Di pagi yang tenang di kampung halaman mendiang ayah Leony, suasana sejuk mengelilingi rumah kayu yang menjadi tempat tinggal mereka selama liburan. Leony dan Erlin, dengan senyuman di wajah mereka, duduk di dapur sederhana, menyiapkan sarapan bersama. Meskipun hanya memasak nasi goreng dan telur dadar, kebersamaan mereka membuat aktivitas ini terasa lebih istimewa.
"Kak, coba deh kamu potong tomatnya lebih kecil biar campuran sayurnya lebih rata," kata Erlin sambil tersenyum, mencoba memberikan tips pada Leony.
Leony tertawa kecil, "Ya, ya, aku tahu, kok. Kamu tuh kayak chef aja," balasnya sambil dengan hati-hati memotong tomat sesuai arahan Erlin.
Setelah selesai menyiapkan sarapan, mereka membawa piring-piring ke teras, tempat favorit mereka untuk makan bersama, dengan pemandangan sawah yang hijau membentang di depan mereka.
Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampung, menjelajahi setiap sudut yang penuh kenangan bagi Leony. Mereka berjalan melewati jalan setapak yang sempit, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan suara burung yang berkicau merdu.
Leony berhenti sejenak di dekat sebuah sungai kecil. “Di sini, aku dulu sering bermain bareng teman-teman. Kita bikin kapal-kapalan dari daun pisang dan adu cepat siapa yang sampai di jembatan kecil itu duluan,” Leony bercerita sambil menunjuk sebuah jembatan tua yang melintang di atas sungai.
Erlin tersenyum mendengarkan cerita itu. "Kamu pasti banyak punya kenangan di sini ya."
Leony mengangguk. “Iya, banyak banget deh pokoknya. Dulu sebelum pindah ke Jakarta, aku sering main di sini dengan Rian dan Ayah,” katanya, matanya terlihat menerawang mengingat masa lalu. “Ayahku... dia selalu meluangkan waktu untuk kami meski sibuk bekerja di ladang.”
Setelah hening sejenak, Leony melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, “Hari itu... hari ulang tahun Rian. Rian meminta ayah untuk membelikannya mainan robot sebagai kado ulang tahunnya. Aku ingat bagaimana Rian begitu senang dan terus memohon, dan akhirnya ayah pergi ke kota untuk membelikannya. Tapi, di jalan pulang... ayah mengalami kecelakaan. Sebuah truk tergelincir dan menabrak motornya.”
Erlin terdiam, memandang Leony dengan empati. “Aku... aku turut berduka, Kak. Pasti sangat sulit buat kalian pada saat itu.”
Leony mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Iya, sangat sulit. Sejak itu, ibu mutusin buat pindah ke Jakarta, mencari kehidupan yang lebih baik buat kami. Itulah kenapa kami meninggalkan kampung ini. Tapi, di sini... di sinilah semua kenangan indah bersama ayah masih tersimpan.”
Erlin menggenggam tangan Leony, memberikan dukungan dan rasa nyaman. “Aku bersyukur kamu berbagi cerita ini sama aku. Aku bisa ngerasain betapa berartinya kenangan-kenangan itu buat kamu, Kak.”
Leony tersenyum kecil, “Terima kasih, Dek. Aku hanya ingin kamu tahu semuanya tentang aku. Tentang masa lalu, kenangan, dan kehilangan yang pernah kualami.”
Mereka kemudian melanjutkan berjalan, menikmati keindahan kampung dengan suasana yang lebih tenang dan damai. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat, memperkuat ikatan di antara mereka, serta membuat mereka semakin memahami satu sama lain. Meski Rian tidak ada di sana bersama mereka, kebersamaan Leony dan Erlin cukup membuat momen ini terasa penuh makna dan kebahagiaan.
Di penghujung hari, ketika matahari mulai tenggelam di balik bukit, mereka kembali ke rumah dengan hati yang lebih tenang dan ikatan yang semakin kuat. Leony merasa bahwa dengan Erlin di sisinya, dia bisa menghadapi masa depan, apapun itu, dengan lebih kuat dan yakin.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPESONA (GXG)
FanfictionDi tengah hiruk-pikuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang penuh dengan kegembiraan dan kebisingan, Leony, ketua OSIS kelas XII yang terkenal pintar tapi sangat cuek, merasakan sesuatu yang berbeda ketika bertemu dengan Erlin, siswa baru k...