Bab 31 : Hari yang Melelahkan

84 6 0
                                    

Hari pertama pelajaran akhirnya selesai, dan para murid kembali ke asrama masing-masing. Begitu pula dengan Banny, Volentia, dan Vidi.

Setibanya di asrama, suasana hening menyelimuti mereka. Volentia lebih banyak diam, Vidi yang sudah terlalu lelah langsung merebahkan diri di kasurnya, sementara Banny duduk di bangku meja belajar sambil menikmati apel yang ia buat dengan sihirnya.

"Banny..." Suara Volentia memecah keheningan.

"Hmm, ya?" sahut Banny sambil tetap mengunyah apelnya.

"Maafkan aku," ucap Volentia pelan. "Karena aku, kau dan Vidi ikut ditindas oleh Fay Peri. Jika aku tidak menerima undangan ke akademi ini, kalian pasti tidak perlu menghadapi semua ini."

Volentia menunduk dalam, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Aku benar-benar minta maaf... sangat-sangat meminta maaf."

Banny mendesah ringan, lalu menatap Volentia. "Kau ini bicara apa sih? Ada atau tidaknya kau di sini, Fay pasti tetap akan menindas orang lain. Kita memang lemah, tapi bukan berarti kita harus menyerah begitu saja."

"Iya, benar kata Banny," tambah Vidi sambil duduk di pinggir tempat tidurnya. "Penindas seperti dia tidak akan berubah hanya karena ada atau tidak ada nya kita di sini."

"Tapi... Banny," suara Volentia bergetar. "Kau tidak seharusnya disamakan denganku. Jika kau berteman dengannya, aku yakin dia tidak akan menganggapmu lemah seperti aku."

Banny tersenyum tipis, tetapi ada kilatan kemarahan dalam matanya. "Untuk apa aku berteman dengan orang seperti dia? Kalau hanya dimanfaatkan, itu sama saja aku menjadi budaknya."

Tanpa sadar, energi dari tubuh Banny terpancar, menciptakan tekanan besar di ruangan. Volentia dan Vidi langsung terduduk di lantai, terengah-engah.

BRUKK

"Ba... Banny!" seru mereka dengan suara tertahan.

Banny segera tersadar. "Ah, maaf! Aku benar-benar minta maaf!" katanya panik, suaranya penuh penyesalan. "Aku kesal membayangkan diriku harus jadi budaknya. Sekali lagi, maaf ya."

"Tenang, Banny. Kami mengerti," ucap Vidi sambil bangkit berdiri. "Aku juga kesal pada dia."

Beberapa menit berlalu, suasana kembali tenang. Vidi mendekati Volentia dan berjongkok di hadapannya.

"Vo, jangan putus asa. Kita harus bertahan sampai lulus. Kita buktikan bahwa kita tidak lemah. Kau mengerti kan?" katanya sambil menggenggam tangan Volentia, memberikan semangat.

Volentia menatap Vidi dengan mata berkaca-kaca. "Iya, terima kasih, Vidi," ucapnya penuh haru.

Banny yang menyaksikan interaksi mereka hanya tersenyum tipis. Namun, di balik senyum itu, ia merasakan sesuatu yang aneh.

'Ukh... kepalaku... sakit...' batinnya.

"Banny, kau tidak apa-apa?" tanya Vidi, memperhatikan wajah Banny yang tiba-tiba berubah.

"Aku baik-baik saja," jawab Banny singkat. "Aku keluar sebentar, ingin menghirup udara segar."

"Hati-hati ya," ucap Volentia dan Vidi hampir bersamaan.

Banny hanya mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar asrama.

❄️

Banny berjalan menuju kolam di tengah taman sekolah. Malam itu begitu sunyi, tak ada seorang pun di sana kecuali dirinya.

Ia berdiri di tepi kolam, menatap air yang memantulkan cahaya bulan. Namun, pikirannya terasa kacau.

'Apa yang terjadi denganku? Mengapa aku terus mengingat sesuatu... seseorang... Tapi siapa?' batinnya resah.

Dadanya terasa sesak. Perasaan sakit yang tidak ia mengerti terus menghantui.

Banny menatap pantulan dirinya di permukaan air. Wajahnya yang biasanya tegar kini terlihat penuh kegelisahan.

"Ukh... siapa..." gumamnya pelan, pandangannya semakin dalam tertuju pada bayangan dirinya.

Namun, ia tidak mendapatkan jawaban, hanya keheningan malam yang terus menyelimuti.

Fairy Queen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang