The Boys

27 12 4
                                    

Langkah Dara mengendap-endap melewati semak-semak. Matanya terus menyisir setiap sudut guna mencari keberadaan makhluk-makhluk itu. Bukan, Dara tak ingin menemui mereka. Ia hanya mengantisipasi kalau ada kemunculan dari makhluk-makhluk itu dirinya siap untuk menyerang.

"Sudah ada tanda-tanda dari mereka?" tanya Pietro di belakang. Pria itu beberapa kali menoleh ke belakang. Dirinya sangat takut kalau tiba-tiba ada kejutan tak terduga yang bisa membunuhnya. Ia tidak mau kalau sekali kedip nyawanya sudah hilang.

"Tidak, bagaimana dengan paman?" tanya Dara.

"Tidak juga. Sekarang kita ambil haluan ke sana." Pietro menunjuk jalan yang tadi  mereka lewati. Pietro rasa, mereka sudah terlalu jauh dari kota, jadi kini saatnya mereka kembali ke pusat dan mencari tempat berlindung.

Dara mengangguk saja. Dirinya mengeratkan pegangan pada kayunya. Sejujurnya Dara takut. Nyalinya tidak sebesar ucapannya. Sebut saja dirinya membual, haha. Terjebak di sebuah kota dengan ribuan makhluk yang bisa saja langsung membunuhnya kapan saja. Kemungkinan selamat kecil sekali. Contohnya saja Dion. Laki-laki itu saja tidak bisa bertahan.

Langkah Dara mendadak berhenti. Netra cokelat gadis itu menangkap sesuatu di arah timur laut. Sebuah ladang yang di tutupi kabut dan gelap. Pasti itu sisi lain dari Kota ini. Tapi Dara sedikit aneh melihat ada ladang di tengah-tengah kota. Bukankah biasanya ada di desa saja? Areanya pun tidak main luasnya. Membentang jauh tanpa ujung, dengan kabut abu yang menutupi seluruhnya. Ah lupakan, entah kenapa perasaan Dara tidak enak akan itu.

"Kenapa berhenti?" tanya Pietro yang sadar akan tingkah Dara.

"Lihat ladang itu," tunjuk Dara ke arah tempat yang kini di tatapnya.

"Kabutnya tebal sekali. Lebih baik kita menghindarinya," ucap Pietro yang langsung bergerak ke jalan yang di tujunya tadi.

Dara tersadar, dirinya langsung menoleh ke Pietro. "Hey, tunggu aku!"

"Cepatlah, sebelum aku tinggal kamu di sini."

Dion menggigiti jarinya, menatap lurus ke depan. Ia sudah menyuruh Bruce untuk menyalakan lampu mobilnya. Sebelumnya pria itu menolak karena takut para Deathmoth akan menyerbunya. Tapi, masalahnya Bruce beberapa kali hendak menabrak pembatas jalan. Di tambah jalan mobilnya yang terbilang cepat dan beringas. Dion tidak mau mati sebelum menemukan gadis itu. Setidaknya, mati bersama-sama itu lebih baik.

"Kalau para Deathmoth itu muncul, ku biarkan mereka melumatmu habis-habisan," geram Bruce melirik tajam Dion.

"Aku lebih memilih itu ketimbang mati karena kecelakaan," balas Dion malas. Ia sudah lelah menghadapi Bruce yang mengomelinya tanpa habis.

"Aku pasti akan melemparmu."

"Ck, diamlah! Fokuslah kejalanan, Bruce. Kamu tidak sendiri di sini," potong Wendy cepat. Ia juga ikut lelah mendengar perdebatan dua orang bodoh di sebelahnya. Gadis itu kembali memejamkan matanya. Ingin tidur saja susah sekali.

Kalau boleh, Wendy ingin mendorong kedua orang ini keluar sekarang. Sementara dirinya akan pergi mencari jalan menuju area berikutnya.

"Kalian sadar tidak, kalau kita ini seperti sebuah komplotan?" tanya Bruce tiba-tiba. Dion dan Wendy sama-sama melirik ke arah pria itu. Terdapat senyum sumringah yang terhias di wajah keriput Bruce. "Bagaimana kalau kita beri nama, Komplotan pembasmi monster ..."

"Dramatis," jawab Dion lalu kembali menatap jalan.

"Ide yang bagus. Tapi lebih bagus lagi kalau kamu diam," imbuh Wendy tersenyum kecil.

Senyum di wajah Bruce menghilang. Pria itu berdecak sebal dan kembali fokus ke jalanan. Memang mereka berdua ini tidak bisa di harapkan. Oke, satu sifat seperti Wendy ia bisa menanganinya. Tapi, dua? Erghh, lebih baik dia menanam kepalanya ke dalam tanah tandus.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang