Bab 25 : percobaan

107 8 0
                                    

"Uwahhh... selamat pagi dunia!" seru Banny sambil meregangkan tubuhnya.

"Tumben, hari ini tidak ada yang menggedor-gedor pintu kamarku. Padahal ini sudah jam 10 pagi," gumam Banny, sedikit heran.

"Yah, aku mandi dulu saja," katanya sambil bersiap untuk terbang.

Namun, saat mencoba terbang, Banny lupa bahwa sayapnya sudah terpotong. Akibatnya, ia pun terjatuh.

GUBRAKK!

"Apa itu?! Apa yang terjadi?!" seru Trinly, yang langsung terbangun dari tidurnya.

"Aww... aku lupa kalau aku tidak punya sayap," keluh Banny sambil meringis.

"Tuan Putri, apa Anda baik-baik saja?" tanya Trinly, khawatir.

"Ya, aku baik-baik saja. Setidaknya aku masih bisa berjalan," jawab Banny sambil tersenyum tipis.

"Tapi, Tuan Putri, bukankah Anda bisa menggunakan sayap Dewi atau kekuatan sihir angin? Kenapa tidak memakainya saja?" tanya Trinly lagi.

"Kalau aku menggunakan itu, siapa yang akan membereskan kamar ini setelahnya?" balas Banny dengan santai.

"Ehh? Apa maksud Tuan Putri?" bingung Trinly.

"Sayap Dewi itu besar, dan kalau aku menggunakan kekuatan sihir angin di dalam kamar ini, ruangan ini pasti jadi berantakan. Aku tidak mau merepotkanmu untuk membereskannya," jelas Banny sambil tersenyum.

"Ohhh, begitu," gumam Trinly mengangguk paham.

"Sudahlah, aku mau mandi dulu. Setelah itu, aku akan mengajak Kakak makan," ucap Banny sebelum masuk ke kamar mandi.

❄️

Setelah mandi dan berpakaian rapi, Banny segera menuju kamar Aldrick.

"KAKAK! BANGUN, KAK!" teriak Banny sambil menggedor pintu kamar Aldrick.

"Kalau Kakak tidak keluar, aku akan merusak pintu ini, loh!" ancamnya, tapi tidak ada respons dari dalam.

Merasa lelah menunggu, Banny akhirnya benar-benar merusak pintu itu dengan sihir esnya.

BRAKK!

Banny terkejut melihat apa yang ada di dalam. Aldrick sedang melukai dirinya sendiri, dan darah berceceran di lantai serta kasurnya.

"Kakak! Apa yang kau lakukan?!" seru Banny, panik.

"Jangan ganggu aku, Banny," jawab Aldrick dengan suara dingin, aura hitam pekat menyelimutinya.

*Aura hitam muncul ketika seseorang merasa sangat marah atau putus asa terhadap dirinya sendiri.

"Kak, hentikan! Berhentilah melukai dirimu sendiri!" pinta Banny dengan cemas.

"Heh... tenang saja, Adik kecil. Rasa sakit ini cepat sembuh. Tapi meskipun aku melukai tangan, leher, bahkan menusuk perutku sendiri, semuanya tidak bisa benar-benar membuatku mati. Itu hanya membuatku semakin tersiksa," ujar Aldrick sambil menunduk, suaranya penuh putus asa.

"Cukup, Kak! Jika ini semua karena aku, aku sungguh minta maaf. Aku tidak ingin melihat Kakak terus menyakiti diri sendiri seperti ini," Banny berlutut di hadapan Aldrick, mencoba menenangkan kakaknya. "Sayap bukanlah segalanya bagiku. Yang paling berharga adalah Kakak dan orang-orang yang kusayangi. Jadi, tolong hentikan ini!"

"Maafkan aku, Adik... Ini bukan salahmu. Ini salahku... Aku tidak bisa menjagamu, tidak bisa menyelamatkan sayapmu..." suara Aldrick melemah, hampir tidak terdengar.

"Bodoh! Jangan terus meminta maaf! Bukankah sudah kubilang, sayap itu bukan segalanya!" tegur Banny dengan nada keras, tapi penuh kasih sayang.

Namun, tiba-tiba, Aldrick terdiam dan jatuh pingsan.

"Kakak?! Kakak!" panggil Banny, panik. "Ini gawat! Dia pasti kehilangan banyak darah! Walaupun dia tidak bisa mati, kehilangan darah sebanyak ini bisa sangat berbahaya!"

"Trinly! Cepat panggil Aorora Peri ke sini!" perintah Banny tegas.

"Baik, Tuan Putri! Saya akan segera memanggilnya!" jawab Trinly sambil melesat pergi.

❄️🌻

Tak lama kemudian, Trinly kembali bersama Aorora. Begitu masuk ke kamar Aldrick, Aorora terkejut melihat darah di mana-mana dan Aldrick yang tak sadarkan diri.

Aorora segera mendekati Aldrick dan menggunakan sihirnya untuk menstabilkan aliran darah anaknya. Setelah beberapa saat, Aldrick pun sadar dan langsung memeluk Aorora.

"Bodoh! Jangan lakukan hal seperti ini lagi!" bentak Banny dengan nada marah. "Aku yakin Kakak sudah berkali-kali pingsan, tapi tetap melukai diri sendiri, kan?"

Aldrick tidak membantah. Ia hanya menunduk, diam seribu bahasa.

"Aldrick, apakah yang dikatakan Banny benar?" tanya Aorora dengan lembut, tapi tegas.

"I...iya, Ibu. Semuanya benar. Aku sangat marah pada diriku sendiri. Aku merasa tidak berguna... Aku sungguh minta maaf," jawab Aldrick dengan suara bergetar.

"Bodoh! Berhenti meminta maaf terus, Kakak bodoh! Kalau Kakak melakukan hal seperti ini lagi, aku yang akan benar-benar mengirim Kakak menghadap dewa kematian!" ancam Banny dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah, Banny. Jangan bicara seperti itu," tegur Aine yang baru saja masuk ke kamar.

"Huh, baiklah," gumam Banny, meskipun ia masih kesal.

Fairy Queen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang