Sendirian

30 4 4
                                    

Kesunyian terus saja menggelayuti pikiran Dion. Rasanya sangat aneh melihat Bruce yang terdiam tanpa suara sedari tadi. Dengan selinting rokok di mulutnya, serta senapan di tangannya terlihat sangat gagah. Wajahnya yang berkerut menatap garang sekeliling. Pandangan mata hitamnya memendar penjuru kota. Bersiap sedia kala ada bahaya yang menerjang ke arah mereka.

Berapa lama dirinya sudah terjebak di sini? Dion bahkan sudah lupa bagaimana hidupnya kala di dunia yang lama. Monoton, tanpa tantangan dan seharian hanya bermain game serta menggambar. Sekolah hanya tempatnya datang untuk tidur, pulang untuk bermain game. Tidak ada yang menarik, sebelumnya sebagai manusia yang membosankan, tapi kini harus beradu dengan beberapa makhluk mengerikan yang bisa membunuhnya.

Hidupnya berubah 180° ketika berada di tempat ini. Ia merasa kalau semuanya kini tertuju padanya. Ah, apa namanya? Main character. Seolah seorang pemain utama dalam sebuah permainan, dirinya harus bisa bertahan dalam bahaya. Dirinya mulai membayangkan kalau ia memiliki sebuah plot armor. Bagaimana kalau dirinya memang tidak bisa di bunuh? Seperti karakter utama lainnya yang selalu saja di selamatkan oleh para penulisnya? Sungguh, apakah dirinya memilikinya?

Teringat lagi kala dirinya terbanting oleh makhluk kelabang di area 4. Ia sudah merasakan kalau dirinya babak belur, bahkan sudah patah sepertinya. Bagaimana dirinya bisa kembali dalam keadaan baik-baik saja? Apakah ia seorang alien atau semacamnya? Atau, Tuhan?

AHA, oh ayolah, itu berlebihan. Bagaimana kalau dirinya tidak nyata? Tunggu, bagaimana kalau tempat ini tidak nyata? Apakah dirinya kini tertidur dan bermimpi panjang? Atau ia mengalami kecelakaan sampai mengalami koma? Mungkin, dunia sudah kiamat, dan yang dia temui adalah orang-orang yang berhasil bertahan? Dia teringat akan series jepang yang sempat di tontonnya kala itu.

"Senter yang benar, dong. Kalau kamu menyenteri jalan setapak, bagaimana bisa kita tau ada monster atau tidak," cerca Bruce menyadarkannya.

"A-ah, iya." Dion langsung mengarahkan cahaya senternya ke sekeliling.

"Apa yang kamu pikirkan? Dari tadi aku ajak bicara tidak ada respon sama sekali darimu," ucap Bruce.

"Tidak ada," balas Dion.

"Memikirkan Dara? Tenang, gadis itu akan aman di rumah. Aku sudah memasang beberapa jebakan di sana, monster pasti akan sulit masuk, mungkin," ucap Bruce memelankan suaranya di kalimat akhir.

"Tidak, aku tidak memikirkannya," tukas Dion.

Bruce memasang wajah jahil, "benarkah? Wajahmu terlihat tegang dari tadi."

Dion memegang wajahnya, "tidak."

"Hey, pegang yang benar senternya. Aku hanya bercanda tadi," kesal Bruce.

Dion hanya berdecak dan kembali menyorot sekeliling.

Keadaan kembali hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara kecuali bunyi korek Bruce yang berusaha di nyalakan.

"Sudah berapa lama kamu mengenalnya?"

Dion menoleh sembari menarik kedua alisnya, "maksud paman?"

"Sudah berapa lama kamu mengenal Dara?" tanya Bruce lagi.

"Tidak lama, semenjak kami terjebak di sini."

Bruce mengangkat alisnya tak percaya, "benarkah? Ku kira sudah lama kamu mengenalnya. Kalian terlihat sangat dekat."

"Tidak juga," sergah Dion.

"Ah, jangan berbohong," Bruce menyenggol lengan Dion pelan, "Dara terlihat menyukaimu, kenapa tidak kamu ajak saja dia pacaran?"

Dion menoleh, "apa? Tidak mungkin."

"Loh, kenapa? Kamu tidak suka perempuan, ya? Jangan-jangan kamu suka laki-laki," tebak Bruce lalu menjauh.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang