Hari-hari terus berjalan, dan semakin lama, Erlin mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hubungannya dengan Leony. Meskipun mereka sering bercanda dan bersikap seperti biasa, ada hal-hal kecil yang semakin memperkuat perasaan Erlin bahwa Leony menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian seorang teman.
Siang itu, setelah jam sekolah selesai, Erlin sedang menunggu Leony di depan gerbang sekolah. Biasanya, Leony yang menunggu Erlin karena jadwal kelas Erlin lebih lama. Namun, hari ini sebaliknya—Erlin sudah menyelesaikan kegiatannya lebih dulu, sementara Leony sedang sibuk di ruang OSIS.
Erlin mengingat bagaimana Leony selalu ada untuknya, baik saat ia membutuhkan bantuan maupun sekadar teman ngobrol. Perhatian Leony memang luar biasa. Bahkan ketika mereka bersama, ada beberapa momen yang membuat Erlin merasa berbeda—seperti saat Leony memberikan perhatian kecil yang sangat hangat, seperti sentuhan lembut di bahu atau tatapan penuh pengertian.
Sambil menunggu, Erlin membuka pesan di ponselnya, dan lagi-lagi menemukan pesan-pesan perhatian dari Leony. Semuanya sederhana, tapi penuh makna. Erlin mulai menghubungkan titik-titik itu, mencoba merenungi apa sebenarnya yang Leony rasakan terhadapnya.
"Kenapa Kak Leony begitu perhatian ya?" gumam Erlin pada dirinya sendiri, sambil menatap layar ponselnya. "Apa mungkin... dia punya perasaan lain?"
Pikirannya terus berputar, mengingat setiap momen kebersamaan mereka. Erlin mulai mengingat hal-hal kecil yang pernah terjadi—bagaimana Leony selalu mencari-cari alasan untuk bertemu, bagaimana dia selalu memastikan Erlin baik-baik saja, dan bagaimana tatapan Leony kadang lebih intens daripada yang seharusnya.
Saat itu, Leony muncul dari arah gedung OSIS, berjalan menuju Erlin dengan senyumnya yang khas. "Maaf ya, nunggu lama?" tanyanya, tanpa menyadari pergolakan di hati Erlin.
Erlin tersenyum kecil dan menggeleng. "Enggak kok, Kak. Aku juga baru aja sampai."
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju parkiran sepeda motor. Sepanjang jalan, Erlin sesekali melirik Leony, mencoba mencari tanda-tanda yang bisa mengonfirmasi dugaannya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Erlin merasa lebih peka terhadap sikap Leony, dan setiap hal kecil yang Leony lakukan semakin membuat hatinya berdebar.
Mereka berhenti di dekat motor Leony. Sebelum naik, Leony menoleh ke Erlin. "Lo mau gue anter pulang nggak hari ini?"
Erlin terdiam sejenak, merasa pertanyaan itu berbeda dari biasanya. "Boleh, Kak," jawabnya akhirnya.
Di perjalanan pulang, suasana hening sejenak. Erlin duduk di belakang, memegang erat pinggang Leony, dan merasakan detak jantungnya semakin cepat. Pikiran-pikiran tentang perasaan Leony terus berputar di kepalanya. Erlin tak bisa menahan perasaan aneh yang semakin kuat. Semakin lama mereka bersama, semakin jelas bahwa perhatian Leony bukan perhatian biasa.
Setelah beberapa menit, Erlin memecah keheningan. "Kak, gue pengen nanya sesuatu."
Leony menoleh sedikit ke belakang, meski tetap fokus pada jalan. "Apa?"
Erlin ragu sejenak, tapi ia merasa perlu menanyakan ini. "Kak Leony... pernah ngerasain sesuatu yang beda nggak, kalau kita lagi bareng?"
Leony sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Beda gimana maksudnya?"
"Ya... aku nggak tahu, kayak... kita sering banget bareng, dan aku ngerasa Kakak perhatian banget sama aku. Kakak... Kakak ngerasa ada yang lebih dari temen nggak?" tanya Erlin dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang hanya mereka berdua bisa dengar di tengah deru motor yang melaju.
Leony terdiam. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti perasaannya, dan meski ia sudah berusaha keras menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan, sekarang Leony tahu bahwa Erlin juga mulai merasakan sesuatu.
"Kenapa lo nanya gitu, Dek?" jawab Leony, suaranya terdengar tenang meski dalam hatinya bergolak.
Erlin tidak langsung menjawab. Ia hanya bisa menghela napas panjang, merasa campur aduk dengan segala perasaan yang mulai ia sadari. Setelah beberapa saat, ia menjawab, "Aku cuma ngerasa, Kak. Kayaknya aku tau apa yang Kakak rasain ke aku."
Leony masih terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia ingin mengungkapkan segalanya, tapi di sisi lain, ia takut hal ini akan mengubah segalanya antara mereka.
Erlin menyadari keheningan Leony dan menambahkan, "Aku nggak minta Kakak jawab sekarang, Kak. Aku cuma pengen Kakak tau, aku mulai nyadar ada sesuatu di antara kita. Mungkin aku juga nggak siap nerima jawabannya sekarang."
Leony hanya bisa mengangguk perlahan, meski Erlin tidak bisa melihatnya dari belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tapi keduanya memilih menahan diri—menyadari bahwa hubungan mereka akan berubah, dan mereka perlu waktu untuk benar-benar memahami perasaan masing-masing.
Ketika mereka sampai di rumah Erlin, Leony memberhentikan motornya. Erlin turun, tapi sebelum pergi, ia menatap Leony dalam-dalam.
"Kak," Erlin memulai, "apapun yang terjadi nanti, ak berharap kita tetap bareng-bareng kayak sekarang."
Leony tersenyum tipis, meski matanya penuh dengan perasaan yang terpendam. "Gue juga berharap yang sama, Dek."
Dengan itu, Erlin masuk ke rumahnya, sementara Leony duduk sejenak di atas motornya, memandangi punggung Erlin yang semakin jauh. Ada rasa lega dan takut yang bercampur di hatinya—lega karena Erlin mulai menyadari, tapi juga takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPESONA (GXG)
FanfictionDi tengah hiruk-pikuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang penuh dengan kegembiraan dan kebisingan, Leony, ketua OSIS kelas XII yang terkenal pintar tapi sangat cuek, merasakan sesuatu yang berbeda ketika bertemu dengan Erlin, siswa baru k...