#23# Sebuah Jurang

1.4K 138 4
                                    

Selama beberapa hari aku tidak melihat Jess di sekolah. Ohh, bagus sekali !
Setelah menyulut emosiku, ia bahkan seperti hilang ditelan bumi.

And why i'm getting upset like this ???
Mungkin kedengarannta konyol tapi sebenarnya aku berharap Jess memohon-mohon agar aku memaafkannya lagi.

Eh ?

Memangnya dia salah padaku ya ?
Tiba-tiba, pikiran itu membuatku tertegun.
Iya ya, apa sih yang salahnya padaku ? Kenapa aku harus marah padanya ?

Aku mulai mengintropeksi diri dan kelihatannya emosiku tidak stabil hingga aku marah pada Jess.

Btw, aku lupa menginfokan bahwa setelah pulang dari rumah Jess waktu itu. Keesokan paginya tubuhku berubah menjadi ideal walaupun masih kurang beberapa otot. Yah, itu bisa dilatih sih...

Di sekolah pun, para gadis-gadis mulai melirikku karena penampilanku hampir berubah drastis. Wajahku jadi termasuk kategori tampan bagi mereka.

Mereka mulai menanyakan apakah aku operasi plastik atau melakukan sedot lemak. Tapi, semuanya hanya kutanggapi dengan senyuman saja.

Aku sadar semua perubahanku adalah berkat Jess. Tidak seharusnya aku marah padanya tanpa alasan seperti itu.

Yah, mungkin ada baiknya kalau aku meminta maaf lebih dulu. Setidaknya aku berhutang banyak padanya.

Tapi, sejak hari itu ia absen sebulan dan guru pun terlihat tidak terlalu menghiraukannya. Mungkin karena Jess anak konglomerat, jadi peraturan longgar adalah hak istimewanya.

Apa sebaiknya aku mengunjunginya di rumah ? Ia bilang ia tidak pernah diizinkan keluar dari istananya itu.

Karena niat seperti itulah, kakiku melangkah ke rumah Jess lagi. Ada kegugupan yang mulai menjalariku karena biasanya kami akrab tapi sekarang kami malah tidak ada komunikasi selama sebulan.
Apa yang harus kukatakan padanya saat bertemu dengannya ???

Pelayan rumah Jess mengenali wajahku dan mempersilahkanku masuk.
Aku berjalan ke kamar Jess dan berdiri di depan pintunya dengan gugup. Tanganku mendingin.

Tok ! Tok ! Tok !

Aku mengetuk pintunya dan menunggu dengan hati berdebar.

"Masuk." suara Jess dari intercom mengejutkanku.

Aku masuk ke kamarnya dan Jess melihatku dengan tatapan terkejut. Matanya membelalak dan ia menegakkan tubuhnya seketika.

Aku hanya bisa menyunggingkan senyum canggung dan mengangkat sebelah tanganku.
"H..hai..."

"Dylan ! Astaga...kupikir kau tidak akan pernah ke si--- eh, tunggu dulu ! Bukannya kau marah padaku ?" Raut wajah Jess yang terkejut berubah menjadi tajam menyelidik.

"Eerr, kurasa itu cuma emosi sesaat, Jess. Karena itulah aku sebenarnya ingin mi...minta maaf padamu." Aku gugup. Ya, suaraku benar-benar gugup.

Jess hanya menatapku tanpa beranjak dari kursinya sama sekali.
"Ada apa ini ?"

Aku melongo mendengar pertanyaannya. Tidak mengerti apa dia bercanda atau serius sama sekali.

"Kau tidak mendengarku ? Kubilang aku minta maaf karena sudah marah-marah padamu." jelasku sekali lagi.
Jess terlihat mencerna kata-kataku.

"Baiklah, Dylan. Toh, aku juga sebenarnya tidak marah padamu. Aku hanya heran saja kenapa kau tiba-tiba marah padaku seperti itu. Kau tahu 'kan kalau yang mengatakanmu pelayan itu bukan aku ?" Jess terus saja berceloteh.

"Yah, tapi sebenarnya Dave juga tidak salah. Aku memang pelayanmu. Kau memberikan darahmu padaku dan aku berhutang padamu." jawabku.

"Dylan ! Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku tidak mengharapkan apapun darimu ! Kau tidak berhutang padaku sama sekali !" Jess memelototiku dan suaranya meninggi.

Aku hanya menghela napas dan melambaikan tanganku memintanya untuk lebih tenang. Aku duduk di depannya dan bingung harus bicara apa lagi.

"Jadi...bagaimana dengan hubunganmu dengan Dave ?" Aku berusaha mencari pertanyaan.

"Oh, please jangan mengungkit dia lagi. Dia sungguh membuatku kesal ! Setiap hari dia m---" kata-kata Jess terhenti lagi karena pintu tiba-tiba terbuka.

Dave masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu dan langsung menghampiri Jess yang terlihat seperti sudah tahu kedatangannya.

"Princess ! Bagaimana hari anda ? Saya kemari untuk mengajak anda minum teh bunga magnolia yang baru saja datang Perancis ! Apa anda tertarik ?" Lagi-lagi Dave menyunggingkan senyum yang menyebalkan. Jess tidak menoleh ke arahnya sama sekali.

"Tidak. Ajak saja temanmu yang lain. Aku tidak berminat minum teh. Aku sedang minum kopi." Jess menunjuk secangkir kopi di mejanya.

"Ohh ! Kalau anda pecinta kopi, bagaimana mencoba kopi luwak kualitas tinggi di rumahku ? Ada barista khusus yang akan menyajikannya langsung untuk anda !" Dave kelihatannya tidak putus asa menurutku.

"Tidak, terima kasih. Kau mau menyuruhku minum kopi dari kotoran hewan itu ???" kata Jess dengan mendelik. Aku tahu itu langkahnya untuk menghindari ajakan Dave.

"Oh, maaf princess. Saya tidak bermaksud demikian ! Saya hanya berharap anda bisa meluangkan waktu untuk saya agar anda bisa mengenal saya lebih lanjut dan demi kedekatan hubungan kita sebagai calon suami-istri kelak." kata-kata Dave meluncur seperti seorang marketing susu yang sedang menawarkan dagangannya.

Jess membelalak mendengarnya dan lagi-lagi aku tidak tahu kenapa aku tidak suka mendengar ucapan Dave barusan.

Aku berdiri dan mengambil tasku. Jess langsung melihatku.
"Kau mau kemana, Dylan ?"

"Pulang. Nampaknya kau lebih sibuk dari yang kupikirkan. Lain kali saja kita bicara. Sepertinya kau harus menghadiri jamuan minum teh ke Perancis saja sekalian. Dan nanti jika kau pulang, jangan lupa oleh-oleh untukku ya !" tanpa sadar mulutku terus menyerocos seperti itu. Aku tidak tahu kenapa mood-ku jadi jelek.

"Dylan !" teriak Jess frustasi.

Aku tidak mengacuhkannya dan hanya melambai pergi meninggalkan kamarnya. Dengan sengaja kutabrak bahu Dave yang terkejut.

Aku hanya melirik sekilas dan tertegun melihat seringai tipis di wajah Dave.
Oh, dasar brengsek !

Unusual VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang