Selepas dari panti Laras dan Reno berada berdua di dalam kamar, posisi mereka saling berhadapan, Laras yang terus tersenyum sedangkan Reno menatap serius sang istri. Mata mereka saling pandang seperti sedang melakukan pembicaraan padahal mulut mereka diam seperti lem.
"Sejak kapan?" Akhirnya Reno membuka pembicaraan, dia bertanya sambil menatap perut sang istri.
Laras yang tahu arah pembicaraan mereka ke mana mengusap sayang perutnya, dan juga melihat perut datar yang belum membucit, Laras tak tahu apa yang akan terjadi seterusnya. Bagiamana dengan kuliah? Bagaimana cara dia menjelaskan pada orang-orang nanti.
Laras takut dianggap hamil diluar nikah, dan akan mendapat omongan buruk dari beberapa mahasiswa atau dosen, dia takut sahabat-sahabat seperti Rani akan meninggalkan dirinya, dan yang lebih dia takutnya adalah Reno, dia takut Reno akan dikeluarkan dari kampus gara-gara menikah dengan mahasiswa.
Tapi, sepengetahuan Laras tak ada larangan mahasiswa pacaran maupun menikah dengan dosennya sendiri, asal sewaktu di kampus bersikap selayaknya mahasiswa dan dosen tak lebih dari itu. Ah! Sungguh sangat rumit bukan?
Laras juga memikirkan pasti yang mengidolakan Reno akan mundur secara perlahan, dan Buk Nisa yang caper itu nggak bakal cari perhatian lagi sama suaminya. Ternyata ada manfaatnya juga, dengan begitu dia bisa memilih Reno tanpa merasa takut ketahuan siapapun.
'Masah bodoh! Mau nggak diterima, mau dikucilkan, yang jelas aku istri Reno secara sah, dan ini bukan anak haram ... ini buah cinta kami,' batin Laras menguatkan diri.
Laras mengangkat kepala, menatap Reno dengan senyum terbit di sudut bibirnya. "Kemarin, sewaktu A'a pingsan," ucap Laras.
Reno manggut-manggut mengerti apa yang Laras bilang, berarti dia melewatkan hal berharga kemarin hanya gara-gara cemburu nggak jelas.
Reno mendekat, dia terharu. Ingin mengelus perut Laras, ingin merasakan buah cintanya tumbuh di dalam, namun belum sempat menyentuh Laras menepis tangan Reno agak kencang sehingga membuat laki-laki itu gak jadi menyentu perutnya, Laras menatap.
"Kemarin kenapa A'a ke bar? Mana mabuk-mabukan lagi, kata Mama A'a juga pulang diantar sama wanita." Mata wanita itu sudah berapi-api.
Reno men'desah dalam diam, mengapa pula mamanya harus lapor segala sama Laras, berharap wanita ini melupakan tentang kemarin ternyata sia-sia, ada yang memprovokasi mereka ternyata, mamanya memang penghianat sesungguhnya.
"Hem ... itu tak seperti yang kamu pikirkan, Sayang, A'a bisa jelasin." Reno berusaha menyela.
Hendak memegang tangan Laras, lagi-lagi tak bisa kerena wanita itu menjauhkan tangannya dari jangkauan Reno.
"Oh, enggak seperti yang Laras pikirkan!" Laras memegang baju yang ada di pindah agak ke bawah. "Ini apa? Bekas gula? Tapi gula nggak merah, bekas darah? Tapi A'a tampak tak terluka, ditambah bentuknya bibir, pasti yang ningalin cantik ya, A'a?" Suara Laras sudah tak baik.
Laras bangkit dari ranjang, sebelum beranjak dari kamar dia berucap dengan nada tajam dan menusuk sampai jantung Reno.
"Mudah bangat ya, A'a! Marah-marah, terus pergi dari rumah, cari hiburan ke club' ... di sana banyak yang cantik-cantik kan?" Air mata sudah lolos satu titik di pelupuk mata.
"Aku—"
"Tak perlu, tak perlu jelaskan A'a, Laras tahu! Bahkan sangat tahu ... good bye A'a suami!"
Setelah mengatakan itu Laras meninggalkan Reno, Reno bangkit tanpa pikir panjang. Mengejar sang istri, memangil-mangil nama istrinya tersebut, Laras tetap tak berhenti.
Sesampainya di ruang tamu, semuanya menatap ke arah mereka bingung. Bingung kerena Laras dan Reno yang berkejar-kejaran.
"Pa, Ma, Laras pulang ya," pamitnya pada Elena dan Anton, lalu menatap Larasati dan Andreas.
"Ayok Ma, Pa, antar Laras pulang!" ajak Laras pada Papa dan mamanya.
"Re—"
"Ayok Pa, Laras capek, pengen istirahat ... Papa nggak kasihan sama cucunya?"
Andreas hanya bisa menuruti, setelah berpamitan mereka pergi. Reno yang ingin menghentikan Laras tidak bisa, kerena wanita itu tak ingin melihatnya tampaknya begitu.
Reno masih berdiri di ambang pintu, hanya melihat mobil Papa mertuanya yang sudah jalan. Elena dan Anto masih menunggu mobil Laras hilang, setelahnya mereka berbalik, dan menemukan Reno yang hanya diam.
"Kenapa masih diam? Sana kejar istri kamu, Mama nggak tahu ada masalah apa sama kalian berdua, Mama harap kamu bisa nyelesein ... Mama nggak mau gara-gara masalah ini membuat cucu Mama ikut terseret," bilang Elena menusuk.
Melihat Reno yang mendengar dan tidak melakukan perintah membuat Elena geram, dia mengambil sapu lidi yang entah sejak kapan berada di samping pot agak sedikit jauh, Elena datang dengan sapu lidinya.
"Masih belum jalan, mau Mama buat jadi perkedel kamu?!" Elena mengangkat sapunya.
Reno menarik napas letih, berjalan menuju mobilnya. Setelah itu mobil yang Reno kendarai mulai meninggalkan rumah mamanya.
***
Ini sudah dua hari semenjak pertengkaran mereka, Laras masih belum mau berbicara dengan dirinya, bahkan ketika memiliki kesempatan berdua selalu ada aja gangguan.
Seperti sekarang, wanita paru baya berjalan tergesa-gesa menuju Laras dan kemudian membawa Laras yang duduk di sofa sedang menonton, Reno yang ingin mendekati menjadi terhenti dan memilih duduk tak jauh dari sofa, hanya melihat saja.
Memang, Elena dan Larasati selaku kemari, dan membawa Laras secara paksa, bahkan tak dikembalikan pada Reno, jadilah Reno yang harus menjemput Laras. Mereka berdua selalu berganti jika ini giliran Elena besok pasti Larasati yang datang. Jadinya Reno merasa hidup seperti bujangan. Laras dimonopoli oleh kedua mamanya itu.
"Mama! Hari ini aja Laras sama aku ya, please," rengek Reno setelah mengejar mereka.
"Tidak bisa Reno, ini giliran Mama, kamu tahukan besok Laras harus sama mama mertuamu ... Mama nggak mau tahu, hari ini Laras sama Mama, kamu sama mang Mamat aja!"
Dengan begitu teganya, Elena menyuruh Reno bersama mang Mamat satpam sekaligus supir pribadi keluarga mereka.
"Mamaaa! Reno mohon, Mama nggak busa bahwa Laras begitu aja, Laras itu istri Reno, Reno lebih berhak!" kekuh Reno masih mempertahankan Laras.
"Aku gak mau sama A'a, aku mau ikut Mama aja!"
Jelas, bahkan sangat jelas. Perkataan Reno barusan bak tak ada artinya, orang yang diperebutkan dan dipertahankan olehnya malah memilih orang lain, hari Reno sakit. Dia terduduk, sambil memegang dada kirinya.
Elena yang melihat tingkah lebay sang putra, mencibir.
"Udah, nggak usah lebay! Kamu nggak bakal mati kan kalau sehari aja nggak ketemu Laras?" cibir Elena.
"Reno bakal mati mah, Mama tahu? Reno nggak bisa tidur kalau nggak dielus-elus Laras, Reno nggak bakal selera makan kalau nggak dimasakin Laras, Reno nggak selera ma ...." Terputus, Elena terlibat dahulu berucap tajam padanya.
"Yaudah nanti Mama kirim mang Mamat ke sini biar bisa bantu-bantu kamu, sekaligus gelonin kamu tidur!"
Setelah mengatakan itu Elena menarik Laras keluar, dan membawanya pergi dari rumah.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Dosen Killer
RomansaSinopsis Bagiamana dosen di kampusmu sendiri adalah suamimu? Dosen killer yang memegang mata pelajaran matematika itu adalah suamimu. Diusia yang menginjak angka 19 tahun seharusnya Laras harus menikmati masa mudanya. Namun, Lantas harus disibukkan...