Prolog

48K 4.7K 92
                                    

Suara derap langkah kaki semakin mendekat membuat gadis itu berlari lebih kencang. Berlari tanpa alas kaki.

Kakinya terluka, tapi dia tidak punya pilihan lain selain harus berlari dan terus berlari untuk menjauh.

Seragam sekolahnya terlihat kotor di beberapa bagian karena noda darah, sudut bibirnya terluka serta matanya tak henti-hentinya mengeluarkan air mata.

Dia ketakutan dan juga lelah dalam waktu bersamaan.

Dia merasa lelah dan ingin berhenti disaat luka di telapak kakinya semakin terasa sakit.

Akan tetapi, jika dia berhenti maka dia akan takut jika saat itu juga hidupnya akan berakhir.

Suara langkah kaki itu semakin mendekat dan mendekat.

Ayah, aku takut.

Gadis itu semakin kencang berlari, dan orang itu semakin kencang mengejarnya.

Ayah, tolong aku. Aku akan mati.

Nafasnya tersenggal-senggal, sementara langit semakin gelap. Suara petir terdengar menggelegar diikuti turunnya air hujan setelahnya.

Gadis itu semakin meringis kala luka-lukanya terkena air hujan.

Ayah, Aku kesakitan.

Aku mohon.

Datanglah.

Tenaganya semakin melemah. Lukanya semakin terasa sakit, tangannya menggenggam erat sebuah kalung berbandul bintang.

Jalanan sangat sepi. Tidak ada orang. Tidak ada satupun orang yang bisa membantunya.

Apa aku akan mati?

Kenapa?

Kenapa aku harus mati?

Kenapa aku harus mati bahkan disaat aku belum menghabiskan banyak waktu dengan keluargaku?

Tenaga gadis itu semakin melemah. Langkahnya melambat, dia merasa sudah tidak sanggup berlari lagi.

Penglihatannya semakin tidak jelas. Samar-samar ada seseorang yang memanggil namanya.

"Ayah...."

Gadis itu berusaha mempertahankan kesadarannya dan berusaha berlari kembali saat melihat ayahnya disebrang sana berlari mendekat ke arahnya sambil memanggil-manggil namanya.

"Ayah....aku tau kau pasti datang. Kau datang," ujar gadis itu sambil terisak.

Gadis itu tersenyum samar ke arah ayahnya.

Aku akan baik-baik saja ayah, kau sudah datang.

Kau sudah dat--

BRAK!!!!!!!!!!!

Langkah gadis itu terhenti dan senyumnya menghilang begitu saja.

Suara ban mobil berdecit terdengar jelas bersamaan dengan tubuh ayahnya yang terpental ke aspal.

Tubuh gadis itu bergetar. Bahkan kini terasa sulit untuk digerakkan.

Hujan semakin deras. Banyak darah bercampur dengan air hujan mengotori aspal.

"A...yah."

Gadis itu hendak mendekati ayahnya yang sudah berbaring tidak berdaya dengan banyak darah di tubuhnya.

Tetapi, belum sempat kakinya melangkah.

Kesadarannya hilang saat itu juga.

Semuanya terasa gelap dan semakin menakutkan. Sementara tangannya masih menggenggam erat sebuah kalung.

Maafkan aku ayah.

Seharusnya aku tidak memintamu untuk datang.

Seharusnya, aku saja yang mati.

AnimosityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang