Bonus Chapter: Eyes Wide Open

60 6 0
                                    

Andai saat itu, aku tidak masuk terlalu jauh. Pasti ... Tidak akan se-menyenangkan ini, kan?

Kakinya berayun di bawah kursi. Tangannya sibuk melepas sarung tangan putih yang menyelimuti. Ia menghela pelan, menatap onggokan tangan yang sudah tak terbentuk itu. Tidak ada yang bisa ia rasakan. Sarung tangan hanya penutup saja. Tidak mungkin kan ia harus memamerkan tangan buruknya ini?

"Sepertinya Bruce berhasil membawa anak itu." Joe muncul dari balik pintu. Tubuhnya kini sudah berbalut jas hitam dan kemeja putih. Tidak ada kata buruk rupa untuk penampilannya. Rambutnya pun sudah tersisir rapi ke belakang.

Pria itu berbalik, ia tersenyum kecil, "ohh, kamu sudah siap? Berbeda sekali dengan sebelumnya."

Joe terkekeh, "bukankah kamu yang menyuruhku untuk berganti pakaian?"

"Benar," pria itu bangkit dari kursi. Mengambil sebotol air dari dalam box kayu besar yang tersusun di pojok ruangan, "mana mungkin kita akan menyambut tamu dengan penampilan yang buruk, kan?"

Joe mengangguk. Walau ia sebenarnya tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan sekarang. Keringat bahkan sudah mulai membasahi tubuhnya.

"Aku tidak habis pikir bagaimana kamu bisa nyaman dengan pakaian ini." Joe mengambil sebuah kursi dan mendudukinya. Matanya menerawang sekeliling. Yah, ruangan itu tidaklah besar. Tidak juga terlihat kecil. Hanya ada layar monitor, tiga buah kursi dan satu tempat tidur. Tidak lupa dua box besar di pojok ruangan.

"Sudah terbiasa. Namanya juga pakaian resmi," ucap pria itu menegak airnya. Ia mengambil sebotol lagi dan melemparkannya pada Joe.

"Terima kasih," balas Joe.

Pria itu kembali menatap layar monitor. Kini menunjukkan video dua orang manusia saling memogoh berjalan mendekat ke sebuah pintu. Sudut bibirnya terangkat sedikit.

"Untung saja Bruce menyusul anak itu," celetuk Pyro.

"Kenapa memangnya?" Joe menoleh menatap wajah pria itu.

Pyro tertawa kecil, "dia hampir menyerah sebelumnya."

"Ck, lemah. Anak itu hanya suka omong besar." Joe kembali menegak airnya.

"Jangan meremehkannya, Joe. Lihat bagaimana anak itu bisa melewati level yang ada. Bahkan dia sudah beberapa kali hampir mati, tapi berhasil selamat." Pyro menatap Joe, sudut bibirnya kembali terangkat, "bayangkan saja kalau dia bertemu dengan dirimu nanti, akan semarah apa dia?"

Joe menggeleng dan terkekeh, "kalau berani dia macam-macam, akan ku hajar anak itu."

Pyro menghela pelan, "aku tidak bisa membayangkan potensinya kalau eksperimen itu di lakukan."

"Kamu jadi menggunakannya?" tanya Joe.

"Tentu saja. Menurutmu untuk apa aku sampai menyuruh Bruce menjemputnya kalau aku tidak butuh dia?" Pyro kembali menatap layar, "kalau Beverly yang lemah saja bisa sekuat itu ... Apalagi dia?

Ini akan menjadi eksperimen yang sangat luar biasa dari semua yang pernah aku lakukan!"

Tetesan air beberapa kali menyentuh matanya. Tanpa sadar, matanya berkedut. Kenapa sangat dingin rasanya? Tubuhnya sangat kaku. Sulit sekali di gerakkan. Samar-samar ia mendengar suara bising di sekitarnya. matanya terbuka perlahan. Ruangan kosong temaram menyapanya.

Dimana dirinya berada? Tubuhnya terbaring lemas di atas ubin yang di genangi air. Tetesan air itu terus membasahi wajahnya. Ia berusaha membangunkan tubuhnya yang sakit. Mendesis pelan merasakan semua duri menusuk kaki dan tangannya.

Berapa lama ia tertidur?

Gadis itu menoleh kesana kemari. Ia ternyata tidak sendiri. Tapi puluhan orang lainnya juga terjaga dan saling pandang satu sama lain. Ia menatap tangannya yang sudah mengerut. Kepingan-kepingan memori kejadian sebelumnya mendadak terputar. Matanya melebar dan memperhatikan tubuhnya yang masih utuh.

Bukankah ... Ia sudah mati?

To be continued, Dome II

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang