Jessica keluar dari dokter kandungan. Apa lagi alasannya? Tentu saja ia hamil. Sudah berapa lama ia menikah? Wajar jika ia hamil. Memangnya apa urusanku? Selain teman, kami tidak memiliki hubungan apapun dan tidak pernah memiliki hubungan itu. Tapi tetap saja ada sesuatu dalam diriku yang merasa tidak rela.
Aku tidak pernah berani mengakuinya sejak awal, dan jika aku mengakuinya sekarangpun sudah sangat terlambat. Jessica sudah menikah dan sebentar lagi ia akan memiliki bayi. Walaupun saat ini itu hanya dugaanku.
Ia juga melihatku. Jarak kami terlalu dekat untuk berlalu begitu saja dan tidak saling menyapa. Aku juga merasa tidak enak telah menolaknya kemarin padahal ia hanya memintaku untuk menemaninya. Saat ini ia hanya menganggapku teman, tidak lebih. Aku yang terlalu berpikir macam-macam hingga ketakutan tanpa sebab dan melarikan diri darinya.
"Eoh! Sica-ah! Kita bertemu lagi." Aku berusaha terlihat biasa saja saat menyapanya. Aku bahkan tersenyum lebar meski sedikit dipaksakan. Semoga tidak terlihat aneh.
"Ini jam kerja Kwon!" Ia menanggapiku dengan dingin seperti biasanya. "Kau membolos?"
"Eoh.. Aku membolos." Aku mengakuinya sambil menggaruk kepalaku karena canggung. "Terjadi sedikit insiden tadi. Aku kurang hati-hati lalu kepalaku terkena lemparan bola hingga aku mimisan. Tadinya aku berencana menemui Tae Yeon untuk berobat, tapi dia tidak ada."
Aku tidak tahu mengapa aku menjelaskan padanya dengan detail. Posisiku saat ini seolah aku tertangkap basah membolos dan sangat takut dipecat. Jessica memang cukup garang untuk memecatku. Walaupun ia bukan atasanku, tapi aku merasa ia benar-benar bisa memecatku.
"Kau terluka?" Ia mengerutkan dahinya lalu mendekatiku. Ia berjinjit kemudian meraih kepalaku dan memeriksanya dengan seksama dengan ekspresi khawatir. "Apa sakit?"
"Ya!" Aku mendorongnya menjauh. "Apa yang kau lakukan?"
"Kau baik-baik saja. Berhentilah berbohong untuk menarik perhatian!" Ia memukul perutku seperti seorang profesional.
Itu bukanlah pukulan yang kuat, namun cukup untuk membuatku terbatuk. Dan aku juga tidak berbohong apa lagi untuk menarik perhatian. Memangnya aku berusaha menarik perhatian siapa? Dia? Untuk apa?
"Aku benar-benar sakit!" Protesku sambil memegangi perutku yang tidak sakit.
"Aku punya waktu luang." Ia tidak peduli pada keluhanku. "Aku akan membelikanmu kopi. Kau belum gajian kan?"
Aku bahkan tidak sempat menjawab. Ia pergi lebih dahulu tanpa menungguku. Ini adalah pilihan yang sulit. Haruskah aku mementingkan harga diriku dan membiarkannya saja? Atau sebaiknya aku mengikutinya karena kafe di depan rumah sakit menjual kopi yang sangat enak.
Ini benar-benar karena mereka memiliki kopi yang enak. Aku tidak memiliki maksud lain. Aku tahu Jessica sudah menikah. Untuk apa aku mendekatinya? Aku hanya ingin minum kopi. Itu saja.
Dan juga mendengar ceritanya yang membosankan. Aku menguap beberapa kali di depan tiga cangkir espresso yang telah kosong. Selalu saja cerita tentang suaminya. Apa ia tidak bosan? Kelihatan sekali ia begitu terobsesi dengan pria itu. Ingin rasanya aku menanggapi dengan sesuatu yang sinis. Tapi memikirkan aku sudah melakukannya kemarin, aku mengurungkan niatku. Aku tidak bisa merasa bersalah lagi padanya, lalu mengantarkannya pulang. Kali ini ia mungkin akan memastikan akan membuatku menginap di rumahnya.
Aku terlalu percaya diri? Walau sepertinya begitu, namun aku hanya ingin menjaga kesucianku. Aku adalah seorang guru yang menjadi panutan bagi murid-muridku. Reputasiku akan tercoreng jika aku menjalin suatu hubungan dengan wanita bersuami.
