Jessica memegangiku dengan erat dari belakang padahal aku tidak memacu motorku terlalu cepat. Aku sengaja mengemudi perlahan karena ini adalah pertama kali baginya dan ku pikir ia memang takut. Ia tidak memelukku melainkan memegangi kedua sisi jaketku dengan kepalannya. Tentu saja ia tidak memelukku. Ia adalah seorang wanita yang sudah menikah dan ia tidak lagi menyukaiku.
Mengapa aku malah merasa kecewa? Aku justru berharap ia memelukku. Aku bisa saja menaikkan kecepatan dengan tiba-tiba agar ia kaget dan memelukku, namun aku tidak melakukannya. Ia mungkin akan merasa tidak nyaman. Lagi pula itu akan terlihat murahan. Dulu saat ia mengejarku, aku selalu bersikap dingin dan jual mahal. Aku tidak akan punya muka lagi jika mengambil kesempatan sekarang.
Ku rasa kesempatan itu sudah tidak ada bagiku. Aku sudah terlambat. Sangat.. Sangat terlambat. Ia sudah berubah pikiran terhadapku. Ia sudah menikah.
"Yu Ri-ah! Apa kau bisa lebih cepat?" Suara nyaringnya menembus hingga ke helmku. "Pantatku mulai kesemutan."
Benar juga. Ia tidak terbiasa menaiki sepeda motor seperti ini. Ia biasanya dimanjakan dengan tempat yang nyaman di dalam mobil mewahnya. Aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya.
Tapi.. Siapa suruh ia tinggal di tempat yang jauh. Nyaris di luar kota. Bukan karena aku yang mengemudi seperti siput melainkan karena letak rumahnya yang terlalu jauh.
"Mian.. Ku pikir kau akan kedinginan jika aku ngebut." Kataku.
"Aku tidak menyuruhmu untuk ngebut. Hanya lebih cepat dari ini." Protesnya.
"Sebelumnya.." Aku melirik spionku untuk melihatnya yang terduduk canggung di belakangku. Ia menjaga jarak yang sopan denganku, dan ia menahan tubuhnya tetap tegak seperti seorang pembaca berita. "Mungkin kau bisa duduk lebih nyaman lagi."
Sekali lagi, aku sedang tidak berusaha membuatnya memelukku. Aku bukan orang mesum. Hanya saja jika seperti ini, seolah aku adalah benda menjijikkan yang tak ingin disentuhnya.
"Boleh?" Tanyanya.
"Asal kau tidak berbaring, berselonjor, atau kayang." Candaku.
"Aku bisa menghajarmu." Ujarnya. "Tapi aku tidak melakukannya untuk menjaga keselamatan diriku sendiri. Mungkin nanti setelah tiba di rumahku."
Aku menelan ludah. Udara dingin tak lagi bertiup dari depan tapi juga dari bagian belakang. Ku rasa aku tidak akan pernah mengerti dirinya. Ia marah saat aku bersikap sinis padanya. Ia juga marah saat aku bersikap ramah. Jadi apa yang ia inginkan dariku? Aku bukanlah tipe pendiam seperti Tae Yeon.
"Tapi.. Apa benar-benar boleh?" Tanyanya lagi.
"Tentu saja." Jawabku cepat. Aku tidak peduli lagi apa ia mau berbaring di belakang sana, berselonjor, kayang, atau main lompat tali sekalipun. Terserah padanya asalkan ia tidak marah-marah lagi.
Ia tidak lagi bicara setelah itu. Aku hanya merasakan sesuatu yang empuk menyentuh punggungku kemudian disusul oleh sepasang tangan yang melingkar di pinggangku. Aku nyaris saja berhenti bernafas. Ia baru saja memelukku?
Aku menghentikan motorku di pinggir jalan untuk mengatur nafasku kembali. Aku tidak bisa menghadapi ini. Terlalu riskan. Kami bisa mendapat kecelakaan jika aku bersikeras melanjutkan ini.
"Mengapa berhenti?" Ia melongokkan kepalanya dari bahuku saat bertanya.
Terlalu dekat! Ia terlalu dekat denganku. Aku bisa mencium aroma durian yang dimakannya tadi. Jantungku tidak karuan. Kedua kakiku sudah berubah menjadi agar-agar. Jika aku tidak duduk di atas motor, maka aku sudah berada di tanah.
