Aku tidak tahu mengapa otakku begitu tidak tahu malu. Apa yang kulakukan kini bukanlah hal yang bermoral. Menatap wajah istri orang lain dengan raut sumringah, aku tidak merasa buruk. Aku tidak hanya menatapnya. Aku mencintai wanita itu.
"Bagaimana? Enak kan?" tanyaku sambil bertopang dagu di meja makan melihatnya memakan bubur yang kubawakan untuknya.
Ia mengangguk. "Tapi terlalu lembek."
Tentu saja lembek. Itu adalah bubur. Tidak mungkin rasanya krispi. Dasar bodoh.
"Kau bilang apa?" Ia mengangkat wajahnya dari mangkok lalu mengerjap menatapku.
"Aniya," Senyum sumringah itu berubah menjadi senyum takut dengan cepat. Ia sudah menendang kedua kakiku malam ini. Aku tidak ingin ia mematahkan mereka juga dengan mengatakan apa yang ku pikirkan tadi. Bahwa ia bodoh.
Apa menurutku dia begitu mengerikan hingga sanggup mematahkan kakiku? Ia bahkan tega mematahkan hatiku dengan mengatakan ingin menikah dengan orang lain dulu. Dan itu tidak hanya patah, tapi hancur berkeping-keping ketika ia benar-benar menikah.
Ah, aku tidak ingin membahas itu lagi. Aku bahkan tidak ingin memikirkannya. Jika bisa, aku ingin menyingkirkan kepalaku agar tidak memikirkan apapun. Aku tidak ingin memikirkan hubungan ini. Aku tidak ingin memikirkan masa depanku. Aku tidak ingin memikirkan tentang bayi itu. Aku tidak ingin memikirkan bagaimana jadinya setelah Kris kembali nanti. Aku tidak ingin memikirkan apakah Jessica akan memilihku, atau menyembunyikanku.
Aku hanya ingin menikmati saat ini. Di musim dingin, dimana aku menghabiskan waktu yang panjang dengannya. Menatapnya tanpa memikirkan apapun. Memulai kegilaanku dengan tidak mempedulikan apapun.
"Mengapa kau memasang wajah aneh begitu?" Jessica meletakkan sendoknya di atas meja. "Jangan-jangan ... Kau memasukkan mentimun ke dalam buburku?"
"Tidak, aku tidak mungkin memasukkan mentimun karena kau membencinya," jawabku sambil tersenyum bodoh. Jika ia mencurigaiku karena melihat kebodohan di wajahku, aku bisa apa lagi. Aku hanya akan menerima pukulannya saja.
"Lalu mengapa kau tersenyum begitu?" Ia masih menatapku curiga.
"Karena aku sedang mengagumimu,"
PLAK!
Sendoknya melayang dan tepat mengenai dahiku. Ia marah ketika aku memakinya. Ia juga marah ketika aku merayunya. Apa kemarahan adalah cara ia mengungkapkan rasa cinta terhadapku? Kalau begitu aku tidak masalah mendapatkan kemarahannya setiap saat.
"Kau tahu," Jessica berdiri untuk menjangkau sendok di atas meja yang ia lempar tadi. "Sikapmu yang seperti ini sangat aneh. Jangan membuatku takut! Apa kau kerasukan sesuatu?"
Bukankah justru ia yang aneh? Saat aku bersikap dingin padanya, ia meninggalkanku untuk menikahi orang lain. Dan saat aku mencoba bersikap manis, ia malah menuduhku kerasukan.
"Eoh, anggap saja aku memang kerasukan." Lebih baik aku mengalah saja padanya. "Habiskan buburmu! Kau masih harus beristirahat setelah ini."
"Benar kau tidak memasukkan mentimun?" Ia kembali menyuap bubur itu dengan sedikit ragu dan terus mengawasi sikapku yang menurutnya aneh.
Padahal aku tidak merasa ada yang aneh dengan sikapku ini. Bukankah aku sudah mengatakan perasaanku yang sebenarnya? Aku tidak memilliki apapun yang kusembunyikan lagi. Justru lebih aneh jika aku membuatnya kesal di saat seperti ini.
Tapi aku sudah membuatnya kesal tadi. Ia bahkan melemparku dengan sendok padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun.
Yeah, mau diapakan lagi. Itu sudah menjadi ciri khasnya sejak dulu. Seorang Jessica Jung memang seperti itu. Justru sisi mengerikan itu yang membuatnya menarik.