Peringatan

31 6 1
                                    

Wendy mengeluarkan sebuah kertas besar yang tersimpan di dalam laci. Di bantu Dara menyingkirkan semua sisa mangkuk, kini dirinya menebar kertas itu di atas meja. Semua mata memandang, tertuju pada tanda merah bulat yang di sinyalir sebagai tempat mereka sekarang.

"Ini adalah peta kota ini. Dan titik ini, adalah tempat kita sekarang," terangnya menunjuk lingkaran itu.

"Dimana kamu mendapatkannya?" tanya Pietro.

Wendy menoleh, "sudah ada di dalam sini sejak aku datang kesini."

Pietro menganggukkan kepalanya pelan.

"Kita akan mencoba berpencar untuk mencari jalan keluar itu. Mungkin akan terbagi dua sampai tiga kelompok yang akan menyusuri kota ini," terang Wendy.

Ia kembali melirik luka di kaki Dara. Masih sangat basah, pasti sangat sulit bagi gadis itu untuk ikut bersama mereka, "kamu tinggal sendiri di sini tidak apa-apa, kan?"

Dara terkesiap, mulutnya terbuka sambil menatap satu persatu wajah yang kini bertaut kepadanya.

"A-ah, kalau aku ikut saja bagaimana?" tanya Dara kikuk. Sejujurnya ia takut sendiri di tempat ini. Apalagi setelah mengetahui para monster yang bertambah setiap harinya.

"Bagaimana dengan kondisimu? Kalau kamu paksakan ikut bersama kita, maka akan membuat lukamu terinfeksi. Di tambah bila terjadi penyerangan tiba-tiba, kamu lah yang pertama kali akan menyusahkan," tutur Wendy.

Dara menutup mulutnya. Matanya menatap sayu luka pada betisnya. Dalam hatinya berkecamuk, siapa juga yang mau seperti ini? Apa dirinya semenyusahkan itu?

"Aku dengan Bruce akan pergi ke daerah ini, sementara Dion dan Pietro akan–"

"Sepertinya akan lebih baik kalau kamu bersama Pietro, sementara aku bersama Dion," potong Bruce tiba-tiba.

"Maksud paman?" Alis Wendy berkerut.

"Wendy, kamu orang yang ahli menembak, sama seperti ku. Sementara dua orang itu ahli bertarung. Baiknya kalau kita menggabungkan keduanya agar seimbang," saran Bruce.

Wendy mengangguk paham, "baiklah, aku bersama Pietro dan paman bersama Dion."

Mereka serempak mengangguk. Wendy mulai membuka lebar peta itu sembari menunjukkan rute yang akan di telusuri oleh mereka.

"Aku akan menyelusuri blok A, sementara paman akan menyelusuri blok B. Pusat bertemu kita di tengah air mancur dekat balai kota. Kalau memang ada serangan nantinya, hubungi saja salah satu dari kita."

Dion mulai membuka suara, "dengan apa?"

"Sebentar." Wendy bangkit dari tempatnya. Kakinya bergerak cepat ke lantai dua. Tak berselang lama tubuhnya kembali terlihat membawa dua buah walkie talkie, "kita pakai ini."

"Memangnya ini menyala?" tanya Bruce sambil beberapa kali menekan-nekan benda itu.

"Entahlah, aku belum mencobanya. Coba hidupkan."

Cahaya hijau remang berpendar kala Bruce memutar tombol power benda itu. Ia tersenyum sambil menunjukkan walkie talkienya yang menyala.

"Syukurlah, kita tidak susah lagi untuk berkomunikasi."

"Lalu, bagaimana denganku?" tanya Dara.

"Ah, aku sudah menyimpannya satu di dalam kamarku. Jadi tenang saja," ucap Wendy tersenyum.

Dara hanya tersenyum kecil. Sebenarnya dia masih tidak ikhlas untuk tinggal sendirian di sini. Beginikah nasib seorang beban? Dirinya meratapi luka menganga yang terselubung perban di kakinya. Buruk sekali, haha. Dara takut sendiri, tapi di sisi lain apa yang di katakan Wendy itu benar. Kalau ia ikut, buruknya akan menyusahkan teman-temannya saja. Kejadian sebelumnya dimana Dion harus memapahnya sampai rumah saja sudah tak sanggup ia bayangkan. Imagenya yang seakan beban pasti sudah melekat di antara mereka semua. Takut kejadian yang lebih buruk terjadi lagi, lebih baik di hindari, bukan?

Jari besar dan dingin berkalung pada genggamannya. Wajahnya mendongak, kemudian menarik sudut bibirnya tipis. Wajah Dion tersenyum hangat terpapar cahaya lilin. Isyarat mata tajamnya mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Lebih baik di rumah saja. Kamu akan baik-baik saja," ucap Dion pelan.

Dara tersenyum kecut, menganggukkan kepalanya pelan. "Jaga dirimu baik-baik, Dion."

"Pasti ..."

Dion memapah tas punggung yang di berikan Bruce tadi. Pria itu menyuruhnya untuk menggendongnya dengan alasan sudah tua. Tak hanya itu, Bruce juga ingin mengambil beberapa barang lagi kalau misal melewati beberapa tempat. Entah itu supermarket, toko atau lainnya. Tubuh Bruce yang jangkung dan bebal tersengal-sengal mendekatinya. Itu yang akan membawa barang-barang? Tentu saja tidak.

Kini semuanya sudah bersiap untuk berkelana. Tubuh Dion yang berbalut hoodie beserta topi putihnya, Bruce dengan pakaian polisi yang tidak pernah di gantinya, sementara Wendy dan Pietro mengenakan jaket musim dingin. Wajar saja, suhunya sudah mulai menurun.

"Kalau ada monster yang menyerang, panggil kami dengan benda itu," tunjuk Bruce pada benda yang di pegang oleh Dara.

Dara mengangguk.

"Satu lagi, tadi pagi-pagi aku iseng memasang jebakan di depan pagar. Kalau ada makhluk yang memaksa masuk, akan keluar peluru dari kedua lubang di sana." Bruce memalingkan tubuhnya, menunjuk kedua lubang yang saling bertemu di masing-masing sudut pagar. "Tidak usah memuji, aku memang pandai."

Semuanya menatap datar Bruce. Pria itu asik mengibaskan tangannya merendah. Sayangnya sama sekali tidak ada yang memperdulikannya.

"Ingat sesuai rencana kita. Cari apa yang seharusnya di cari, jangan sampai berkelana sampai tidak kenal waktu. Kalau saja ada yang sulit di hubungi, ketemu nanti aku bakar kalian," ancam Wendy, terutama pada Bruce. Matanya menatap tajam pria itu.

"Apa? Aku? Siapa bilang aku akan berkelana?" tandas Bruce tak terima.

"Jangan suruh aku untuk mengingatkan lagi malam kemari paman dan Dion tiba-tiba pergi dari rumah," omel Wendy.

Bruce mengalah dengan menganggukkan kepalanya lemas.

Semua mata tertuju pada Dara. Lambaian berbalut sarung tangan berbarengan menyapanya. Gadis itu tersenyum saja melihatnya.

"Aku akan baik-baik saja, sungguh."

Tiba-tiba ia berlari ke arah Dion. Memeluk laki-laki itu erat sebelum membiarkannya pergi bersama Bruce.

Dion terkesiap awalnya. Tubuhnya kaku tak tahu harus apa. Dirinya membiarkan Dara mendekap pada dadanya. Entah kenapa sudah lama rasanya dirinya tidak di peluk oleh gadis ini. Sudut bibirnya terangkat sedikit, tangannya bergerak pelan pada kepala gadis itu. Mengelus rambut lurus cantiknya pelan.

"Oh ayolah, apakah kami harus menunggu drama percintaan ini sampai bom itu meledak di sini?" cerca Bruce.

Dion cepat-cepat melepas pelukannya dan langsung bergerak mendekati Bruce.

"Jaga dirimu baik-baik, Dara," ucap Dion kikuk.

Gadis itu tertawa pelan, "Juga."

"Dengar, Dara. Kalau memang ada sesuatu yang aneh terjadi di sekitar rumah ini, cepat-cepat hubungi kami. Jangan mencoba untuk melawan sendiri. Kita tidak tau apa dan siapa yang akan datang kesini,"  peringat Bruce. Wajah pria itu terlihat serius.

Dara menjadi sedikit takut mendengar ucapan Bruce. Semoga saja hal buruk itu tidak terjadi kepadanya.

Mereka semua segera beranjak dari tempat itu. Meninggalkan rumah yang menurut mereka aman selama mereka tinggali bersama. Kini mereka harus berkelana untuk mencari jalan keluar sebelum waktu akhir menjemput mereka. Entahlah, semoga saja mereka menemukannya dengan cepat, sebelum waktu itu tiba.

SEBULAN SUDAH SAYA TIDAK UPDATE KARENA STUCK.

Gila ga sih, jahat bgt sma karakter sendiri.

Untung aja msh di dlm rumah, kalau di serang monster dan ngegantung gitu aja? Ga bisa bayangin sebulan Dion mati-matian sma monster, KRIK KRIK ...

oke maaf banget karena jarang update, karena karena karena males hehehee

Jangan di tiru ya adik adik, ini sangatlah sesat!

Btw thankyou buat yang udh stay, love you guys!

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang