Liburan yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian tiba-tiba terganggu oleh kehadiran seseorang dari masa lalu Leony. Saat itu, Leony dan Erlin sedang duduk di teras belakang rumah nenek, menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan pedesaan yang asri. Nenek mereka sedang berjalan-jalan dengan Rian di sekitar halaman depan rumah.
Di depan rumah, suasana berubah ketika seorang lelaki datang dengan wajah penuh harap dan sedikit gugup. Dia adalah Dimas, seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Leony.
Rian, yang baru saja melihat Dimas mendekat, langsung bereaksi. “Bang Dimas? Ngapain lo kesini?” Rian bertanya dengan nada tegas dan sedikit marah.
Dimas tampak canggung, tapi dia berusaha tetap tenang. “Aku dengar Leony ada di sini. Aku cuma ingin bicara dengannya, Dek. Sekali aja.”
Rian mengerutkan alisnya, mmelindungi Mbah Karsini yang juga merasa sedikit terkejut. “Nggak ada yang perlu dibicarain sama dia. Udah cukup! Kami sudah nggak mau ada urusan sama lo lagi!” Rian menolak dengan tegas.
Dimas mencoba mendekat, memohon dengan wajah penuh penyesalan. “Tolong, Rian. Aku hanya ingin meminta maaf. Aku ingin menjelaskan semuanya.”
Namun, Rian tak memberikan sedikit pun ruang untuk Dimas. “Lo udah bikin kesalahan besar, Bang. Lo bukan cuma nyakitin kakak gue, tapi juga keluarga kami, terutama hati Ayah yang udah terkubur di dalam tanah. Jadi, lebih baik lo pergi sekarang!” Rian berdiri di depan Dimas, menghalangi jalannya.
Dimas tidak mundur. Dia tetap berusaha mendekat, memohon dengan suara lebih keras, “Aku tahu aku salah! Tapi, biarkan aku bicara dengannya. Aku mohon!”
Pertengkaran mereka semakin memanas, menarik perhatian Leony dan Erlin yang masih berada di teras belakang. Leony menoleh, melihat ke arah depan rumah dan wajahnya langsung pucat ketika mengenali siapa yang berdiri di sana.
Flashback ON :
Leony sedang duduk di bangku sekolah, menunggu Dimas datang menjemputnya seperti biasa. Mereka sudah dekat sejak kelas 2 SMP dan hubungan mereka semakin serius ketika Leony naik ke kelas 3. Dimas adalah satu-satunya orang yang membuat Leony merasa nyaman saat itu, ketika semua orang di sekelilingnya mengharapkan hal yang berbeda darinya.
“Dimas, kamu janji ya setelah lulus SMP, kita menikah,” kata Leony sambil tersenyum malu-malu.
Dimas mengangguk mantap. “Iya, Leony. Aku janji. Aku akan selalu bersamamu.”
Namun, semua janji itu hancur ketika Leony secara tidak sengaja melihat Dimas bersama seorang gadis lain, Berliana, teman sekelas Rian, yang baru saja masuk kelas 1 SMP. Gadis itu tertawa manis, merangkul tangan Dimas, dan Leony hanya bisa berdiri di sudut jalan, terpaku melihat pemandangan itu. Hatinya hancur berkeping-keping.
Flashback OFF!
Wajah Leony menunjukkan campuran emosi antara kemarahan, kesedihan, dan ketidakpercayaan. Erlin yang berada di sebelahnya menyadari perubahan ini dan segera memegang tangan Leony, memberikan dukungan tanpa kata-kata.
“Kamu mau aku yang ngobrol sama dia?” Erlin bertanya lembut, melihat kekhawatiran di mata Leony.
Leony menggeleng perlahan. “Nggak, biar aku aja.”
Mereka berjalan menuju depan rumah, dengan Leony yang masih merasa emosinya campur aduk. Ketika Rian melihat Leony datang, dia langsung mendekati kakaknya, mencoba melindunginya. “Kak, jangan deket-deket. Dia udah gak ada urusan lagi sama lo!”
Leony menatap Rian dengan senyuman lemah. “Makasih, Dek. Gue tahu lo cuma pengen ngelindungin keluarga kita. Tapi biarin gue bicara sebentar.”
Dimas, yang melihat Leony mendekat, tampak semakin gugup dan penuh harap. “Leony, aku… aku minta maaf. Aku tahu aku salah waktu itu. Aku menyesal… sungguh menyesal.”
Leony menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dimas, aku sudah melupakan semua itu. Aku sudah move on. Kamu harus melakukan hal yang sama.”
“Tapi, Leony, aku...”
“Nggak ada 'tapi', Mas,” potong Leony dengan tegas. “Kita punya jalan masing-masing sekarang. Aku harap kamu bisa menghargai itu.”
Rian menambahkan dengan tegas sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah yang berlawanan, “Dan gue harap lo bisa pergi sekarang sebelum lo bikin keributan lagi di sini!”
Dimas menatap Leony untuk terakhir kali, melihat ketegasan dan kepastian di mata mantan pacarnya itu. Dia tahu tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Dengan berat hati, Dimas mengangguk pelan dan berbalik meninggalkan rumah Mbah Karsini.
Ketegangan perlahan mereda setelah Dimas pergi. Leony seketika menangis dipelukan Mbah Karsini. "Mbah," ucapnya sambil terisak.
"Gak apa-apa, Nduk. Dia udah gak ada lagi di sini. Jangan nangis yo, Nduk. Nanti hilang cantiknya," kata Mbah Karsini menenangkan cucunya.
Erlin berlari menghampiri Leony dan merangkulnya dengan lembut. “Kamu baik-baik aja?”
Leony segera mengelap air matanya dan mengangguk, meskipun hatinya sedikit tergores kembali oleh kenangan yang tiba-tiba muncul. “Iya, aku baik-baik saja. Aku hanya perlu waktu sejenak.”
Rian, dengan kekhawatiran masih terlihat di wajahnya, menambahkan, “Lo tahu kita selalu ada di sini buat lo, kan, Kak?”
Leony tersenyum hangat kepada adiknya. “Gue tahu, Dek. Makasih karena selalu ngelindungin gue ya.”
Mbah Karsini tersenyum dan berkata, "Ya udah kita masuk dulu ke dalam. Mbah mau bikinin kalian sayur asem. Mau kan?"
"Mau mau, Mbah!" seru Rian setelah mendengar satu menu favoritnya terucap.
Mereka segera masuk ke dalam rumah dan melupakan kejadian tadi. Momen ini menjadi salah satu ujian yang memperlihatkan ketahanan hubungan antara Leony dan Erlin. Melalui tantangan ini, mereka tidak hanya belajar lebih banyak tentang satu sama lain, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung dalam situasi apa pun yang muncul di masa depan.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPESONA (GXG)
FanfictionDi tengah hiruk-pikuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang penuh dengan kegembiraan dan kebisingan, Leony, ketua OSIS kelas XII yang terkenal pintar tapi sangat cuek, merasakan sesuatu yang berbeda ketika bertemu dengan Erlin, siswa baru k...