Aku, seorang anak dari Dewa Kehidupan, harus menjalani reinkarnasi ke Alam Peri dan hidup sebagai seorang putri di sana. "Hah... pasti merepotkan," ujarku dengan nada malas.
Bagaimana kelanjutan hidup anak Dewa Kehidupan ini? Apa yang membuatnya sel...
Akhirnya, setelah menunggu selama 15 menit di ruang makan, Banny Peri pun muncul. Ia mengenakan seragamnya dengan rapi, meski wajahnya masih menunjukkan sedikit ekspresi malas.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aldrick masih memikirkan sikap adiknya yang membuatnya semakin penasaran.
"Sini, Banny. Duduk di sebelah Kakak," kata Aldrick sambil menepuk bangku di sebelahnya. Banny hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa dan duduk dengan santai.
"Nah, sekarang semua sudah berkumpul. Mari kita makan," ujar Aine, memimpin acara makan pagi itu.
Acara makan berlangsung lancar. Setelah selesai, obrolan santai pun dimulai. Mereka membahas pengalaman Aldrick selama di akademi hingga perkembangan Banny yang belakangan ini lebih terbuka dengan para peri di istana. Namun, rasa bersalah Aldrick pada Banny masih mengganjal.
"Banny, maafkan Kakak karena sudah salah sangka. Kukira kau melupakan pesan Kakak, tapi ternyata aku salah," ujar Aldrick tulus.
Namun, permintaan maaf itu tidak digubris oleh Banny. Ia hanya fokus menghabiskan puding cokelat kesukaannya tanpa menoleh sedikit pun.
"Lima menit lagi aku ada kelas. Aku harus bersiap. Terima kasih atas makanannya," ujar Banny datar, lalu pergi begitu saja meninggalkan ruang makan.
Setelah kepergian Banny, Aldrick kembali bertanya, mencoba memahami adiknya lebih dalam.
"Ibu," panggil Aldrick kepada Aurora.
"Benarkah Banny sudah mulai ramah dengan kalian?" tanyanya dengan nada ragu.
"Benar. Beberapa tahun belakangan ini dia lebih terbuka dan ramah, meskipun terkadang sifatnya bisa berubah drastis dalam sekejap," jawab Aurora lembut.
"Kalau begitu, apakah dia sudah diperkenalkan kepada para peri lain di luar kalian bertiga?" tanya Aldrick, semakin penasaran.
"Belum," jawab Aine. "Kami berencana mengirimnya ke akademi. Namun, ia akan menyamar sebagai anak yang lemah. Berdasarkan laporanmu, banyak siswa di akademi yang suka menindas para siswa yang dianggap lemah. Jadi, kami ingin dia menjalani misi untuk memantau dan melaporkan semua tindakan penindasan itu kepada kami."
Mendengar penjelasan itu, Aldrick terdiam sejenak. Ia mulai memahami mengapa adiknya tampak sering berubah-ubah sikap.
'Pantas saja sifatnya bisa tiba-tiba berubah drastis. Dia pasti merasa terkekang tinggal di istana selama ini' pikir Aldrick dalam hati.
"Aldrick, kau tidak apa-apa?" tanya Psyche khawatir melihat Aldrick termenung.
"Ah, aku tidak apa-apa," jawab Aldrick cepat, tersadar dari lamunannya.
"Jadi, kalian ingin memasukkan Banny ke akademi dengan identitas palsu?" tanyanya untuk memastikan.
"Identitasnya tidak sepenuhnya palsu," jawab Aine. "Namanya tetap Banny Peri, tapi identitas orang tua dan asal-usulnya akan dirahasiakan. Dia hanya perlu berpura-pura menjadi anak yang tidak memiliki kekuatan besar."
Aldrick mengangguk paham. "Itu masuk akal. Tapi aku harus mengingatkan, di akademi, banyak yang berpikir bahwa kekuatan adalah segalanya. Mereka yang pintar tapi lemah sering menjadi sasaran bullying."
"Kami tahu," keluh Aine. "Namun, kami tidak punya wewenang untuk mengatur akademi, karena itu sepenuhnya berada di bawah kendali para dewa."
"Tapi kita punya Banny. Jika para dewa tahu bahwa Banny adalah anak dari Dewa Kehidupan, mungkin mereka akan bersikap lebih adil," ujar Psyche tanpa berpikir panjang.
"Psyche!" seru Aine dan Aurora bersamaan, menatapnya tajam.
"Ups, maaf," ucap Psyche sambil menutup mulutnya.
"Anak Dewa Kehidupan?" Aldrick mengulang kata-kata itu dengan bingung.
Aurora mendesah. "Karena sudah terlanjur, kami akan memberitahumu. Ya, Aldrick. Banny adalah anak dari Dewa Kehidupan, salah satu dewa terpenting di dunia ini."
"Ah, pantas saja kekuatannya begitu luar biasa. Kupikir kalian memberinya kekuatan tambahan," ujar Aldrick, mencoba mencerna informasi itu.
"Kami tidak pernah memberinya kekuatan. Sejak awal dia memang sudah memiliki kemampuan hebat," tambah Aine.
Sejenak, suasana di ruang makan menjadi hening.
'Memang anak yang menarik' pikir Aldrick sambil tersenyum kecil.
Namun, satu hal masih mengganjal pikirannya.
"Kalau begitu, apakah ada yang mengajarinya mengontrol kekuatan itu?" tanya Aldrick lagi.
"Tidak ada yang perlu diajarkan," jawab Aurora santai. "Dia sudah menguasai semuanya dengan sendirinya."
"Tapi tadi dia memakai seragam sekolah. Bukankah itu berarti dia belajar sesuatu?" Aldrick merasa bingung.
"Ah, itu hanya untuk mengelabui. Biasanya, dia hanya makan sambil memakai baju tidur, lalu kembali tidur lagi," jelas Aine sambil tersenyum tipis.
"Dasar anak itu," gerutu Aldrick kesal.
Ia pun segera beranjak dari ruang makan, memutuskan untuk menyusul adiknya.