Aku, seorang anak dari Dewa Kehidupan, harus menjalani reinkarnasi ke Alam Peri dan hidup sebagai seorang putri di sana. "Hah... pasti merepotkan," ujarku dengan nada malas.
Bagaimana kelanjutan hidup anak Dewa Kehidupan ini? Apa yang membuatnya sel...
Hari-hari di akademi berlangsung seperti biasa—tenang dan tertib. Namun, tidak demikian bagi Banny. Sejak kedatangan Michael, Anak Dewa Kematian, ketenangan dalam hidupnya seolah menguap. Michael terus mengganggu Banny, mulai dari jam belajar hingga waktu pulang.
Seperti saat ini, ketika bel istirahat baru saja berbunyi dan murid-murid mulai menyerbu kantin.
"Tuan Putri Azura, ayo ke kantin bersamaku," bisik Michael sambil mengalungkan kedua lengannya di leher Banny.
"Hey! Tunggu dulu! Bagaimana dengan Vidi dan Vo?" protes Banny ketika Michael tanpa izin menarik tangannya keluar dari kelas.
"Biarkan saja," jawab Michael santai, tak peduli.
Vidi dan Vo hanya tersenyum kecil sambil melambaikan tangan, memberi tanda bahwa mereka tidak keberatan. Namun, berbeda dengan Tarisha, Dewi Hujan, yang sedari tadi memperhatikan mereka dari jauh dengan tatapan tajam.
"Dasar wanita menjijikkan," gumam Tarisha penuh kebencian.
"Dewi, kau ingin aku melakukan sesuatu?" tanya Fay, salah satu pengikut setia Tarisha.
"Ya. Kau memang yang paling berguna di antara mereka semua. Aku punya tugas untukmu," jawab Tarisha sambil tersenyum licik.
❄️
Sementara itu, Michael dan Banny tidak pergi ke kantin, melainkan ke taman belakang akademi. Mereka duduk diam di bawah pohon, hanya ditemani semilir angin. Michael, seperti biasa, terus menatap Banny sambil tersenyum kecil.
Tiba-tiba, Michael meraih telapak tangan Banny dan menempelkannya di pipinya.
"Aku cemburu," ucap Michael tiba-tiba.
"Cemburu? Kenapa?" Banny menatap Michael dengan bingung.
"Dengan peri kecil yang selalu ada di dekatmu waktu itu. Namanya... Trinly, kan? Bahkan dia punya nama kesayangan darimu. Aku semakin iri," ujar Michael sambil cemberut.
"Jadi, itu kau yang mengirim Trinly?" Banny memutar matanya. "Hah, sudahlah. Aku lelah dengan tingkahmu."
"Aku hanya ingin menjagamu," jawab Michael pelan.
Michael melepaskan tangan Banny dan menatapnya dengan serius. "Oh ya, Azura, maafkan aku."
"Hah? Sekarang apa lagi?" tanya Banny, mulai kesal.
"Maafkan aku karena terlalu mencintaimu. Dulu, saat kau menolak perjodohan kita dan menghilang begitu saja, aku kehilangan kendali. Ayahku bahkan menyegelkanku di kamar selama bertahun-tahun. Aku baru dibebaskan setelah kesadaranku pulih. Tapi, sejak itu, aku diberi tugas berat—menjemput banyak makhluk yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu."
Banny menunduk, merasa bersalah. "Ukhh... Maafkan aku."
Michael tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Lagipula, sekarang orang tuamu sedang ada di dimensi kehidupan. Jadi, aku punya waktu luang untuk berada di sini bersamamu."
KRING!
"Ah, bel masuk sudah berbunyi. Ayo kita kembali ke kelas," ajak Michael sambil berdiri.
'Aku lapar,' batin Banny, tanpa sadar.
"Hah, lapar?" ucap Michael tiba-tiba, membaca pikirannya.
"Kalau aku membuat apel energi, butuh waktu tiga menit, lalu aku harus makan cepat supaya—" omelan Banny terhenti ketika Michael tiba-tiba mencium bibirnya.
Banny membeku seketika, wajahnya merah padam. "KAU! Apa yang kau lakukan?! Dasar mesum! Bagaimana kalau ada yang melihat?!" seru Banny marah.
"Tenang saja, aku tidak sebodoh itu. Aku sudah memasang perisai pelindung, jadi tidak ada yang bisa melihat kita," jawab Michael santai.
"I..Itu tetap saja bodoh! Dasar bodoh!" seru Banny lagi, wajahnya masih memerah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Michael tertawa kecil. "Kau sangat lucu, Azu-ku."
"Sudah cukup! Aku akan ke kelas duluan," ucap Banny kesal, berbalik pergi.
"Kenapa tidak teleportasi saja?" tanya Michael iseng.
"Teleportasi dilarang di akademi ini, tahu!" jawab Banny tajam.
Michael hanya mengangkat bahu, lalu menteleport diri mereka ke depan pintu kelas, membuat Banny semakin kesal.
Kedatangan mereka yang bersamaan menarik perhatian Tarisha, yang diam-diam mengepalkan tangan, menahan amarah.
❄️
KRING!
Saat bel pulang berbunyi, Vidi dan Volentia menghampiri Banny.
"Tuan Putri, kau ada pelajaran tambahan, kan?" tanya Vidi.
"Ah, iya. Aku hampir lupa," jawab Banny. "Kalian mau langsung ke asrama?"
"Tidak, kami mau ke rumah kaca dulu, mencari tanaman obat," jawab Volentia.
"Kalau kau, Michael?" tanya Volentia pada Michael.
"Aku ikut Banny," jawab Michael santai.
"Tidak boleh!" potong Banny cepat.
"Kenapa? Tidak boleh?" Michael menatapnya dengan wajah polos.
"Tidak!" ketus Banny.
Michael hanya tersenyum kecil. 'Masih marah, ya?' telepati Michael.
'Ya,' jawab Banny singkat dalam pikirannya.
"Baiklah, aku ikut kalian saja," ujar Michael sambil tersenyum ke arah Vidi dan Volentia.
"Semangat belajar, Tuan Putri," ucap Vidi dan Volentia sambil melambaikan tangan, meninggalkan Banny.
Saat menuju ruang tambahan, seekor burung gereja tiba-tiba mendekati Banny.
"Tuan Putri! Ada peri yang sedang ditindas!" lapor burung itu.
"Di mana?" tanya Banny cepat.
"Di belakang sekolah. Cepatlah!" jawabnya.
"Huh, kenapa selalu ada masalah?" keluh Banny sambil berlari menuju lokasi yang disebutkan.
Setibanya di belakang sekolah, Banny menemukan Fay sedang menindas seorang peri dari ras Kitsune.
"Kau lagi," ucap Banny mendekati Fay. Namun tiba-tiba, jebakan petir muncul, mengurung Banny dalam penjara listrik.
"Oh, rupanya Tuan Putri pun bisa terkena jebakan, ya?" Tarisha muncul dari balik bayangan dengan senyum puas.
Banny mencoba melepaskan diri dengan sihirnya, tapi sia-sia. Energinya terkuras oleh sengatan listrik yang semakin kuat. Tangannya pun diborgol dengan borgol petir.
"Air dan petir itu kombinasi yang luar biasa, tahu. Kau tidak bisa ke mana-mana," ujar Tarisha puas.
"Apa yang kau inginkan, Tarisha?" tanya Banny lemah.
"Aku sudah bilang. Aku ingin Michael. Dan hari-harimu dengannya membuatku ingin menghapusmu dari dunia ini!" jawab Tarisha dengan emosi yang meluap.
Energi Banny akhirnya habis sepenuhnya. Ia kehilangan kesadaran di dalam penjara petir yang dibuat Tarisha.