Seoul, musim panas 2006.
Kesepakatan. Aku akhirnya setuju melakukan kesepakatan itu dengan Tae Yeon. Bukan semacam kesepakatan yang dipikirkan Tae Yeon dan juga Ji Woong. Melainkan kesepakatan tentang apakah aku akan menikah dengan Tae Yeon atau tidak.
Setelah berada sejauh ini, pada akhirnya aku merasa menyesal telah menyetujui lamaran Tae Yeon tanpa pikir panjang. Kami masih muda, dan banyak hal yang harus kami lakukan dalam hidup kami. Menerima lamaran pernikahan saat kami sama-sama masih SMA kini terasa konyol bagiku. Terlebih setelah Tae Yeon hanya main-main dan tidak mau belajar sejak aku menerima lamarannya. Itu membuatku merasa tidak nyaman. Membuatku seolah menjadi pengaruh buruk baginya.
Bukannya berarti aku tidak ingin menikah dengannya. Ia adalah hal terpenting dalam hidupku yang tidak mungkin aku lepaskan. Aku ingin melakukan segala hal bersamanya. Hanya saja.. Aku hanya merasa aku perlu mencapai sesuatu dalam hidupku, dan pernikahan tidak boleh menghalangi jalanku.
Karena itu kesepakatan diperlukan. Agar ia tetap mewujudkan impiannya menjadi seorang jaksa. Agar aku bisa masuk fakultas hukum dan meski aku tidak memiliki keinginan yang spesifik tentang masa depanku kelak, aku tetap bisa melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Jadi kami sepakat kami hanya akan menikah jika kami berdua lulus ujian kali ini. Tae Yeon juga menyetujuinya. Ia cukup percaya diri dengan kemampuannya.
Mengenai pernikahan itu.. Masih ada satu masalah lagi. Bagaimana cara memberitahu pada orangtua Tae Yeon. Sampai saat ini eomonim, dan aboenim belum tahu apapun. Aku tidak mendesak Tae Yeon agar segera memberitahu mereka. Karena aku juga takut. Selama ini mereka sangat baik padaku. Melakukan hal yang aku tahu akan menyakiti hati mereka membuatku merasa bersalah.
"Kau melamun?" Tae Yeon menyikutku. Ia meletakkan sebungkus coklat di atas mejaku. "Kau butuh sesuatu yang manis untuk mengembalikan konsentrasimu."
Aku mengambil coklat itu lalu membukanya. Aku mematahkannya menjadi dua lalu membaginya dengan Tae Yeon.
"Apa yang kau pikirkan?" Tae Yeon memakan coklatnya.
Aku menggigit coklatku sedikit sambil memikirkan apa yang sebenarnya aku pikirkan tadi. Aku tidak ingat seiring dengan buyarnya lamunanku. Mungkin aku sempat tertidur sebentar. Mataku memang terasa berat. Belakangan ini aku tidak memiliki cukup waktu untuk tidur. Akibatnya aku sering tertidur di bis, atau di dalam kelas. Tidak lama. Hanya beberapa menit.
"Kau melamun lagi." Gumam Tae Yeon. Ia melanjutkan mengerjakan soal matematika. Tidak lagi memperhatikanku.
Melihat Tae Yeon yang serius belajar, aku kembali pada bukuku. Aku sudah bertekad untuk kuliah di tempat yang sama dengan Tae Yeon. Aku tidak boleh menyerah hanya karena mengantuk.
Aku nyaris saja tertidur lagi saat sebuah keributan di belakang kelas menyadarkanku. Itu suara Jessica. Ia terdengar panik.
Setelah mengucek mataku, aku menoleh ke belakang untuk melihat apa yang diributkan oleh gadis itu. Aku melihatnya sedang berdiri bersama Yu Ri. Ia memegangi wajah Yu Ri sementara Yu Ri mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Aku masih tidak tahu mereka sedang apa sementara Tae Yeon mengetahuinya. Tae Yeon ikut berdiri dari tempat duduknya lalu berlari ke arah Yu Ri. Saat itu aku baru menyadari ada darah di tangan Jessica.
Mereka bertiga kemudian keluar dari kelas menuju ruang kesehatan. Tae Yeon dan Jessica mengapit Yu Ri di tengah-tengah untuk membantunya berjalan.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku pada Sunny dan Hyo Yeon yang duduk di belakangku. "Apa Jessica memukulnya?"
Sem tidak berada di kelas saat itu. Kami sedang belajar mandiri.