#72# Lovia Pixma

802 66 0
                                    

Setelah tes konyol yang dilakukan orangtuaku, kami akhirnya bersiap untuk berangkat ke Lovia Pixma.
Aku bahkan tercengang melihat Jess dalam balutan gaun pengantin sederhana berwarna putih. Walaupun tidak mengembang seperti gaun-gaun pengantin pada umumnya, tapi ia terlihat manis sekali...(0/////0)

"Dylan, Dylan ! Kau ngences !!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dylan, Dylan ! Kau ngences !!!"

Suara ibuku mengejutkanku hingga aku tersadar bahwa sudut bibirku ternyata basah...ah, memalukan.
(=/////=")a

"Jangan buat muka gantengmu itu jelek dengan air liur, anak bodoh !" Ayahku ikut-ikutan menjitak kepalaku. Aku meringis dan mengusap kepalaku yang dipukul tadi.

Jess hanya terkikik melihat tingkahku dan aku menoleh ke arahnya. Seulas senyum kembali merekah di wajahku saat melihatnya sedang menatapku dengan malu-malu.

"Jangan liat kelamaan ! Ntar aja kalo upacaranya udah selesai ! Bisa-bisa kita telat kalo ngebiarin pasangan muda ini tatap-tatapan lebay !" Ayah Jess cepat-cepat mengacaukan romansa kami dan segera berjalan ke arah mobil.

Tentu saja kami semua jadi tersadar bahwa kami harus buru-buru.

Aku teringat akan sesuatu dan kembali ke dalam rumah sesaat. Semua orang bingung melihat apa yang kulakukan dan bahkan ayah Jess sudah mulai berdecak geram menungguku turun dari rumah istananya.

Aku membawa mantel hitamku dan semua orang semakin terheran-heran.

"Dylan, apa yang kau lakukan ??? Kau 'kan sudah pakai jas. Ngapain bawa mantel lagi ???" Ibu Jess mengernyitkan kening dan mungkin sedang menganggapku bodoh.

"Untuk ini."

Aku menyampirkan mantel itu ke bahu Jess yang terbuka dan memakaikannya hingga tubuhnya tertutup mantel. Jess menatapku dengan wajah merona kembali. Kelihatannya aku sangat gentlemen karena tidak ingin calon istriku masuk angin akibat gaun terbukanya itu.

"Katanya nikah diam-diam, tapi kalo terang-terangan pake gaun gini apa gak lebih ketahuan ???" Kataku sambil menoleh ke arah kedua orangtua kami.

"Aw !" Aku meringis saat ibu Jess mencubit lenganku dengan geram.

"Kamu itu yaa...mesti ngilangin efek romantis yang lagi muncul di muka Ica ??? Dia tuh pasti ngira kamu lagi perhatian ama dia makanya pakein mantel ! Ini malah ternyata buat nutupin pernikahan !" Desis ibu Jess sambil kembali mencubitku dengan geram. Aku mengelak beberapa kali.

"Loh ??? Kok jadi aku yang disalahin ??? 'Kan emang tante sama om yang bilang nikahnya jangan ampe ketahuan. Kalo gaun putih gini mah semua orang tentu tau bakal ada pernikahan ! Ntar kalo semuanya tau, om sama tante mau nanggung resiko bahayanya nyawa Jess ???" Aku mendelik pada calon ibu mertuaku sambil mengusap lenganku yang habis dicubit.

"Iya juga sih..." ibu Jess menggaruk-garuk kepala dan tidak jadi melanjutkan marahnya padaku sementara Jess kembali tersenyum-senyum gak jelas.

Kami berangkat menuju daerah yang tidak kuketahui. Semacam deretan pertokoan yang agak sepi dan tidak banyak kendaraan lalu lalang di sana.

Mobil kami berhenti di sebuah toko bunga bernama 'Flow Flow Roses' dan aku mengernyit bingung.

"Ngapain nyari buket bunga lagi ? Bukannya gak ada acara lempar-lemparan buket ?" Tanyaku langsung.

"Bukan buat nyari buket bodoh ! Ayo turun." Ibuku langsung keluar dari mobil dan diikuti oleh ayah serta orangtua Jess.

Aku turun dari mobil dan membantu Jess keluar juga. Gaunnya yang panjang menjuntai sedikit menyusahkannya untuk bergerak.

Aku memandang nama tokonya lagi. Ini jelas-jelas tulisannya 'Flow Flow Roses' dan bukan Lovia Pixma !

Walau bingung, aku juga tetap mengikuti para orangtua untuk masuk ke dalam toko bunga itu.

"Selamat datang ! Ada yang bisa saya bantu ?"

Seorang wanita berambut pendek dengan celemek cokelat menyambut kami. Dia nampaknya tidak heran dengan kedatangan kami yang berbondong-bondong dan sangat rapi.

Ayahku maju ke depan dan memberikan sesuatu pada wanita itu. Aku bisa melihat sesuatu berkilau di tangannya seperti koin emas.

Si wanita langsung mengangguk dan mengembalikan koin itu pada ayahku.

"Silahkan ikut saya."

Sang wanita berjalan di depan kami dan menunjukkan sesuatu di balik beberapa pot bunga yang rimbun. Ada lemari kayu tua dan wanita itu membiarkan kami semua di sana sementara ia kembali ke depan lagi.

Aku tahu Jess sama bingungnya denganku tapi ia tetap mengikuti semuanya.

Ayahku membuka pintu lemari dan aku ikut melihat isinya. Kosong.

Aku semakin bingung dan hendak melontarkan pertanyaan pada mereka tapi ayahku lebih dulu bicara.

"Silahkan tuan dan nyonya Palmore lebih dulu masuk." Katanya dan aku tambah mengernyit. Hey, itu lemari loh ! Emang muat sama semuanya ???

Orangtua Jess mengangguk dan mereka berdua masuk ke dalam lemari sempit itu. Ayahku langsung menutup pintu lemari dan beberapa detik kemudian ia membukanya lagi.

Hilang !

Orangtua Jess hilang dari dalam lemari !

"Wow ! Itu sulap ???" Jess terpukau dengan pemandangan ajaib di depannya.

"Nah, giliran kalian." Ayahku mengacuhkan kata-kata Jess dan ia mengerling agar kami segera masuk ke dalam lemari.

Kami mengikuti perintah ayahku dan ini agak sulit. Gaun Jess hampir tersangkut pintu lemari hingga ibuku harus memasukkan semuanya ke dalam.

Ayahku langsung menutup pintu lemari dan sedetik kemudian aku terkejut dengan apa yang terjadi.

SYUUTT !!!

Kami merosot ke bawah seperti sedang menaiki lift. Jess bahkan merangkulku kuat-kuat karena terkejut juga.

Kami melewati lorong sempit dan gelap. Selama beberapa menit kami menuruni lorong itu dan akhirnya berhenti juga.

Orangtua Jess menunggu kami di depan sebuah pintu kayu dengan obor bercahaya api biru di kedua sisinya.

Ada tulisan Lovia Pixma di atas pintu.

Aku dan Jess masih terheran-heran dengan tempat ajaib itu.
Kami melangkah keluar dari lift aneh itu dan menghampiri orangtua Jess.

Beberapa menit kemudian orangtuaku muncul di dalam lift juga.

"Ayo, kita hampir terlambat." Kata ibuku dan mereka langsung berjalan melewati kami menuju pintu.

Mereka membuka pintu kayu itu dan kami tercengang kembali melihat kerumunan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Tempat itu semacam bar kecil dan gelap. Sedikit kumuh memang...tapi, nampaknya tidak ada yang peduli.

"Selamat datang di Lovia Pixma."

Ibu Jess tersenyum ke arah kami yang masih tercengang.

Unusual VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang