"Huh... Di mana aku? Mutiara? Banyak sekali mutiara di sini. Apa ini... Dimensi Mutiara?" Banny tertegun, matanya menjelajahi tempat asing itu.
"Azura... Azura..." terdengar suara lembut memanggil.
"Itu suara Ibu! Ibu, di mana?" Banny panik mencari sumber suara.
Ia melihat sosok yang dikenalnya dan langsung berlari memeluk sang Dewi Kehidupan. "Ibu!"
"Apa kau baik-baik saja selama ini, putriku?" tanya sang Dewi dengan nada lembut, mengusap kepala Banny yang hanya menggeleng sambil mempererat pelukannya.
"Jangan tinggalkan aku, Ibu," bisik Banny, air matanya mulai jatuh.
❄️
Sementara itu, di dunia nyata...
Vo dan Vidi bergegas membawa tubuh Banny yang terluka ke ruang kesehatan. Namun, mereka segera dihadang oleh petugas kesehatan yang rupanya sudah dikendalikan pikirannya oleh Navi, si peri pengendali pikiran.
"Apa-apaan ini? Mereka tidak mau membantu!" geram Vo putus asa, sementara darah Banny terus mengalir, menetes di sepanjang jalan.
"Vo, kau ingat obat yang diberikan Kak Angel? Obat itu bisa menghentikan pendarahan, kan?" ujar Vidi mengingatkan.
"Oh iya! Aku belum meminumnya. Sebaiknya kita berikan obat itu pada Banny saja," jawab Vo cepat.
"Baik, ayo kita bawa Banny ke asrama. Aku juga akan mencari cara untuk membuat obat pemulih kesadaran agar kondisinya segera membaik," kata Vidi, menggendong Banny dengan cemas.
Mereka langsung kembali ke asrama. Sesampainya di sana, Vo memberikan obat dari Kak Angel kepada Banny, sementara mereka berdua mulai meramu obat pemulih kesadaran.
Namun, usaha mereka berulang kali gagal. Malam pun tiba, dan keduanya semakin lelah.
"Uhh... Ini sulit sekali. Padahal, aku sudah mencoba membuat obat paling ampuh," keluh Vo, frustrasi.
"Setidaknya, pendarahan Banny sudah berhenti," kata Vidi, mencoba melihat sisi positifnya.
"Hah... Tapi aku benar-benar lelah," ujar Vo, terkulai di kursinya.
"Aku juga... Rasanya kantuk sekali," gumam Vidi.
Akhirnya, mereka tertidur di meja belajar, kelelahan.
❄️
Pagi harinya...
Cahaya matahari yang menembus jendela kamar membangunkan mereka.
"Huwaaa... Selamat pagi, Banny peri," sapa Vo sambil menguap.
Namun, saat ia sadar sepenuhnya, matanya membelalak. "Banny peri? HAH! DI MANA BANNY PERI?!" teriak Vo panik. Ia langsung mengguncang tubuh Vidi.
"Vidi! Banny peri hilang!"
Vidi yang baru bangun tampak terkejut. "Apa? Bagaimana bisa?!"
"Aku tidak tahu! Ayo kita cari dia sekarang!" cemas Vo, mulai kehilangan kontrol.
"Vo! Vo! Tenang dulu!" Vidi memegang kedua pipi Vo dengan lembut, menatap matanya. "Dengarkan aku. Aku juga khawatir pada Banny peri, sama seperti kau. Tapi aku yakin dia bisa melindungi dirinya sendiri, meskipun terluka."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?! Banny peri sedang terluka parah! Kalau kau tidak mau membantuku, biar aku cari dia sendiri!" Vo berseru, emosinya memuncak.
Namun, sebelum Vo sempat melangkah pergi, Vidi menarik tangannya dan memeluknya erat.
"Kita akan cari dia bersama, Vo. Tapi sekarang, kita harus siap-siap untuk ke sekolah dulu. Saat istirahat, aku janji kita akan mencari Banny peri. Jadi, tenanglah dulu, oke?" kata Vidi dengan lembut.
"Tapi... Tapi Banny peri..." Vo terisak, suaranya melemah.
"Aku yakin dia baik-baik saja. Percayalah padaku," ujar Vidi, meyakinkan.
Vo mengangguk dengan pasrah. "Baiklah," ucapnya lirih.
![](https://img.wattpad.com/cover/325751906-288-k935172.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fairy Queen
FantasyAku, seorang anak dari Dewa Kehidupan, harus menjalani reinkarnasi ke Alam Peri dan hidup sebagai seorang putri di sana. "Hah... pasti merepotkan," ujarku dengan nada malas. Bagaimana kelanjutan hidup anak Dewa Kehidupan ini? Apa yang membuatnya sel...