Sorry

24 5 8
                                    

Dion menyeka keringat yang berjatuhan di dahinya. Mendorong sisa darah keluar rumah ternyata menguras banyak tenaganya. Ia menghela pelan sambil menatap lantai rumah yang sudah terlihat bersih. Hanya menunggu Bruce untuk mengepel dan memberinya sedikit pewangi. Jujur, bau amis menyeruak menusuk hidungnya. Beberapa kali ia menahan mual kala menghirupnya.

"Paman, sekarang giliranmu," titah Dion menoleh ke arah Bruce. Pria itu duduk di sofa sambil memperhatikannya.

"Ohh, sekalian saja, bagaimana?" Bruce tersenyum jahil menjulurkan alat pelnya.

Wajah Dion datar tanpa ekspresi. Ia hanya melipir pergi meninggalkan Bruce. Terdengar pria itu memanggilnya dan mendumel tidak jelas. Ah, ketimbang mengurus Bruce lebih baik ia mengambil segelas air. Tenggorokannya kering sekali. Bayangkan saja ia tidak minum selama berkelana tadi sampai sekarang.

Selagi menegak air, matanya menatap Pietro yang baru saja turun dari lantai Dua. Pria itu terlihat sedikit tenang dan menuju ke arahnya.

"Ahh, haus sekali aku. Kamu tau, aku berlari mengejar Wendy ketika paman Bruce menghubungi kita," keluh Pietro menegak segelas air.

"Bagaimana dengan Dara?" tanya Dion. Ia seperti menghiraukan topik Pietro.

"Hmm, gadis itu sudah mulai sadar. Hanya saja kondisinya masih lemah," jawab Pietro meletakkan gelas di atas nakas. "Waktu semakin cepat berlalu. Kita masih belum menemukan jalan keluarnya, di tambah terjadi kejadian seperti ini."

"Kamu masih memikirkan hal itu di saat apa yang telah terjadi pada Dara?" tanya Dion menohok.

Pietro mengernyit, "bukan seperti itu. Kita juga harus bergegas keluar dari sini."

"Bagaimana caranya? Memapah Dara yang kondisinya seperti itu?" tanya Dion lagi. Kali ini nadanya terdengar sedikit tegas.

"Lalu maumu apa? Kita semua menunggu Dara pulih dan mati di sini?" tanya Pietro yang mulai tersulut.

"Jaga ucapanmu. Kalau bukan karena kita yang meninggalkannya sendiri, hal ini tidak akan terjadi," sengit Dion.

Pietro menarik kerah baju Dion, mengangkat tubuh laki-laki itu. Matanya menatap nyalang, menusuk kedua netra Dion yang mendelik tajam. "Aku sangat tidak suka nada bicaramu. Seolah-olah sedang memojokkanku!"

Dion tersenyum miring, "lalu apa? Kamu akan memukulku di saat aku berbicara kebenaran? Bukannya merasa bersalah, kamu malah ingin segera pergi dari sini."

"Bangsat!" Pietro mendorong tubuh Dion dan membenturkannya pada dinding, "Sudah lama aku bersabar menghadapimu. Semakin ku biarkan semakin ngelunjak."

"PIETRO!"

Pietro menjatuhkan Dion ke atas lantai cukup keras. Ia berbalik dan menatap Wendy yang terpogoh menghampirinya.

"Apa yang kamu lakukan?" Wendy membantu Dion berdiri. Matanya menatap kesal ke arah Pietro.

"Aku tidak suka nada bicara anak ini yang seolah-olah menyalahkanku akan semua yang terjadi," balas Pietro geram.

"Kita semua salah di sini. Kita yang meninggalkannya, jangan menyalahkan satu sama lain," tegas Wendy. Gadis itu terlihat sangat lelah, "jangan menambah keruh suasana. Dara sudah terluka, jangan sampai kita berkelahi juga."

Dion dan Pietro sama-sama terdiam. Pietro berdecak, "ah, bangsat. Aku keluar."

Langkah Pietro memburu meninggalkan Wendy dan Dion. Wendy mengusap kepalanya sambil menghela napas panjang. Gadis itu bergegas menyusul Pietro keluar. Tersisa hanya Dion sendiri. Laki-laki itu memilih untuk duduk di kursi, bersandar sambil menarik napas panjang. Hari ini sangat berat. Pikirannya masih kacau, rasa takut akan kehilangan masih bergejolak. Membuatnya menjadi sedikit menjengkelkan. Ia tak segan-segan menyalahkan Pietro tadi. Harusnya ia tidak seperti itu.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang