Tiga hari sebelum hari penobatan, Banny semakin sibuk dan kebingungan.
Tugas-tugas sebagai calon pemimpin peri menumpuk, belum lagi tugasnya sebagai Dewi yang mendadak bertambah banyak. Keletihan mulai terasa, namun ia terus memaksakan diri untuk menyelesaikan semuanya.Di Ruang Makan
"Banny, apakah kau sudah siap untuk penobatan tiga hari lagi?" tanya Aine, sang ratu peri, di sela-sela makan pagi.
Banny menghela napas. "Sayangnya, aku belum menemukan partnerku, Ratu."
Aine menatapnya prihatin. "Begitu ya? Aku harap kau segera menemukannya, Banny, karena acara itu tinggal hitungan hari."
"Ya, Tuan Putri," sahut Aurora, salah satu petinggi peri. "Penobatan ini juga berarti kami tidak bisa tinggal di istana lagi dan tidak bisa mendampingi Anda di sini."
"Maka dari itu, temukanlah partner yang tepat. Seseorang yang bisa dipercaya dan cocok untuk bekerja sama dengan Anda," tambah Psyche, peri lainnya.
"Kalian tidak perlu pergi," ucap Banny tiba-tiba, membuat mereka terkejut.
"Ta... tapi, Tuan Putri, tugas kami sudah selesai. Kami tidak bisa tinggal di sini tanpa alasan," jawab Aurora ragu-ragu.
"Aku mengizinkan kalian tinggal di istana peri ini," kata Banny tegas.
Ketiga peri itu saling pandang, lalu serempak berkata dengan penuh rasa hormat, "Terima kasih, Tuan Putri."
Banny hanya mengangguk singkat. "Hmm."
❄️
Di Taman
Setelah makan pagi, Banny menuju taman untuk melanjutkan tugasnya. Ia duduk di bawah pohon rindang, dikelilingi buku-buku kehidupan yang melayang di udara.
"Kapan tugasku selesai sih," keluhnya. "Tadi malam aku sampai tidak tidur, tapi kenapa rasanya ini nggak berkurang-berkurang?"
"Itu karena kamu suka menunda-nunda pekerjaan," jawab sebuah suara tiba-tiba.
"Uwakhh!" Banny terkejut sampai-sampai ia melempar bukunya. Untung saja buku kehidupan itu langsung menghilang sebelum menyentuh tanah. "Michael!"
Michael tertawa kecil. "Hahaha, maaf, maaf. Aku cuma bercanda."
"Aku nggak pernah menunda pekerjaan, tahu!" bantah Banny, kesal.
"Benarkah?" Michael memancing sambil tersenyum jahil.
"Ya!"
"Bagus kalau begitu. Soalnya, kalau kamu sibuk, tugasku jadi lebih ringan. Hahaha," ledek Michael, membuat Banny semakin kesal.
"Kau ini ya!" gerutu Banny.
Michael hanya tertawa, lalu duduk di samping Banny, memperhatikannya bekerja dengan serius.
"Kerjakan tugasmu sendiri," tegur Banny tanpa menoleh.
"Oh iya, iya. Aku mau kerjakan kok," jawab Michael cepat, menyadari dirinya melamun.
Keduanya pun fokus dengan tugas masing-masing. Namun, kelelahan membuat Banny akhirnya tidak bisa menahan kantuknya.
Klukk.
Michael terkejut saat merasakan sesuatu bersandar di bahunya. Buku kehidupan Banny menghilang, tersimpan otomatis.
"Capek sekali, ya?" gumam Michael pelan. Ia menatap Banny yang tertidur di bahunya, lalu menepuk kepalanya dengan lembut. "Kau terlalu memaksakan diri, Azura."
Michael melanjutkan pekerjaannya, membiarkan Banny tidur. Namun, lama-kelamaan, kantuk pun menyerangnya. Ia bersandar ke pohon dan ikut tertidur.
❄️🪶
Beberapa Jam Kemudian
Sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan membangunkan Michael.
"Sudah siang rupanya," gumamnya sambil melihat waktu melalui energi sihirnya. "Tiga jam dia tertidur."
Ia menoleh ke arah Banny yang masih tidur nyenyak, kemudian mencubit pipinya pelan. "Bangun, Azura."
"Unghh... bentar, Kakak," gumam Banny setengah sadar.
Crangg!
Michael merasakan hatinya seperti pecah mendengar panggilan itu. 'Kakak? Al? Aku ingin membunuhnya!' batinnya dipenuhi api cemburu.
Lima menit berlalu, namun Banny tetap tidak bangun. Ia malah berpindah posisi, memeluk lengan Michael erat-erat.
'Sejak kapan bantalku bau Michael?' pikir Banny yang setengah sadar. Ia mendekatkan hidungnya ke leher Michael, mengendus aroma khasnya.
"Ge... geli, Azura," lirih Michael, suaranya bergetar.
Banny akhirnya tersadar. Matanya terbuka lebar, dan ia langsung mundur menjauh. "Uwakhh!" serunya, wajahnya memerah karena malu.
Michael memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang merah padam.
"Tadi aku ngapain, ya?" tanya Banny, bingung dan malu.
Michael mendekatkan wajahnya ke leher Banny dan menghembuskan napas pelan.
"Hii! Geli tahu!" protes Banny, semburat merah muncul di pipinya.
"Tadi kau melakukan itu ke aku," balas Michael santai.
"Heh?!" Wajah Banny semakin memerah. "Maaf! Aku tidak sadar!" katanya panik, sampai-sampai bersujud di depan Michael.
Michael menarik napas panjang. "Azura..."
"Iya?" Banny menegakkan badannya.
Tiba-tiba, Michael memeluknya erat. "Katanya nggak boleh dekat-dekat, tapi tadi itu sudah lebih dari dekat, loh."
"Aku kan nggak sadar! Itu tadi refleks!" bela Banny.
Michael tersenyum kecil. "Kau tahu, Azura, kadang aku bisa gila karena ulahmu."
"Udah! Lepas! Aku nggak nyaman!" Banny mencoba melepaskan diri.
"Nanti," jawab Michael santai.
Banny pun menemukan cara. Ia meniup pelan telinga Michael.
"Fuu..."
Michael langsung terkejut, pelukannya mengendur, dan Banny menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
"Dah!" seru Banny sebelum menghilang dengan sihirnya.
Michael menggeleng sambil tersenyum. "Kau mulai nakal ya, Azura."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fairy Queen
FantasyAku, seorang anak dari Dewa Kehidupan, harus menjalani reinkarnasi ke Alam Peri dan hidup sebagai seorang putri di sana. "Hah... pasti merepotkan," ujarku dengan nada malas. Bagaimana kelanjutan hidup anak Dewa Kehidupan ini? Apa yang membuatnya sel...