

"Enghh ..." Dion mengerang sambil mengusap kedua matanya, "maaf."

Dara terkekeh, "kalau bukan karena kepalaku yang sakit, aku biarin kamu tidur di kepalaku."

Dion hanya tersenyum kecil menanggapinya. Terlihat sekali laki-laki itu kelelahan. Wajahnya yang sudah lesu, terlihat jelas sekali kantung matanya. Rambut lurusnya sedikit berantakan. Laki-laki itu menguap pelan.

"Kalau masih ngantuk, tidur aja," titah Dara. Gadis itu membenarkan posisi duduknya. Ia mendesis pelan, rasanya sakit sekali tubuhnya kala di gerakkan. Dion juga reflek membantunya untuk bergerak.

"Nggak ngantuk," jawab Dion.

"Nggak ngantuk apanya? Itu tadi kamu nguap gede banget, lho."

Dion menggelengkan kepalanya. Ah, tidurnya hanya sebentar tadi. Sesungguhnya ia sangat mengantuk, tapi ia sedikit takut meninggalkan Dara sendirian lagi. Bagaimana kalau ... Ia menatap jendela di belakangnya. Pemandangan kota gelap menyapa matanya. Kalau ada yang masuk dari sana dan menyerang Dara, bagaimana?

"Yaudah kalau kamu keras kepala. Mau denger aku cerita, nggak?" tanya Dara.

"Boleh," jawab Dion. Laki-laki itu membetulkan posisi duduknya. Berpangku dengan kedua tangan yang bertopang pada bantal. Matanya menatap lurus ke arah Dara.

"Aku sebelumnya mimpi ketemu Milo. Kita ada di hamparan lapangan luas. Cuma ada pohon satu aja di sana, terus ada satu gubuk tua juga di tengah-tengah." Dara mulai menggambarkan suasana mimpinya dengan tangannya.

"Terus gimana?" tanya Dion cepat.

Gadis itu berdecak sebal, "tunggu dulu, dong. Aku juga masih ingat-ingat. Ah, iya, tiba-tiba tanah di sana bergetar kaya gempa. Aku kehilangan Milo, dan masuk ke dalam lubang besar karena retakan-retakan di tanahnya."

"Jadi gara-gara itu kamu bangun?" tanya Dion.

"Hmmm ... Mungkin? Aku masuk ke dalam kegelapan untuk kedua kalinya. Sebelumnya aku juga ngalamin hal yang sama, bedanya ini ada di memori masa kecilku."

"Bagus," timpal Dion.

Dara menaikkan sebelah alisnya, "bagus? Bagus apanya?"

"Kamu bangun," jawab Dion.

Dara mendesis, "yang mau aku denger dari kamu bukan itu sebenarnya."

"Terus?"

"Nggak jadi." Dara menyunggingkan giginya ke depan. Ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan dari Dion. Seperti ingin menjambak rambut laki-laki itu melihat wajahnya yang datar tanpa rasa bersalah.

"Aneh," balas Dion.

"Eh, Dion."

"Hmm?" Dion mengangkat kepalanya. Sudah terkantuk-kantuk dia mendengar cerita Dara. Matanya yang setengah terpejam kembali terbuka.

"Kepikiran nggak sih berapa lama kita nggak pakai shampoo, nggak makan nasi, nggak nonton televisi, nggak buat pekerjaan rumah, nggak pakai sabun, terus kita juga nggak dengar orang-orang ngomel karena macet. Kepikiran nggak?" tanya Dara.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang