[Dream House]

898 81 20
                                    

Bertahun-tahun berlalu Karina dan Jeno kini telah memiliki rumah sendiri di daerah perbukitan. Jeno membangun rumah impian sang istri diatas tanah warisan orangtuanya. Rumah diatas bukit yang menghadap ke timur dengan dua lantai dan tiga kamar tidur serta halaman belakang yang luas dan kolam renang di halaman depannya. Mereka bersama dengan kedua anaknya sudah menempati rumah tersebut hampir lima tahun.

Sejak pembahasan terakhir kali di rumah neneknya, Jeno terus mengkhawatirkan kesehatan mental dan batin Karina dan anak-anaknya, kemudian sampailah dia pada keputusannya untuk memiliki rumah sendiri.

Jeno sengaja memilih lokasi rumahnya jauh dari kota untuk mencegah keluarga besarnya datang berkunjung. Sejauh ini rencana Jeno berhasil karena selama ini tidak ada dari keluarganya yang datang ke rumahnya selain kedua orangtuanya, Tiffany dan Donghae.

Meskipun sedikit kesulitan untuk mengakses jalanan ke kota serta rumah dengan para tetangga berjauhan tapi kehidupan mereka bahagia. Mereka bahagia walau hanya berempat saja.

Hanna yang kini berusia tiga belas tahun dan adiknya, Hajoon berusia sepuluh tahun. Dua anak remaja itu tumbuh dengan sangat bertolak belakang.

Hanna lebih menyukai kegiatan di luar ruangan yang melatih fisiknya sementara Hajoon lebih tertarik pada hal-hal berbau sains. Hanna percaya pada keberadaan alien sedangkan bagi Hajoon alien itu omong kosong. Hajoon tidak akan percaya sampai dia membuktikannya dengan mata kepalanya sendiri.

"Hannnnaaaaaa buruan dong! Nanti kita telat"

"Iyaaa sabar, Ma kaus kaki alien aku yang kanan mana ya?"

Karina yang lagi mengaduk kopi di dapur sedikit menyembulkan kepalanya dari balik dinding. "Ambil kaus kaki yang lain aja di lemari"

Hanna keluar dari kamarnya lalu menuruni setengah anak tangga. "Tapi Ma, kaus kaki alien itu kaus kaki keberuntungan aku, hari ini aku ada pertandingan taekwondo jadi harus pake kaus kaki itu"

"Hanna cepet dong, lambat banget kayak siput"

Hanna memicingkan matanya menatap anak laki-laki yang berdiri di ujung tangga.

"Panggil aku kakak, walaupun badanku lebih kecil dari kamu tapi aku lebih tua" protes Hanna

"Mana ada kakak sifatnya kayak kamu"

"Mamaaaa liat Hajoon"

"Anak-anak kita berangkat lima menit lagi" ucap Jeno keluar dari kamar di lantai bawah

Hanna menghela napas pelan. "Gara-gara Papa bangun rumah di tengah hutan kita harus berangkat pagi-pagi buta supaya gak telat sampe ke sekolah"

"Ini bukan hutan tapi perbukitan, daerah dataran tinggi" sahut Hajoon

"Bagi aku sama aja, ada banyak pohon di kiri dan kanan gak ada bedanya dengan hutan" balas Hanna

"Kamu bodoh gak pernah belajar"

Hanna berdiri berkacak pinggang menatap sang adik. "Aku juara sepuluh besar di kelas kalau kamu lupa"

"Aku ada di tiga besar, tujuh tingkat diatas kamu"

"Lee Hajoon, peringkat kelas itu gak ada artinya, sepinter apapun kamu gak ada gunanya kalau kamu gak bisa menunjukkan empati ke sesama manusia"

"Perlu diralat, aku kayak gini cuma ke kamu"

"PAPA LIAT HAJOON" teriak Hanna menghentak-hentakkan kakinya

Karina hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis, setiap pagi hari beginilah suasana di rumahnya.

"Anak-anak waktu kalian tersisa tiga menit" ucap Jeno

"Aku udah selesai" jawab Hajoon

"Sebentar, tunggu aku" seru Hanna sembari berlari kembali ke kamarnya

My Stranger Husband || Jenrina ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang