49. Menahan Rasa Sesak

1.1K 40 4
                                    

Karena desakan paman, akhirnya Vania memberikan nomor ponsel Edgar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena desakan paman, akhirnya Vania memberikan nomor ponsel Edgar. Usai panggilan berakhir, hatinya dipenuhi dengan rasa cemas.

Bagaimana bila nanti Edgar melakukan sesuatu yang tidak disukai paman?

Meski lelaki itu tidak melakukan apapun, Vania sudah bisa menebak bagaimana reaksi paman nanti ketika bertemu dengan Edgar. Apalagi jika sampai paman mengetahui kalau Edgar bukanlah lelaki seperti Fardan yang paham dengan agama.

Vania bolak-balik seperti setrika sambil menggigiti jemarinya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk dari luar.

Tok, tok, tok...

Tak berselang lama setelah suara ketukan itu, terdengar seseorang menyerukan nama Vania dengan intonasi tinggi dan tak sabaran.

“Vania!"

"Di mana kamu?!”

Panggilan itu masih diiringi dengan suara ketukan pintu. Yang membuat Vania lari tergopoh-gopoh untuk membuka pintu tersebut, setelah sadar siapa pemilik suara itu.

Begitu pintu terbuka, tampaklah sesosok wanita paruh baya yang menatapnya dengan nyalang.

"Aku perhatikan, setelah menikah kamu jadi pemalas ya! Dibiarin lama-lama tetap saja gak sadar diri. Kamu ini menikah bukan karena dicintai, bukan atas restu orang tua Edgar, tapi karena kesalahanmu! Harusnya kamu sadar diri kalau kamu hidup di sini cuma numpang, cuma jadi beban!”

"Di dapur itu banyak kerjaan. Bukannya kerja malah enak-enakan di dalam kamar," imbuh Naomi-sang mertua-dengan sewot.

"Cepat turun dan bantu bi Ita menyiapkan makanan. Sore nanti akan ada arisan di sini."

Vania tidak mungkin melawan, yang ada malah akan membuat nyonya Naomi semakin terbakar amarah. Lebih baik diam saja dan segera melaksanakan perintahnya.

Oleh sebab itu, Vania bergegas keluar kamar tanpa menjawab atau membela diri.

"Ini alasanku gak setuju kalau Edgar menikahi gadis miskin. Dia pasti cuma mau berleha-leha dan menikmati harta anakku saja!" Bahkan wanita itu masih saja mengomel saat Vania sudah berjalan menuruni tangga. Karena nyonya Naomi berada beberapa langkah di belakangnya, tentu saja ucapannya terdengar sampai ke telinganya.

'Sabar, Vania, bagaimanapun juga dia tetap mertuamu yang wajib kamu hormati, gumam gadis itu membatin.

Vania bersikap diam bukan karena tidak bisa atau tidak berani melawan dan membela dirinya. Bukan pula karena dia wanita yang lemah. Tapi karena dia ingin menghormati sang mertua.

Vania yakin jika suatu hari nanti Allah SWT akan meluluhkan hati sang mertua yang keras terhadapnya. Yang harus Vania lakukan adalah sabar dan melakukan yang terbaik.

"Awas ya kalau aku lihat kamu cuma duduk-duduk santai!" kecam sang mertua sebelum Vania melangkahkan kakinya memasuki dapur.

Gadis itu menoleh sekilas saat sang mertua memberi peringatan, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Gadis Bercadar Pembantu CEO TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang