Mata yang semula terpejam tiba-tiba terbuka lebar. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Kepalanya kesana kemari melihat situasi. Tunggu, sesuatu seperti menahan tangannya. Ia menunduk, kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi kayu usang. Siapa yang menyekapnya seperti ini?
Ia meronta-ronta berusaha melepasnya. Ikatannya kuat sekali. Hanya semakin membuat pergelangan tangannya memerah. Dimana kini dirinya berada? Ingatannya hanya terhenti saat dirinya berada di ruang cermin bersama badut mengerikan itu. Lalu sekarang? Kenapa dirinya berada di tengah-tengah sebuah teater?
Sebuah tirai besar menutupi panggung. Seluruh ruangan remang kekuningan, dengan jamur-jamur dan serangga yang berkeliaran. Dirinya duduk sendiri di depan. Kursinya hanya satu, dan itu miliknya seorang.
Ia terus berusaha melepaskan tali yang mengikat dirinya. Namun, ia berhenti bergerak kala dentingan lagu mengalun pelan. Di balik rambutnya yang kusut, keringat sudah tak henti membasahi dahi dan lehernya. Takut-takut ia melirik tirai itu.
"Welcome to the greatest show from Billy Willy! He will make you laugh, smile, and crying!"
Suara menggema terdengar dari dalam panggung. Mata gadis itu tak mampu mengalihkan pandang kala tirai mulai tersibak perlahan. Menampilkan dinding putih kotor dan sebuah kotak besar di tengah-tengahnya. Lagu semakin terputar kencang. Berulang kali dengan tempo yang sama dan mengerikan.
Kunci di sebelah box itu terputar sendiri. Membuka kepala kotaknya perlahan. Sesuatu berwarna putih menyembul dari dalamnya. Semakin terlihat jelas bentuk wajahnya yang berekspresi sedih. Ia mulai ketakutan, tubuhnya kembali meronta-ronta berusaha melepaskan. Lagi-lagi badut itu muncul di hadapannya.
Makhluk itu tertawa kencang, melompat dari dalam kotak dan hinggap di atas kursinya. Suara dengkuran napasnya terdengar nyaring. Ia kembali tertawa dan menyentuh wajah mulus gadis itu.
"Aku akan memberikan sesuatu yang bisa membuatmu menikmati semua acara ini," ucap badut itu. Matanya berputar dan menyisakan bola mata putih pucat. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suatu daging kecil dan menyerahkannya ke gadis itu.
Gadis itu berteriak ketakutan. Itu adalah momen yang pas kala badut itu langsung memasukkan daging itu ke dalam mulutnya. Tubuh gadis itu langsung mengejang. Matanya memutih, mulutnya menganga lebar di iringi suara tawa dan lagu yang semakin keras berputar. Kini saatnya badut itu menari-nari di atas panggung. Pemandangan orang yang mengejang membuat semangatnya terpacu. Semakin cepat orang itu menyerah, semakin cepat juga ia akan menyantap tubuh gadis itu.
∞
"Aku tidak menyangka akan seburuk ini jadinya."
Dara, gadis itu memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya. Sembab sudah matanya menangisi kondisi Dion yang terlihat sangat kritis. Namun laki-laki itu masih bisa tersenyum menatapnya. Dara sedikit merasa ketakutan. Bayangkan saja melihat seseorang yang sudah berupa seperti mayat, di tambah matanya hilang sebelah. Bukankah itu sangat mengerikan?
"Setidaknya aku masih bisa bertahan hidup." Dion menghela napas pelan. Kepalanya bersandar pada dinding yang dingin.
"Lihat kondisimu! Sudah seperti mayat sekarang," ucap Dara masih tak melihat.
"Resiko," jawab Dion sekenanya. Pandangannya menatap lurus ke depan memperhatikan sebuah anatomi manusia yang teronggok di atas lemari.
Ruang laboratorium, itulah yang bisa Dion tangkap kala dirinya masuk ke dalam tempat ini. Mungkin juga ini adalah sebuah sekolah, karena ada beberapa kursi berjejeran dengan alat-alat kimia. Tak hanya itu, ada beberapa seragam dan juga buku-buku yang berjejer.
Kakinya yang sebelumnya terluka sudah terbalut perban. Baju kemeja putihnya di buka kancingnya dua buah. Ia bergerak dari tempat duduknya, berjalan pelan menghampiri setiap lemari dan meja. Satu persatu pintunya ia buka, matanya celingak-celinguk mencari sesuatu.
"Ketemu."
Dara mengangkat wajahnya. Ia melihat Dion yang membawa lima buah roti di tangannya. Laki-laki itu tersenyum dan mengambil tempat di hadapannya. Dara mengulum bibirnya, ia kembali menangis melihat sebelah mata Dion yang berlubang. Gadis itu membelai pipi laki-laki itu pelan.
"Maaf," lirihnya pelan. "Kalau pikiranku tidak kacau saat itu, kamu pasti tidak akan seperti ini."
Dion berdecak, sudah sepuluh kali gadis itu menyalahkan dirinya sendiri. Ia membuka satu buah roti dan langsung menyuapinya ke mulut gadis itu.
"Lupakan, Dara. Aku tidak mau membahasnya," ucap Dion datar.
Gadis itu mengunyah rotinya sambil mengangguk pelan. Dion tersenyum lalu membelai rambut gadis itu.
"Setidaknya kita sudah selamat, bukan? Lebih baik aku yang terluka dari pada kamu," kata Dion tersenyum tipis.
Dara tertegun mendengar ucapan laki-laki itu. Entah apa yang bisa Dara balas sekarang. Senang kah? Sedih kah? Senang karena Dion sangat baik padanya. Sedih akibat dirinya yang di kuasai ketakutan dan membuat Dion menjadi terluka seperti ini.
Tangan Dion membuka satu roti lagi dan memakannya. Perutnya sudah berkoar-koar meminta asupan. Realistis saja, makan setengah potong tadi sama sekali tidak membuatnya kenyang. Tapi, setidaknya ia ada tenaga yang sedikit lebih tadinya. Dan sekarang tubuhnya lemas lagi karena tenaganya terkuras.
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Kenapa kamu ketakutan dan berteriak seolah-olah dia mengikutimu?" tanya Dion. Ia masih menyimpan pertanyaan selama dirinya melihat Dara bersikap aneh. Gadis itu berteriak ketakutan padahal tidak ada siapapun yang mengejarnya.
Dara menghela napas berat, mata sembabnya menatap serius Dion. "Sebelum kamu menemukan aku, aku sudah lebih dulu bertemu dengan badut itu. Aku tidak tau apa yang terjadi, makhluk itu menatapku tajam dan tiba-tiba kesadaran ku hilang."
Gadis itu menjelaskannya secara perlahan. Wajah Dion tertekuk mendengar seksama.
"Aku tersadar di sebuah panggung teater besar. Duduk di kursi penonton paling depan dan langsung menghadap lurus ke arah panggungnya. Tangan dan kakiku di ikat. Aku sama sekali tidak bisa membukanya. Ikatannya kuat sekali. Suara-suara dan musik aneh tiba-tiba terdengar. Badut itu langsung muncul dan menyambarku. Ia berbisik sambil tertawa mengatakan, 'kalaupun kamu berhasil kabur dariku, kemanapun kamu pergi, selama aku masih hidup kamu akan terus mendengar dan melihatku. Telingamu akan selalu bisa mendengar bisikan, langkah, teriakan, tawaan dariku. Setiap matamu terpejam, aku akan menjadi yang pertama membunuhmu. Karena aku sudah memiliki setengah dari jiwamu.' Karena itulah aku menjadi takut dan tau kalau badut itu mengejar kita," jelas Dara.
Dion mengangguk paham mendengarnya. "Secara tidak langsung dia memberi lokasinya pada kita. Ah, seharusnya kita pakai sebagai jebakan saja tadi."
"Maaf aku tidak memberitahumu sebelumnya. Kondisi sama sekali tidak memungkinkan. Aku sudah berusaha untuk tidak takut, tapi mendengar suaranya yang terus menyayat telingaku, membuatku tidak nyaman sama sekali."
Dion mengerti, ia menggenggam tangan Dara dan mengusapnya, "tidak apa-apa. Asal makhluk itu sudah mati, kamu tidak mendengar suaranya lagi, kan?"
Dara menggeleng tanpa bersuara.
"Baguslah. Sekarang habiskan makananmu, kita akan pergi dari sini setelah–"
Pintu terketuk cukup kencang. Cahaya remang berwarna merah terpancar dari balik jendela. Kedua remaja itu menoleh. Menatap seksama pintu yang sama sekali belum memberikan tanda pergerakan sedikitpun. Tiba-tiba pintu itu bergerak, menampilkan dua orang remaja laki-laki tinggi yang sedang membawa lentera.
"Siapa kalian?"
∞
KAMU SEDANG MEMBACA
DOME
Mystery / ThrillerUsai mendapatkan surat misterius yang tergantung di depan rumahnya, Dion terjebak di sebuah dimensi lain yang tidak berujung. Dirinya di paksa untuk menyelesaikan setiap level dengan selamat. Dimana di setiap level ada banyak sekali makhluk kejam ya...