(Replay 2004) A Destiny Between You and I

262 49 4
                                    

Sangju, musim semi 2007.

Pagi itu, aku berubah pucat setelah keluar dari kamar mandi. Tanganku gemetar dan jantungku berdegup sangat kencang. Aku tidak punya pilihan selain meminta bantuan orang lain. Kebetulan hanya ada Halmeoni di rumah. Samchon telah pergi ke kebun pagi-pagi sekali.

"Halmeoni.." Aku mendekatinya dengan ekspresi horor di wajahku. Saat itu ia sedang membersihkan sayur di beranda depan. Aku duduk di dekatnya. Aku sangat ketakutan.

Halmeoni menurunkan kacamatanya untuk melihatku lalu mengerutkan dahi. "Fany-ah.. Apa kau sakit?"

Aku menggeleng. "Ada darah di pakaian dalamku." Bahkan suaraku kini bergetar. Yang paling aku takutkan saat ini adalah bagaimana dengan bayiku? Apa aku baru saja keguguran? Tidak kan?

"Eh?" Halmeoni tampak bingung. "Berapa usiamu tahun ini? Ini bukan pertama kalinya kau datang bulan kan sayang?"

"Tapi aku sedang hamil, halmeoni." Aku tidak terpikir lagi untuk menyembunyikannya. Yang aku rasakan kini hanya takut. Takut akan kehilangan bayiku. Aku tidak boleh kehilangannya.

Ia yang tadi sedang mengupas bagian jelek dari kubis mendadak menghentikan gerakannya. Ia meletakkan kubis itu di lantai lalu memperhatikannya dengan seksama. Kemudian dengan wajah heran yang sama, ia menatapku. Aku tidak bisa berpikir jernih saat ini hingga menurutku halmeoni baru saja membandingkanku dengan kubis.

"Kau hamil?" Ia akhirnya bertanya. "Sejak kapan?"

Ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan karena aku sangat terdesak dan membutuhkan bantuan. Tapi aku membutuhkan bantuan halmeoni. Karena itu aku harus menjelaskannya lebih dulu. "Sebenarnya aku datang kemari karena aku hamil. Aku pergi dari pacarku karena dia memintaku menggugurkan kandunganku."

"Kurang ajar!" Halmeoni kesal. Ia mengambil pisau besar yang memang sudah ada di sampingnya sejak awal lalu membelah kubis di depannya dengan sekali gerakan. "Siapa dia? Siapa orang yang menghamilimu itu!"

"Aku akan menjelaskannya nanti." Aku mengguncang tangannya memohon agar ia melakukan sesuatu. "Sekarang aku mungkin kehilangan bayiku. Aku tidak boleh kehilangan bayiku, halmeoni."

"Betul.. Betul.. Betul.." Halmeoni berdiri dengan tergopoh-gopoh. Melihatku yang masih duduk saja, ia menepuk punggungku keras sehingga aku terbatuk. "Cepat bangun! Kita harus ke rumah sakit."

Buru-buru aku berdiri. Mengapa tidak terpikir sebelumnya? Segera aku mengambil tas tangan kecil ku di dalam kamar. Tentu saja aku harus ke rumah sakit. Halmeoni membimbingku keluar dari halaman rumahnya. Sesampainya di luar, ia melihat penjual telur keliling langgangannya lalu menghampiri pria itu.

"Halmeoni, ini bukan saatnya membeli telur." Protesku. Halmeoni ikut menyeretku ke penjual telur itu.

"Arraseo!" Ia masih saja menghampiri penjual telur itu.

Awalnya aku pikir halmoeni ingin membeli telur, itu adalah rutinitas yang ia lakukan setiap pagi. Ternyata ia hanya minta diantarkan ke rumah sakit karena ada keadaan darurat. Meski tua, halmeoni berpikir lebih praktis dariku. Setidaknya lebih baik dibandingkan mencari taksi ke pinggir jalan besar atau menunggu bis lewat.

Pria penjual telur itu setuju mengantarkan karena ia adalah teman bergosip halmeoni. Ia menutup dagangannya lalu mengantarkan kami ke rumah sakit. Pria itu penasaran keadaan darurat apa yang terjadi. Karena tahu orang itu penggosip, sama sepertinya, halmeoni hanya mengatakan bahwa aku menelan sumpit.

Kami tiba di sebuah rumah sakit kecil di kota. Setelah berterima kasih, halmeoni meminta penjual telur itu pulang duluan. Halmeoni pasti merasa malu jika ada yang tahu cucunya yang belum menikah ternyata hamil. Lebih baik jika tidak ada yang tahu.

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang