Keesokan harinya setelah kejadian di depan rumah nenek, Leony dan Erlin memutuskan untuk pergi ke sawah bersama Rian. Mereka ingin menikmati suasana pedesaan yang tenang, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk masalah yang sempat mengganggu ketenangan mereka. Udara pagi yang segar dan pemandangan hijau yang luas membuat mereka merasa sedikit lebih ringan.
Leony dan Erlin berjalan di pematang sawah, tangan mereka saling menggenggam erat. Mereka berbicara pelan, membicarakan tentang perasaan mereka setelah insiden dengan Dimas. "Aku masih sedikit terganggu dengan apa yang terjadi kemarin," kata Leony sambil menatap ke depan. "Tapi aku merasa lebih baik setelah berbicara denganmu, Erlin."
Erlin mengangguk setuju, memberikan senyum lembut kepada Leony. "Aku di sini untukmu, Leony. Kita bisa melalui ini bersama."
Namun, ketenangan pagi itu segera terusik saat mereka mendengar suara gaduh di dekat mereka. Rian, yang berjalan sedikit lebih jauh di depan, tiba-tiba berhenti dan menatap ke arah jalan setapak yang mengarah ke sawah. Di sana, Dimas kembali muncul, kali ini dengan ekspresi yang tampak lebih keras dan tekad.
"Lo mau apa hah?" tanya Rian dengan nada tajam, melangkah maju untuk menghadapi Dimas.
Dimas menatap Rian dengan serius. "Aku nggak mau bikin masalah, Rian. Aku cuma ingin bicara dengan Leony sekali lagi."
"Nggak ada yang perlu dibicarain lagi, Bang!" balas Rian, nadanya semakin tegas. "Lo udah bikin cukup banyak keributan kemarin."
Suasana semakin tegang ketika Dimas mulai melangkah maju. Rian, yang tidak terima dengan kehadiran Dimas, segera menahan langkahnya dan mulai mendorongnya menjauh. "Pergi lo dari sini!"
Pertengkaran fisik hampir terjadi ketika seorang bapak-bapak petani yang sedang bekerja di sawah dekat mereka melihat situasi tersebut dan segera melerai. "Hei, kalian berdua! Jangan membuat keributan di sini!" teriak si bapak petani sambil berlari ke arah mereka.
Bapak petani itu segera menarik Rian ke arah yang berlawanan, mencoba menenangkannya. "Sudah, sudah. Jangan seperti ini. Ini bukan cara yang baik untuk menyelesaikan masalah."
Rian yang masih marah, berusaha untuk tenang, namun matanya masih menatap tajam ke arah Dimas. Teman-teman lamanya yang berada di sekitar sawah segera datang dan membawa Rian ke sebuah saung untuk menenangkannya. "Sudah, Rian. Jangan diperpanjang lagi. Ayo kita duduk dulu di sana," kata Ferdi, salah satu teman Rian.
Leony dan Erlin yang menyaksikan kejadian tersebut dari kejauhan, merasa cemas tetapi juga merasa lega saat melihat Rian dibawa pergi untuk ditenangkan. Leony memutuskan untuk berbicara dengan Dimas untuk terakhir kalinya, kali ini dengan lebih tenang.
"Just enough!" kata Leony dengan tegas, tetapi lembut. "Aku sudah memberikan jawabanku kemarin. Kita harus melangkah maju di kehidupan kita masing-masing."
Dimas menatap Leony, seolah ingin berkata lebih banyak, namun dia tahu bahwa Leony telah membuat keputusan. Dengan berat hati, Dimas mengangguk dan pergi tanpa kata-kata lebih lanjut.
Setelah situasi mereda, Leony dan Erlin kembali ke saung di mana Rian duduk bersama teman-temannya. Mereka berbicara dengan Rian dan teman-temannya, mencoba mengembalikan suasana menjadi lebih santai. Mereka tahu bahwa persahabatan dan dukungan dari orang-orang terdekat akan selalu membantu mengatasi segala tantangan yang datang.
Dua Minggu Kemudian
Liburan mereka di kampung halaman akhirnya mendekati akhir. Dua minggu telah berlalu dengan cepat, diisi dengan berbagai kenangan indah dan pengalaman berharga. Leony, Erlin, dan Rian kini sibuk mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta.
Pagi itu, mereka mengunjungi pasar tradisional di kampung untuk membeli oleh-oleh. Mereka memilih berbagai camilan khas seperti keripik singkong, opak, dan rengginang, serta pernak-pernik cantik buatan tangan yang menjadi ciri khas kampung tersebut. Mbah Karsini ikut membantu memilih oleh-oleh, sambil berbagi cerita lucu tentang masa kecil Leony dan Rian.
"Erlin, kamu harus coba opak buatan ibu Siti ini. Dari dulu, rasanya tidak pernah berubah," kata Mbah Karsini sambil tersenyum.
Erlin mengangguk dan mengambil satu bungkus opak dari meja dagangan. "Terima kasih, Mbah. Aku akan coba. Kelihatannya enak sekali."
Setelah puas berbelanja oleh-oleh, mereka kembali ke rumah nenek untuk menyelesaikan pengepakan. Suasana rumah nenek pagi itu terasa sedikit haru. Mbah Karsini membantu memasukkan oleh-oleh dan barang-barang lain ke dalam koper, sementara Leony dan Rian memastikan semua sudah tertata rapi.
"Kamu akan kembali lagi, kan?" tanya Mbah Karsini pada Leony sambil memeluknya.
Leony mengangguk, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Pasti, Mbah. Aku akan selalu kembali. Ini rumahku."
Erlin yang melihat momen itu, ikut merasa haru. Ia tersenyum dan menggenggam tangan Leony, memberikan dukungan penuh. "Aku juga akan kembali bersama Leony, Mbah. Terima kasih banyak atas semuanya."
***
Keesokan harinya, mereka siap untuk kembali ke Jakarta. Dengan perasaan campur aduk, mereka mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga dan tetangga di kampung. Mereka berangkat dengan mobil menuju stasiun terdekat, diiringi lambaian tangan dari Nyai Rahma dan beberapa kerabat.
Di perjalanan, Leony duduk di samping sopir, sementara Erlin dan Rian duduk di belakang. Mereka semua merasa lega dan puas dengan liburan yang telah mereka lalui, meskipun penuh dengan beberapa tantangan. Leony memandang Erlin dan Rian melalui kaca spion, tersenyum melihat mereka berdua berbicara dengan penuh semangat tentang rencana mereka setelah kembali ke Jakarta.
"Liburan kali ini benar-benar berkesan," kata Leony pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Erlin yang mendengar itu hanya bisa mengangguk, setuju sepenuhnya. "Iya, dan aku sangat berterima kasih bisa menjadi bagian dari semua ini, Leony."
Dengan perjalanan pulang yang panjang di depan mereka, Leony, Erlin, dan Rian menyadari bahwa liburan ini telah membawa mereka lebih dekat satu sama lain dan memberikan mereka kekuatan baru untuk menghadapi masa depan bersama.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPESONA (GXG)
FanficDi tengah hiruk-pikuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang penuh dengan kegembiraan dan kebisingan, Leony, ketua OSIS kelas XII yang terkenal pintar tapi sangat cuek, merasakan sesuatu yang berbeda ketika bertemu dengan Erlin, siswa baru k...