Setelah beberapa minggu berjuang menyeimbangkan antara tugas sekolah dan kehidupan pribadi, situasi mulai memburuk. Erlin dan Leony semakin jarang bertemu, bahkan komunikasi di antara mereka mulai renggang. Leony sering kali kelelahan karena rutinitasnya yang padat, sementara Erlin merasa terabaikan dan kesepian.
Pada suatu hari, Leony terlambat untuk menemui Erlin yang sudah menunggunya di kafe dekat sekolah. Mereka berencana untuk mengerjakan tugas bersama, tetapi Leony terjebak dalam sesi bimbingan belajar tambahan yang tidak direncanakan. Erlin duduk di meja kafe sambil menatap jam tangannya berkali-kali. Waktu terus berjalan, dan Leony tidak juga muncul.
Saat Leony akhirnya tiba dengan napas terengah-engah dan wajah penuh penyesalan, Erlin sudah berada di puncak kesabarannya.
"Maaf, Dek. Aku—" Leony mulai berbicara, tapi Erlin segera memotong.
"Kak, ini sudah kesekian kalinya Kakak telat datang. Aku merasa seperti tidak ada di daftar prioritasmu lagi," ujar Erlin dengan nada suara yang tenang tapi penuh kekecewaan.
Leony mencoba menjelaskan, "Aku terjebak di bimbingan belajar tambahan. Aku bukan sengaja ingin terlambat. Aku benar-benar minta maaf."
Namun, Erlin sudah terlanjur marah dan kecewa. "Aku ngerti Kakak sibuk, tapi kita hampir tidak pernah punya waktu bersama lagi. Kakak selalu ada aja alasan. Aku merasa seperti kita semakin jauh. Apakah Kakak masih ingin ngelanjutin hubungan ini?"
Pertanyaan Erlin membuat Leony terdiam sejenak. Dia tahu bahwa kesibukannya mempersiapkan ujian telah menghabiskan banyak waktu dan energi, tetapi dia tidak menyadari seberapa besar hal itu memengaruhi Erlin.
"Of course I do. Tapi aku juga butuh waktu untuk belajar. Aku hanya butuh kamu mengerti," balas Leony, sedikit frustrasi.
Erlin menggeleng, "Aku mencoba mengerti, tapi rasanya kamu nggak pernah nyoba untuk ngertiin posisiku. Hubungan ini bukan hanya tentang satu orang, Kak."
Pertengkaran mereka semakin memanas, dan suasana di kafe mulai tidak nyaman. Orang-orang mulai menoleh ke arah mereka, merasa terganggu oleh pembicaraan keras tersebut. Merasa emosi, Erlin akhirnya bangkit dari kursinya.
"Kalau begitu, mungkin kita butuh waktu untuk sendiri dulu. Aku butuh waktu untuk berpikir," ucap Erlin sebelum berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Leony yang terdiam.
Leony duduk kembali di kursinya, merasakan campuran perasaan antara marah, sedih, dan bingung. Dia tidak menyangka perbedaan pandangan mereka bisa memicu krisis sebesar ini. Dia merasa kehilangan kontrol atas situasi, dan ketakutan mulai merayapi pikirannya—apakah ini akhir dari hubungan mereka?
Hubungan mereka yang sebelumnya begitu kuat kini diuji oleh ombak besar. Mereka harus memutuskan apakah mereka mampu melewati ini bersama atau harus mengambil jalan masing-masing.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPESONA (GXG)
أدب الهواةDi tengah hiruk-pikuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang penuh dengan kegembiraan dan kebisingan, Leony, ketua OSIS kelas XII yang terkenal pintar tapi sangat cuek, merasakan sesuatu yang berbeda ketika bertemu dengan Erlin, siswa baru k...